Kebebasan
selalu layak dirayakan. Maka, selepas keluar penjara, yang diinginkan ialah
mengunjungi kedai kopi ini. Kebahagiaan akan semakin lengkap bila dinikmati
dengan secangkir kopi. Hanya di kedai kopi ini ia bisa menikmati kopi terbaik
yang disajikan dengan cara yang paling baik.
Matanya meneliti sekeliling dengan
penuh minat. Kedai kopi itu bernuansa vintage,
dengan dekorasi berupa beberapa lukisan bergaya pop art warna-warni di dinding. Alunan musik jazz instrumental mengalun dari stereo. Cahaya matahari sore yang
mulai melembut masuk dari jendela. Jingga yang tidak menyilaukan.
Ia suka. Sama sukanya dengan
secangkir kopi hitam di tangannya. Harum sekali.
Jam dinding di kafe menunjukkan
pukul empat kurang lima sore. Dulu, jam segitu ia akan ditelepon lelaki itu.
Lelaki itu akan mengecek keberadaannya, baik lewat telepon rumah maupun ponsel –
hanya untuk memastikan agar ia tidak berani kemana-mana tanpa seizin lelaki
itu. Bila belum pulang juga, siap-siap saja menerima bentakan tanpa henti lewat
telepon, makian lewat SMS, atau malah keduanya – tergantung suasana hati lelaki
itu. Itu pun masih belum apa-apa.
Kalau hanya didorong atau
dicengkeram masih lumayan. Lain cerita bila ia berakhir dengan bibir berdarah
atau mata lebam. Dibilang istri durhaka, disumpahi masuk neraka.
Terakhir kali, ia sampai dikurung
seharian penuh di rumah, sama sekali tidak bisa keluar. Atas nama cinta, ia
malah berstatus sandera.
Ia menarik napas, lalu menghabiskan
sisa kopi hitamnya. Ia masih ingin di kedai kopi itu, mencicipi damai. Sudah
lama sekali ia tidak merasa seaman ini. Ia bisa selamanya begini, entah sambil
membaca novel atau menulis catatan harian. Mengetik di laptopnya, seperti yang
dulu sering dilakukannya sejak remaja hingga waktu kerja.
Ponselnya berdering. Ia menjawabnya:
“Halo?”
Ternyata
dari rumah sakit. Lelaki itu tidak bertahan lama. Karena kebodohannya sendiri,
akibat terjun bebas dari balkon lantai dua rumah mereka malam itu. Bagian
otopsi menyatakan kematiannya karena bunuh diri.
Ia tersenyum. Tarikan napasnya
begitu lega, begitu lancar.
Kadang ada untungnya berbadan mungil,
karena dapat menghindar dari serangan bila lawan terlalu emosi hingga
membabi-buta. Selama ini, ia biarkan saja lelaki itu minum terus sampai puas.
Kadang, lelaki itu terlalu mabuk untuk menyadari zat antibeku yang sengaja ia
tambahkan dalam gelas. Banyak yang menganggap lelaki itu tampak stres. Biarkan
mereka mengiranya depresi.
“Turut
berduka cita, Ibu,” kata suara itu di telepon. Ia terpaksa harus menarik
napas dan menghembuskannya keras-keras, agar terdengar seperti sedang menangis.
“Terima
kasih. Saya akan segera ke sana.” Pembicaraan terputus. Masih dengan senyum
yang sama, ia memanggil pelayan. Memesan secangkir kopi lagi.
Kebebasannya kini lengkap. Memang,
kadang butuh usaha ekstra untuk keluar dari penjara tertentu, terutama bila
seluruh dunia seakan setuju bahwa kamu memang pantas berada di situ, sebelum
berbalik memunggungimu – dengan alasan itu
bukan urusan mereka...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar