Dear “Kamu”,
Aku
senang, akhir-akhir ini lagi sering hujan. Apalagi bila pagi-pagi, meski
mungkin banyak yang akan mengeluh – terutama para pengguna jalan raya. Macet,
banjir, pandangan terhalang akibat jendela mobil buram diguyur air hujan. Yang
naik motor terpaksa meneduh dulu, kecuali nekat gara-gara takut terlambat ke
sekolah, kampus, atau kantor – meski dengan risiko terserang masuk angin atau
sakit lainnya. Pakai jas hujan juga tidak banyak membantu, kecuali hanya
mengurangi kemungkinan basah-kuyup. Aku pernah datang ke kelas tempatku
mengajar dalam kondisi begitu. Tidak enak. Meski mereka sudah berbaik-hati
membuatkanku teh hangat, tetap saja aku kedinginan. Mematikan AC dalam ruangan
juga tidak mungkin. Ruangan bisa sumpek dan panas.
Aku
juga senang, karena hujan adalah saat yang tepat untuk berdoa dan memanjatkan
permohonan. Akhir-akhir ini aku sering sekali memohon pada-Nya agar segera
memberi kejelasan tentang sosokmu dalam mimpiku. Siapakah kamu sebenarnya?
Benarkah kamu ada?
Apakah
kamu memang ditakdirkan untukku? Sampai kapankah?
Aku
pernah mimpi bertemu denganmu di tengah guyuran hujan. Tidak seklise
cerita-cerita roman picisan, untungnya. Waktu itu kamu hanya mengajakku
berpayung berdua, namun dengan seringai jahil dan komentarmu berikutnya cukup
menjengkelkan:
“Ini
cuma karena kamu paling malas bawa payung, lho.”
Ha-ha,
terserah. Yang pasti, aku tetap senang saat kamu merangkulku, meski payungnya
cukup besar untuk kita berdua. Eh, apa karena dalam mimpi itu aku sudah kurus?
Ah, aku ngomong apa, sih? Ngawur! Kurasa, kamu takkan terlalu peduli bila aku
tidak secantik dan selangsing Gigi Hadid – sama seperti aku yang tidak akan
terlalu peduli bila rupamu ternyata lebih mirip pasangannya Catherine Chandler
dalam serial TV “Beauty and The Beast” (bukan
yang terbaru, tapi yang tahun ’90-an dulu. Ya, aku ternyata memang setua itu.)
Mungkin
sebaiknya aku hati-hati kalau bicara. Kalau saat bertemu tampangmu ternyata
benar-benar seseram itu, apa iya aku siap menjalin hubungan serius denganmu?
Hahaha!
Hanya
bercanda. Tapi...ah, kamu ‘kan juga belum jelas – hanya khayalanku atau
refleksi masa depanku yang baru bisa kutemui dalam mimpi.
Kapan
terakhir kali aku benar-benar bertemu denganmu...lagi-lagi dalam mimpi? Ya,
sepertinya belum lama, sekitar setengah bulan yang lalu. Waktu itu, sempat ada
seorang lelaki yang mendekatiku. Di tengah gempuran media massa yang – sialnya –
masih lebih mengagung-agungkan sosok perempuan kurus, tinggi, dan putih sebagai
yang ‘cantik’, ternyata ada juga
lelaki yang menyukai sosok pendek, gempal, dan berkulit gelap sepertiku. Aku
kaget setengah-mati. Kehadirannya seakan menghapus semua sosok yang dulu pernah
mengejek-ejekku hingga rajin membandingkanku dengan kakakku yang tinggi dan langsing.
Apakah
kami sempat pacaran? Entahlah. Aku bahkan tidak begitu percaya dengan konsep
pacaran, meski tidak anti-anti amat. Sudah terlalu banyak cerita sedih tentang
putus cinta selain cerai akhir-akhir ini. Dia ternyata tidak jelas maunya apa,
kecuali satu hal ‘itu’ yang takkan
sudi kuberikan sebelum menikah. Pada akhirnya, dia memilih perempuan lain dan
mendiamkanku begitu saja.
Lalu,
suatu hari dia pergi tanpa kabar. Kamarnya kosong. SMS-ku tidak dijawab. Dia
bahkan tidak ingin tetap berteman denganku lagi seperti sebelumnya.
Kata
teman-temanku, dia tidak berguna. Aku lebih baik hidup tanpanya. Memang benar
sih, tapi tetap saja malam itu aku menangis saat bertemu lagi denganmu di alam
mimpi. Kita berdua sedang duduk berdampingan di bangku taman. Tidak mungkin di
Jakarta, karena tamannya tampak seperti taman waktu musim gugur. (Jakarta
daerah tropis begitu, yang makin kerontang gara-gara orang tidak henti-hentinya
menambah jumlah bangunan.)
Waktu
itu, kamu hanya menggenggam tanganku, sementara aku menunduk dan terus
menangis. Jujur, aku takkan pernah menginginkan lelaki itu kembali ke dalam
hidupku. Aku hanya ingin kamu. Hanya kamu yang bisa membuatku merasa senyaman
dan seaman itu. Hanya kamu, meski rasanya semu.
“Kenapa?”
tanyamu waktu itu. Suaramu lembut sekali, seperti seorang bapak yang tengah
menenangkan anaknya yang sedang menangis. Aku hanya menggeleng. Dadaku masih sesak
oleh rasa sakit hati dan malu. Aku sulit sekali berbicara kalau sudah begitu.
Seakan
membaca pikiranku, kamu membelai ikal rambutku di balik tudung jaket hitamku.
“Berarti...dia
bukan aku.”
Aku
tertegun. Ah, sial. Baru saja aku ingin menoleh padamu, kamu hilang. Aku tak
lagi berada di taman misterius itu, dengan pohon-pohonnya yang sudah nyaris
rontok dan guguran daun berwarna coklat di tanah.
Aku
kembali di kamarku.
Sebenarnya,
malam itu masih banyak sekali yang ingin kutanyakan padamu, meski mimpiku
selalu terputus sebelum kamu sempat menjawabku. Selain ingin tahu maksud dari
ucapanmu itu, aku ingin tahu:
Benarkah
hanya lelaki aneh yang tertarik padaku? Aku takut. Gara-gara dia, aku semakin
was-was bila lelaki berikutnya ternyata sama saja...atau malah lebih parah.
Lebih baik yang semacam itu jauh-jauh saja dan tidak menggangguku. Aku tidak
mau buang-buang waktu.
Tolong,
jangan seperti itu kalau suatu saat nanti kita memang benar-benar ditakdirkan
untuk bertemu. Tolong...
Yang
masih memikirkanmu,
Nona Separuh Skeptis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar