Senin, 03 Februari 2014

"CARA MENGHADAPI 'VERBAL BULLYING' "

Tidak seperti ‘online bullying’ yang ada jejak tertulis maupun ‘physical bullying’ berupa luka-luka di tubuh, ‘verbal bullying’ lebih ‘halus’ alias sulit terlacak. Ibarat kentut yang dilepas di udara, yang baunya hanya bisa tercium dan teringat oleh korbannya. Bayangkan bila itu terjadi berkali-kali. Ajaib bila korban tidak muntah! (Hehe, kurang-lebih begitu, menurut analogi ‘ajaib’ saya.)
            Karena itulah, bullying tipe ini termasuk ‘diam-diam mematikan’. Kita sudah (terlalu) sering mendengar kasus bunuh diri akibat ‘verbal-bullying’. Atau korban ledekan dan hinaan yang berakhir di sanatorium / RSJ (rumah sakit jiwa). Atau sosok baik-baik nan pendiam yang tiba-tiba menjadi brutal dan membunuh orang. Atau tranformasi seseorang dari korban menjadi bully itu sendiri, bahkan bisa lebih kejam dari pelaku sebelumnya. Lingkaran setan tak berkesudahan.
            Dalam buku “Words Can Change Your Brain” karya Andrew Newberg, dijelaskan bahwa sebuah kata memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi gen yang mengatur rasa bahagia dan stres. Tak hanya berdampak pada orang lain, tapi juga mempengaruhi fungsi otak kita. Karena itulah, bahasa yang mengandung perseteruan dan celaan dapat melepas puluhan hormon stres yang mengganggu fungsi otak. Lama-lama orang akan terdorong untuk bersikap penuh curiga dan ragu-ragu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
            Ujung-ujungnya? Ya, seperti contoh-contoh yang sudah disebut di atas. Depresi karena merasa dunia muram dan tidak ramah.
            Pernah di-bully atau MALAH mem-bully? Semoga cara-cara di bawah ini dapat membantu kita semua, demi kebaikan bersama dan lingkungan yang lebih ramah:
            1.Bersyukurlah!
            Setiap manusia berbeda. Jika kita memang bahagia dengan hidup kita, perlukah menyakiti orang lain dengan kata-kata kasar? Perlukah mudah tersinggung dengan kata-kata kasar orang lain, terutama saat kita tahu bahwa mereka sebenarnya hanya menunjukkan betapa tidak bahagianya mereka dengan hidup mereka sendiri?
            2.Anda seorang bully?
            Seperti biasa, langkah awal menangani masalah harus selalu dari diri sendiri. Tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil. Bisa saja asal ada usaha dan memang mau mencoba.
            Mungkin kita mantan korban yang terlalu lama memendam dendam dan sakit hati. Mungkin juga kita (terlalu) terbiasa dengan segala puja-puji, hingga sedikit saja kritik (meski niatnya mungkin baik) malah bikin kita sensitif dan lantas menganggapnya sebagai serangan pribadi. Atau mungkin kita sudah merasa memiliki segalanya, hingga merasa bebas semena-mena terhadap orang lain?
            Apa pun alasannya, manusia selalu punya pilihan. Mungkin kita berubah menjadi ‘bully’ karena termakan istilah a la Darwin: “survival of the fittest” (yang kuat yang bertahan). Alasannya bisa membela diri atau melindungi harga diri. (Whatever.) Atau mungkin kita hanya sedang tidak bahagia atau bosan dengan hidup, tapi tidak tahu cara menangani perasaan itu dengan lebih positif dan ‘tidak makan korban’.
            Pertanyaan berikutnya: mau sampai kapan kita jadi ‘bully’? Sampai kita berakhir sendiri? Sampai kita terus dijauhi hingga tak tersisa seorang teman pun lagi?
            Sampai kita akhirnya tersadar bahwa kita telah berubah menjadi sosok yang dulu kita benci (si bully yang menyakiti) atau malah lebih parah lagi? Sampai salah satu korban kita akhirnya tak tahan lagi dan – alih-alih bunuh diri – malah berusaha melenyapkan kita dari bumi? (Hiii!)
            Seperti biasa, silakan pikir sendiri.
            3.Anda korban ‘verbal bully’ (atau setidaknya merasa)?
            Tak ada manusia sempurna. Pada dasarnya, kita hanya bisa berusaha melakukan yang terbaik sesuai kemampuan kita. Tak ada yang berhak menuntut kita menjadi ‘sempurna versi mereka’ – bahkan saat mereka sok memakai embel-embel “demi kebaikan kamu”. Mereka juga tak berhak mencela kita, apa pun kekurangan kita. Memangnya mereka siapa, sih? Sama-sama manusia biasa, toh.
            Selama kita hidup dengan kepercayaan diri, kita tidak akan punya mentalitas seorang ‘korban’. Ibarat anjing menggonggong, khafilah berlalu (dengan earphone di kuping bila perlu!) Untuk apa mendengarkan polusi suara kalau kita bisa memilih yang lebih masuk akal dan menenangkan jiwa – atau yang sunyi sekalian?
            Bagaimana bila anjing menggonggong makin mengganggu, misalnya sampai taraf membuntuti dan merecoki kuping kita? Jangan main timpuk dulu dengan batu, bila kita belum siap melawan atau digigit. Meski merasa amat terganggu akibat si anjing berisik yang berusaha keras menarik perhatian kita, ada baiknya kita tetap berusaha kalem.
            Begitu pula dengan menghadapi pelaku ‘verbal-bullying’.
            Jika ucapan mereka terdengar ‘tidak masuk akal’ (alias hanya ingin menjatuhkan mental kita tanpa alasan jelas), cukup anggap mereka angin lalu. Kasihanilah mereka yang begitu ‘haus’ akan perhatian kita. Mungkin kita segitu hebatnya di mata mereka, hingga mereka minder dan iri.
            Kalau kita sudah tidak tahan lagi, kita bisa melawan dengan cara anggun. Tak perlu membalas dengan kata makian, apalagi sampai berlanjut ke arah kekerasan fisik. (Kesal itu wajar sih, tapi yakin – kita mau ikut-ikutan mereka atau malah lebih parah? Masalah tidak akan selesai, dong! Apa bedanya kita sama mereka?)
            Pertama, tarik napas dalam-dalam dan usahakan agar tidak sampai ikut terbawa emosi. (Untuk apa? Penting amat!) Biarkan mereka terus mencela dengan segala omong-kosong mereka. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Jangan sampai ada yang tertinggal di otak, apalagi tersangkut di hati. Nanti kita sendiri yang rugi.
            Jangan lupa pasang wajah tanpa ekspresi. (Tak perlu tunjukkan pada mereka kalau kita sebenarnya sudah keki setengah-mati atau bahkan sakit hati.) Boleh saja bila kita ingin tersenyum geli. Biarkan mereka memandang kita yang bereaksi di luar harapan mereka. Biasanya mereka akan ‘salting’ (salah-tingkah) sendiri dan otomatis ocehan mereka terhenti.
            “Sudah selesai?” Kita bisa bertanya begitu pada mereka, dengan nada setenang mungkin. Jika mereka menjawab ya, kita bisa:
1.)    Menyindir dengan ucapan seperti: “Oke, sekarang saya mau mengerjakan sesuatu yang (lebih) penting” lalu ngeloyor pergi.
2.)    Cukup berbalik dan pergi, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Cukup bikin mereka tengsin sendiri, karena omongan mereka kita anggap sepi. Hihihi...

R.
(Jakarta, 28 Januari 2014, 8:32 am)





2 komentar: