Selasa, 02 Februari 2016

H3: "JIKA KAMU BUKAN DIA, LALU SIAPA?"

Dear “Kamu”,

                Aku senang, akhir-akhir ini lagi sering hujan. Apalagi bila pagi-pagi, meski mungkin banyak yang akan mengeluh – terutama para pengguna jalan raya. Macet, banjir, pandangan terhalang akibat jendela mobil buram diguyur air hujan. Yang naik motor terpaksa meneduh dulu, kecuali nekat gara-gara takut terlambat ke sekolah, kampus, atau kantor – meski dengan risiko terserang masuk angin atau sakit lainnya. Pakai jas hujan juga tidak banyak membantu, kecuali hanya mengurangi kemungkinan basah-kuyup. Aku pernah datang ke kelas tempatku mengajar dalam kondisi begitu. Tidak enak. Meski mereka sudah berbaik-hati membuatkanku teh hangat, tetap saja aku kedinginan. Mematikan AC dalam ruangan juga tidak mungkin. Ruangan bisa sumpek dan panas.

                Aku juga senang, karena hujan adalah saat yang tepat untuk berdoa dan memanjatkan permohonan. Akhir-akhir ini aku sering sekali memohon pada-Nya agar segera memberi kejelasan tentang sosokmu dalam mimpiku. Siapakah kamu sebenarnya? Benarkah kamu ada?

                Apakah kamu memang ditakdirkan untukku? Sampai kapankah?

                Aku pernah mimpi bertemu denganmu di tengah guyuran hujan. Tidak seklise cerita-cerita roman picisan, untungnya. Waktu itu kamu hanya mengajakku berpayung berdua, namun dengan seringai jahil dan komentarmu berikutnya cukup menjengkelkan:

                “Ini cuma karena kamu paling malas bawa payung, lho.”

                Ha-ha, terserah. Yang pasti, aku tetap senang saat kamu merangkulku, meski payungnya cukup besar untuk kita berdua. Eh, apa karena dalam mimpi itu aku sudah kurus? Ah, aku ngomong apa, sih? Ngawur! Kurasa, kamu takkan terlalu peduli bila aku tidak secantik dan selangsing Gigi Hadid – sama seperti aku yang tidak akan terlalu peduli bila rupamu ternyata lebih mirip pasangannya Catherine Chandler dalam serial TV “Beauty and The Beast” (bukan yang terbaru, tapi yang tahun ’90-an dulu. Ya, aku ternyata memang setua itu.)

                Mungkin sebaiknya aku hati-hati kalau bicara. Kalau saat bertemu tampangmu ternyata benar-benar seseram itu, apa iya aku siap menjalin hubungan serius denganmu? Hahaha!

                Hanya bercanda. Tapi...ah, kamu ‘kan juga belum jelas – hanya khayalanku atau refleksi masa depanku yang baru bisa kutemui dalam mimpi.

                Kapan terakhir kali aku benar-benar bertemu denganmu...lagi-lagi dalam mimpi? Ya, sepertinya belum lama, sekitar setengah bulan yang lalu. Waktu itu, sempat ada seorang lelaki yang mendekatiku. Di tengah gempuran media massa yang – sialnya – masih lebih mengagung-agungkan sosok perempuan kurus, tinggi, dan putih sebagai yang ‘cantik’, ternyata ada juga lelaki yang menyukai sosok pendek, gempal, dan berkulit gelap sepertiku. Aku kaget setengah-mati. Kehadirannya seakan menghapus semua sosok yang dulu pernah mengejek-ejekku hingga rajin membandingkanku dengan kakakku yang tinggi dan langsing.

                Apakah kami sempat pacaran? Entahlah. Aku bahkan tidak begitu percaya dengan konsep pacaran, meski tidak anti-anti amat. Sudah terlalu banyak cerita sedih tentang putus cinta selain cerai akhir-akhir ini. Dia ternyata tidak jelas maunya apa, kecuali satu hal ‘itu’ yang takkan sudi kuberikan sebelum menikah. Pada akhirnya, dia memilih perempuan lain dan mendiamkanku begitu saja.

                Lalu, suatu hari dia pergi tanpa kabar. Kamarnya kosong. SMS-ku tidak dijawab. Dia bahkan tidak ingin tetap berteman denganku lagi seperti sebelumnya.

                Kata teman-temanku, dia tidak berguna. Aku lebih baik hidup tanpanya. Memang benar sih, tapi tetap saja malam itu aku menangis saat bertemu lagi denganmu di alam mimpi. Kita berdua sedang duduk berdampingan di bangku taman. Tidak mungkin di Jakarta, karena tamannya tampak seperti taman waktu musim gugur. (Jakarta daerah tropis begitu, yang makin kerontang gara-gara orang tidak henti-hentinya menambah jumlah bangunan.)

                Waktu itu, kamu hanya menggenggam tanganku, sementara aku menunduk dan terus menangis. Jujur, aku takkan pernah menginginkan lelaki itu kembali ke dalam hidupku. Aku hanya ingin kamu. Hanya kamu yang bisa membuatku merasa senyaman dan seaman itu. Hanya kamu, meski rasanya semu.

                “Kenapa?” tanyamu waktu itu. Suaramu lembut sekali, seperti seorang bapak yang tengah menenangkan anaknya yang sedang menangis. Aku hanya menggeleng. Dadaku masih sesak oleh rasa sakit hati dan malu. Aku sulit sekali berbicara kalau sudah begitu.

                Seakan membaca pikiranku, kamu membelai ikal rambutku di balik tudung jaket hitamku.

                “Berarti...dia bukan aku.”

                Aku tertegun. Ah, sial. Baru saja aku ingin menoleh padamu, kamu hilang. Aku tak lagi berada di taman misterius itu, dengan pohon-pohonnya yang sudah nyaris rontok dan guguran daun berwarna coklat di tanah.

                Aku kembali di kamarku.

                Sebenarnya, malam itu masih banyak sekali yang ingin kutanyakan padamu, meski mimpiku selalu terputus sebelum kamu sempat menjawabku. Selain ingin tahu maksud dari ucapanmu itu, aku ingin tahu:

                Benarkah hanya lelaki aneh yang tertarik padaku? Aku takut. Gara-gara dia, aku semakin was-was bila lelaki berikutnya ternyata sama saja...atau malah lebih parah. Lebih baik yang semacam itu jauh-jauh saja dan tidak menggangguku. Aku tidak mau buang-buang waktu.

                Tolong, jangan seperti itu kalau suatu saat nanti kita memang benar-benar ditakdirkan untuk bertemu. Tolong...

                Yang masih memikirkanmu,


                Nona Separuh Skeptis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar