Mungkin ini terdengar sepele, tapi
tetap bisa menyesatkan bila tidak hati-hati. Tak hanya orang tua yang
mencarikan nama untuk bayi, penulis juga wajib melakukan riset sebelum
memutuskan nama yang cocok bagi karakter dalam ceritanya.
Mengapa? Bayangkan kalian membaca
identitas nama seseorang dan mengira-ngira, lalu kecele saat bertemu sosok si
pemilik nama. Dikira cowok, tahunya cewek (atau sebaliknya.) Saya kerap ‘tertipu’ akan identitas karakter dalam
cerita akibat salah paham tersebut.
Tidak familiar dengan nama asing?
Bukan alasan. ‘Kan masih bisa tanya-tanya orang. Apalagi bila penulis familiar
dengan penggunaan internet. Tinggal Google,
ketemu. (Ya, meski tak semua informasi di internet harus kita telan ‘bulat-bulat’, alias main percaya begitu
saja.)
Contoh kasus: novel “Being 20-Something Is Hard” karya Dewi
Pravitasari. (Mohon maaf, Mbak Dewi. Semoga kritik ini mencerahkan, bukan
terasa bagai serangan pribadi.) Ada salah satu tokoh bernama Denise. Lebih dari
separuh perjalanan cerita, saya baru ngeh kalau ternyata Denise
itu...laki-laki. Oalaa, mungkin maksudnya ‘Denis’,
‘Dennis’ (seperti nama teman kuliah saya), atau ‘Deniz’ (seperti nama teman kantor saya yang berayahkan orang
Turki.)
Masih ada lagi. Saya pernah
menemukan dua cerpen dengan kasus serupa (maaf, baik judul maupun pengarang
saya lupa). Meski ceritanya bagus, ada kesamaan yang menurut saya agak ‘mengganggu’.
Di
cerpen pertama ada tokoh bernama Abigail. Saya temukan arti namanya di Wikipedia: istri Nabal menurut Alkitab Perjanjian
Lama. Beliau seorang perempuan cantik dan cerdik. Bila penulis lupa atau enggan
riset, bisa dikira-kira dari penggunaan nama itu sehari-hari. (Contoh: salah
satu aktris di film “My Sister’s Keeper” yang
adaptasi dari novel karya Jodi Picoult bernama Abigail Breslin.)
Dalam cerpen pertama, Abigail
ternyata diceritakan sebagai laki-laki egois yang hobi memperbudak kekasihnya
untuk melayani dan mengikuti semua maunya.
Di cerpen kedua ada tokoh bernama
Leah. Menurut situs www.namafb.com ,
Leah berarti ‘gembira ria’ dalam
bahasa Ibrani. Dalam penggunaan sehari-hari bisa bervariasi, mulai dari ‘Leah’, ‘Lea’, hingga ‘Leia’. (Seperti tokoh Princess
Leia dalam serial “Star Wars”dan
aktris/penyanyi Lea Michelle dalam serial TV “Glee”.)
Lagi-lagi, Leah dalam cerpen kedua
laki-laki egois yang memaksa kekasihnya untuk memilih antara dia atau menulis.
Boleh jadi penulis beranggapan bahwa
pembaca takkan segitu peduli atau kritisnya. Hanya perkara nama, toh? Ngapain
terlalu diambil pusing? Meski yang ditulis fiksi, masih ada kok, pembaca
kritis. Seperti kata managing editor majalah
“Story”, Bunda Reni Erina, dalam writing workshop Oktober tahun lalu di
Anyer, logika dan keakuratan juga penting. Jangan sampai hanya karena nama itu
terdengar bagus dan yang ditulis hanya cerita fiksi, penulis jadi abai dengan
tanggung-jawab memperkenalkan sesuatu yang benar kepada pembaca.
R.
(Jakarta,
1 Februari 2014, 7:40 pm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar