Sabtu, 01 Februari 2014

"RISET NAMA KARAKTER BAGI PENULIS"


            Mungkin ini terdengar sepele, tapi tetap bisa menyesatkan bila tidak hati-hati. Tak hanya orang tua yang mencarikan nama untuk bayi, penulis juga wajib melakukan riset sebelum memutuskan nama yang cocok bagi karakter dalam ceritanya.
            Mengapa? Bayangkan kalian membaca identitas nama seseorang dan mengira-ngira, lalu kecele saat bertemu sosok si pemilik nama. Dikira cowok, tahunya cewek (atau sebaliknya.) Saya kerap ‘tertipu’ akan identitas karakter dalam cerita akibat salah paham tersebut.
            Tidak familiar dengan nama asing? Bukan alasan. ‘Kan masih bisa tanya-tanya orang. Apalagi bila penulis familiar dengan penggunaan internet. Tinggal Google, ketemu. (Ya, meski tak semua informasi di internet harus kita telan ‘bulat-bulat’, alias main percaya begitu saja.)
            Contoh kasus: novel “Being 20-Something Is Hard” karya Dewi Pravitasari. (Mohon maaf, Mbak Dewi. Semoga kritik ini mencerahkan, bukan terasa bagai serangan pribadi.) Ada salah satu tokoh bernama Denise. Lebih dari separuh perjalanan cerita, saya baru ngeh kalau ternyata Denise itu...laki-laki. Oalaa, mungkin maksudnya ‘Denis’, ‘Dennis’ (seperti nama teman kuliah saya), atau ‘Deniz’ (seperti nama teman kantor saya yang berayahkan orang Turki.)
            Masih ada lagi. Saya pernah menemukan dua cerpen dengan kasus serupa (maaf, baik judul maupun pengarang saya lupa). Meski ceritanya bagus, ada kesamaan yang menurut saya agak ‘mengganggu’.
            Di cerpen pertama ada tokoh bernama Abigail. Saya temukan arti namanya di Wikipedia: istri Nabal menurut Alkitab Perjanjian Lama. Beliau seorang perempuan cantik dan cerdik. Bila penulis lupa atau enggan riset, bisa dikira-kira dari penggunaan nama itu sehari-hari. (Contoh: salah satu aktris di film “My Sister’s Keeper” yang adaptasi dari novel karya Jodi Picoult bernama Abigail Breslin.)
            Dalam cerpen pertama, Abigail ternyata diceritakan sebagai laki-laki egois yang hobi memperbudak kekasihnya untuk melayani dan mengikuti semua maunya.
            Di cerpen kedua ada tokoh bernama Leah. Menurut situs www.namafb.com , Leah berarti ‘gembira ria’ dalam bahasa Ibrani. Dalam penggunaan sehari-hari bisa bervariasi, mulai dari ‘Leah’, ‘Lea’, hingga ‘Leia’. (Seperti tokoh Princess Leia dalam serial “Star Wars”dan aktris/penyanyi Lea Michelle dalam serial TV “Glee”.)
            Lagi-lagi, Leah dalam cerpen kedua laki-laki egois yang memaksa kekasihnya untuk memilih antara dia atau menulis.
            Boleh jadi penulis beranggapan bahwa pembaca takkan segitu peduli atau kritisnya. Hanya perkara nama, toh? Ngapain terlalu diambil pusing? Meski yang ditulis fiksi, masih ada kok, pembaca kritis. Seperti kata managing editor majalah “Story”, Bunda Reni Erina, dalam writing workshop Oktober tahun lalu di Anyer, logika dan keakuratan juga penting. Jangan sampai hanya karena nama itu terdengar bagus dan yang ditulis hanya cerita fiksi, penulis jadi abai dengan tanggung-jawab memperkenalkan sesuatu yang benar kepada pembaca.
R.
(Jakarta, 1 Februari 2014, 7:40 pm)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar