Dear “Kamu”,
Semalam
aku bermimpi buruk. Aku berada dalam sebuah kamar, namun tidak sendirian. Aku
sedang duduk di tempat tidur ketika kurasakan tangannya memegang bahuku. Kukira
itu kamu, tapi ternyata...dia. Dia duduk di sampingmu, menatapku dengan mata
coklatnya dan tersenyum – atau lebih tepatnya, menyeringai – penuh ejekan.
Aku
langsung mendorongnya dan berdiri. Tawanya semakin keras mengejek, sementara
aku beranjak ke cermin. Kulihat bayangannya di sana, masih menatapku dengan
ekspresi geli di wajahnya yang tirus.
“Ayolah,”
katanya. “Kamu juga suka, ‘kan?”
Prang! Kutinju cermin di hadapanku
hingga kacanya pecah berhamburan. Buku-buku jariku berdarah, tapi anehnya tidak
terasa sakit. Mungkin karena aku sendiri juga tidak peduli. Kulihat
pecahan-pecahan kaca yang cukup besar bertebaran di meja rias. Di belakangku,
tawanya masih terdengar.
Entah
kenapa, tiba-tiba timbul pikiran gelap itu di benakku. Kupungut pecahan kaca
yang paling besar.
Aku
hanya ingin dia berhenti tertawa. Aku hanya ingin dia diam, tapi tak perlu
sampai harus...
Aku
berbalik dan menyerangnya dengan pecahan kaca di tanganku, sementara benakku
terus menjeritkan satu kata berulang-ulang: Bangun!
Bangun! Bangun!
Dan aku pun
terbangun. Sekujur tubuhku dingin dan gemetar. Kamu duduk di samping tempat
tidurku dan langsung memegang tanganku.
“Mimpi
buruk lagi?” tanyamu khawatir. Aku mengangguk, sebelum kamu hanya membelai ikal
gelapku dan menyuruhku: “Tidur lagi.”
Tapi
aku tidak mau. Aku hanya ingin terus terjaga, agar bisa melihatmu dan
memastikan semua ini kali ini nyata – bukan hanya mimpi belaka. Aku tidak ingin
jatuh tertidur...
Apa
daya, ternyata akhirnya aku pun kembali ke dunia nyata, kali ini benar-benar
kamarku sendiri. Tidak ada dia, tapi juga tidak ada kamu.
Mungkin
kali ini aku sudah benar-benar gila. Lihat saja, hingga kini aku masih terus
menulis surat untuk sosok yang hingga kini belum terbukti keberadaannya di
dunia nyata. Belum tentu kamu beneran ada. Mungkin, karena itulah aku tidak
berani memberimu nama atau bahkan sekadar julukan.
Mungkin,
hingga kini aku masih separuh skeptis akan cinta. Mungkin inilah yang terjadi
bila seseorang yang skeptis akan cinta menulis surat cinta. Banyak yang tidak
masuk akal. Tidak seceria manusia normal. Seperti pengembara yang lupa tujuan
semula, namun kehilangan peta dan GPS-nya pun tidak menyala. Konyol sekali, ya?
Banyak
sekali hal yang tidak kuceritakan pada keluarga, bahkan teman-teman yang paling
dekat sekali pun. Bagaimana mungkin aku bisa mencintai seseorang kalau saja aku
sudah lama tidak dekat dengan mereka yang seharusnya dekat? Aku mengisolasi
diri. Aku takut mengundang seseorang untuk menjadi terlalu dekat, karena pada
akhirnya akan sama...mereka pergi juga. Sama seperti dia.
Sama
seperti kamu?
Bagaimana
cara mencintai orang yang punya kesulitan mencintai diri sendiri – atau sulit
percaya bahwa mereka pun sebenarnya juga berhak dicintai, lengkap dengan segala
kekurangan mereka? Tak peduli bahwa ayah mereka pernah menyebut mereka terlalu
aneh untuk bersama orang lain atau bahkan tidak pernah ada untuk mereka. Tak
peduli bahwa ibu mereka tampaknya lebih memperhatikan si sulung dalam keluarga
atau bahkan menganggap mereka sebagai kesalahan yang seharusnya tidak pernah
dilahirkan.
Mungkin,
karena itulah dulu aku sempat dekat dengannya. Dia sendiri juga pernah bilang
kalau alasan dia tertarik padaku adalah karena aku berbeda, tidak seperti
lainnya. Aku aneh, namun tidak pernah berusaha terlalu keras untuk menjadi
normal agar (dianggap) sama dengan mereka. Aku hanya kompromi.
Ya,
ada kesamaan antara aku dan dia, meski tidak semuanya. Kukira aku bisa
mencintainya, namun itu tidak pernah cukup. Cinta itu tidak pernah benar-benar
ada. Kami berdua hanya sosok-sosok kesepian yang kebetulan bertemu pada jalur
yang sama, sebelum akhirnya berpisah juga. Dia bahkan meminta terlalu banyak
dalam waktu yang terlalu singkat.
Dia
bahkan tak pernah benar-benar tahu apa itu cinta...
Bagaimana
denganku? Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa aku sudah berusaha sebisanya.
Tidak ada gunanya terus bersama bila akhirnya sama-sama terluka.
Bagaimana
denganmu? Masih berwujud dalam mimpi saja, seperti sebelumnya. Baiklah, aku
masih akan sabar menunggu, seperti biasa. Sendiri bukanlah malapetaka. Untuk
saat ini, aku masih baik-baik saja.
Sampai
nanti.
Yang
memikirkanmu dan menunggumu,
Nona Separuh Skeptis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar