Dear "Kamu",
Hai, pangeran dalam mimpiku. Apa kabarmu?
Semalam kita bertemu. Jujur, aku senang, meski lagi-lagi begitu singkat. Terlalu singkat, malah. Semoga aku belum keburu gila karena terlalu lama menunggu.
Kelas terakhirku kosong, jadi kuluangkan waktu dengan banyak menulis hari ini. (Salah satunya ya, surat ini untukmu.) Aku juga sempat mengingat-ingat lagi mimpiku semalam.
Entah kenapa, sepertinya energimu mulai memudar. Apakah kamu akan segera pergi dan ternyata kamu memang hanyalah khayalanku? Apakah selama ini kamu hanyalah ciptaan dari benakku sendiri, hanya karena aku sudah terlalu sering dibuat kecewa oleh realita?
Aku tahu, aku sendiri juga bukan manusia sempurna. Namun, sayangnya banyak yang berharap kalau perempuan itu harusnya sudi menerima kekurangan lelaki, sementara perempuan itu sendiri sering dituntut untuk menjadi ibarat sosok dewi - hanya untuk menyenangkan lelaki. Aku sendiri juga sebenarnya tidak meminta terlalu banyak, namun wajar saja 'kan, kalau aku sendiri juga punya selera? Perkara berjodoh atau tidak, itu masih urusan nanti. Semuanya selalu ada di tangan Sang Ilahi.
Baru saja aku terlibat dalam percakapan dengan salah seorang kolega, tentang sosok lelaki bermata biru yang sama-sama kita kenal dan memang disukai orang banyak. Jujur, aku bahkan pernah juga sangat mencintainya, jauh sebelum sosok kurus slengean yang pernah hadir sebentar dalam hidupku kemarin. Entah kenapa, pembicaraan kami berlanjut kepada fakta bahwa lelaki bermata biru (yang sebaiknya cukup kupanggil 'Paul' saja) yang baik hati dan sangat disayangi banyak orang itu masih juga melajang...di usianya yang sudah tidak lagi muda.
Entah kenapa, tenggorokanku mendadak tercekat saat kolega itu bertanya-tanya. Aku tahu sejarah urusan cinta Paul dengan beberapa perempuan dalam hidupnya. Aku tahu dia masih sangat mencintai mantannya yang terakhir, yang membuatku memutuskan untuk mundur teratur daripada berharap terus akan sesuatu yang semu.
"Dia sudah terlalu sering disakiti, makanya susah untuk mulai lagi," duga si kolega. Untunglah, tiba-tiba dia harus melakukan sesuatu, sehingga meninggalkan ruangan dan tidak sempat melihatku yang hampir menangis. Jujur, memikirkan sosok bermata biru yang selama ini selalu baik padaku tapi sering dibuat patah hati oleh perempuan membuatku sedih.
Apakah aku masih mencintainya? Sepertinya iya. Apakah aku diam-diam berharap bahwa kamu sebenarnya adalah dia, suatu saat di masa depan nanti? Mungkin juga, meski aku harus tetap menjejak realita agar jangan sampai terlalu berharap hingga terancam beneran gila. Karena, walau bagaimana pun, aku masih menyayanginya. Aku hanya ingin dia bahagia, meski belum tentu dia adalah kamu.
Tahu tidak? Sebagian dari diriku berharap cemas, dalam hati memohon padamu agar jangan pergi. Di sisi lain, aku sudah terlalu sering ditolak dan ditinggal, jadi akhirnya hanya bisa kembali bersiap-siap menerima kehilangan berikutnya. Bukankah hidup tidak selalu sesuai yang kita inginkan?
Nona Separuh Skeptis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar