Tidak
seperti ‘online bullying’ yang ada
jejak tertulis maupun ‘physical bullying’
berupa luka-luka di tubuh, ‘verbal
bullying’ lebih ‘halus’ alias
sulit terlacak. Ibarat kentut yang dilepas di udara, yang baunya hanya bisa
tercium dan teringat oleh korbannya. Bayangkan bila itu terjadi berkali-kali.
Ajaib bila korban tidak muntah! (Hehe, kurang-lebih begitu, menurut analogi ‘ajaib’ saya.)
Karena itulah, bullying tipe ini termasuk ‘diam-diam
mematikan’. Kita sudah (terlalu) sering mendengar kasus bunuh diri akibat ‘verbal-bullying’. Atau korban ledekan
dan hinaan yang berakhir di sanatorium / RSJ (rumah sakit jiwa). Atau sosok
baik-baik nan pendiam yang tiba-tiba menjadi brutal dan membunuh orang. Atau
tranformasi seseorang dari korban menjadi bully
itu sendiri, bahkan bisa lebih kejam dari pelaku sebelumnya. Lingkaran
setan tak berkesudahan.
Dalam buku “Words Can Change Your Brain” karya Andrew Newberg, dijelaskan bahwa sebuah kata memiliki
kekuatan besar untuk mempengaruhi gen yang mengatur rasa bahagia dan stres. Tak
hanya berdampak pada orang lain, tapi juga mempengaruhi fungsi otak kita.
Karena itulah, bahasa yang mengandung perseteruan dan celaan dapat melepas
puluhan hormon stres yang mengganggu fungsi otak. Lama-lama orang akan
terdorong untuk bersikap penuh curiga dan ragu-ragu, baik terhadap diri sendiri
maupun orang lain.
Ujung-ujungnya? Ya, seperti
contoh-contoh yang sudah disebut di atas. Depresi karena merasa dunia muram dan
tidak ramah.
Pernah di-bully atau MALAH mem-bully?
Semoga cara-cara di bawah ini dapat membantu kita semua, demi kebaikan bersama
dan lingkungan yang lebih ramah:
1.Bersyukurlah!
Setiap manusia berbeda. Jika kita
memang bahagia dengan hidup kita, perlukah menyakiti orang lain dengan
kata-kata kasar? Perlukah mudah tersinggung dengan kata-kata kasar orang lain,
terutama saat kita tahu bahwa mereka sebenarnya hanya menunjukkan betapa tidak
bahagianya mereka dengan hidup mereka sendiri?
2.Anda seorang bully?
Seperti biasa, langkah awal
menangani masalah harus selalu dari diri sendiri. Tidak mudah, tapi bukan
berarti mustahil. Bisa saja asal ada usaha dan memang mau mencoba.
Mungkin kita mantan korban yang
terlalu lama memendam dendam dan sakit hati. Mungkin juga kita (terlalu)
terbiasa dengan segala puja-puji, hingga sedikit saja kritik (meski niatnya
mungkin baik) malah bikin kita sensitif dan lantas menganggapnya sebagai
serangan pribadi. Atau mungkin kita sudah merasa memiliki segalanya, hingga
merasa bebas semena-mena terhadap orang lain?
Apa pun alasannya, manusia selalu
punya pilihan. Mungkin kita berubah menjadi ‘bully’
karena termakan istilah a la Darwin: “survival
of the fittest” (yang kuat yang
bertahan). Alasannya bisa membela diri atau melindungi harga diri. (Whatever.) Atau mungkin kita hanya
sedang tidak bahagia atau bosan dengan hidup, tapi tidak tahu cara menangani
perasaan itu dengan lebih positif dan ‘tidak
makan korban’.
Pertanyaan berikutnya: mau sampai
kapan kita jadi ‘bully’? Sampai kita
berakhir sendiri? Sampai kita terus dijauhi hingga tak tersisa seorang teman
pun lagi?
Sampai kita akhirnya tersadar bahwa
kita telah berubah menjadi sosok yang dulu kita benci (si bully yang menyakiti) atau malah lebih parah lagi? Sampai salah
satu korban kita akhirnya tak tahan lagi dan – alih-alih bunuh diri – malah
berusaha melenyapkan kita dari bumi? (Hiii!)
Seperti biasa, silakan pikir
sendiri.
3.Anda korban ‘verbal bully’ (atau
setidaknya merasa)?
Tak ada manusia sempurna. Pada
dasarnya, kita hanya bisa berusaha melakukan yang terbaik sesuai kemampuan
kita. Tak ada yang berhak menuntut kita menjadi ‘sempurna versi mereka’ – bahkan saat mereka sok memakai
embel-embel “demi kebaikan kamu”.
Mereka juga tak berhak mencela kita, apa pun kekurangan kita. Memangnya mereka
siapa, sih? Sama-sama manusia biasa, toh.
Selama kita hidup dengan kepercayaan
diri, kita tidak akan punya mentalitas seorang ‘korban’. Ibarat anjing menggonggong, khafilah berlalu (dengan earphone di kuping bila perlu!) Untuk
apa mendengarkan polusi suara kalau kita bisa memilih yang lebih masuk akal dan
menenangkan jiwa – atau yang sunyi sekalian?
Bagaimana bila anjing menggonggong
makin mengganggu, misalnya sampai taraf membuntuti dan merecoki kuping kita?
Jangan main timpuk dulu dengan batu, bila kita belum siap melawan atau digigit.
Meski merasa amat terganggu akibat si anjing berisik yang berusaha keras
menarik perhatian kita, ada baiknya kita tetap berusaha kalem.
Begitu pula dengan menghadapi pelaku
‘verbal-bullying’.
Jika
ucapan mereka terdengar ‘tidak masuk
akal’ (alias hanya ingin menjatuhkan mental kita tanpa alasan jelas), cukup
anggap mereka angin lalu. Kasihanilah mereka yang begitu ‘haus’ akan perhatian kita. Mungkin kita segitu hebatnya di mata
mereka, hingga mereka minder dan iri.
Kalau kita sudah tidak tahan lagi,
kita bisa melawan dengan cara anggun. Tak perlu membalas dengan kata makian,
apalagi sampai berlanjut ke arah kekerasan fisik. (Kesal itu wajar sih, tapi
yakin – kita mau ikut-ikutan mereka atau malah lebih parah? Masalah tidak akan
selesai, dong! Apa bedanya kita sama mereka?)
Pertama, tarik napas dalam-dalam dan
usahakan agar tidak sampai ikut terbawa emosi. (Untuk apa? Penting amat!)
Biarkan mereka terus mencela dengan segala omong-kosong mereka. Masuk kuping
kanan, keluar kuping kiri. Jangan sampai ada yang tertinggal di otak, apalagi
tersangkut di hati. Nanti kita sendiri yang rugi.
Jangan lupa pasang wajah tanpa
ekspresi. (Tak perlu tunjukkan pada mereka kalau kita sebenarnya sudah keki
setengah-mati atau bahkan sakit hati.) Boleh saja bila kita ingin tersenyum
geli. Biarkan mereka memandang kita yang bereaksi di luar harapan mereka.
Biasanya mereka akan ‘salting’ (salah-tingkah)
sendiri dan otomatis ocehan mereka terhenti.
“Sudah
selesai?” Kita bisa bertanya begitu pada mereka, dengan nada setenang
mungkin. Jika mereka menjawab ya, kita bisa:
1.) Menyindir
dengan ucapan seperti: “Oke, sekarang
saya mau mengerjakan sesuatu yang (lebih) penting” lalu ngeloyor pergi.
2.) Cukup
berbalik dan pergi, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Cukup bikin mereka tengsin
sendiri, karena omongan mereka kita anggap sepi. Hihihi...
R.
(Jakarta,
28 Januari 2014, 8:32 am)
verbal bullying, baru engeh maksudnya setelah baca 2paragraf :)
BalasHapusHehe.
Hapus