“Anda
gemar menyanyi? Merasa berbakat? Ingin jadi bintang tenar berikutnya? Daftar
segera di...”
Mungkin
iklan di atas familiar. Kita melihatnya di beragam media, entah TV, koran,
majalah, internet, hingga situs media sosial. Tertarik? Percayalah, Anda bukan
satu-satunya.
Motivasi? Beragam. Mulai dari
sekedar iseng hingga ambisi. Mulai dari yang asli berbakat hingga sekedar jual
tampang dan aji mumpung (tanpa bermaksud terdengar SINIS.) Yang modal nekat?
Banyak. Bahkan mereka tak kapok audisi berkali-kali, meski gagal pula sekian
kali dan kerap jadi bahan lelucon para juri dan tertawaan pemirsa TV di rumah.
Malu jadi urutan kesekian. Yang penting usaha hingga ngetop dulu, kalau bisa
sampai dapat uang banyak. Kalau bisa sih, tanpa harus susah-payah kerja tiap
hari. Siapa sih, yang tidak ingin?
Seperti biasa, ada yang berhasil dan
gagal. Itulah hidup. Yang berhasil menang di kontes itu juga belum tentu bisa
bertahan lama. Kebanyakan tidak siap dengan realita dunia hiburan setelah lolos
audisi. Oke, mungkin mereka berhasil dikontrak produser rekaman – barang satu
album atau dua. Hari gini, persaingan makin tidak kira-kira. Belum lagi
pembajakan yang makin liar, suka-suka. (Sampai-sampai toko kaset/CD terbesar di
ibukota yang sudah lama beroperasi akhirnya menyerah kalah dan tutup juga!
Hiks.)
Salah-salah mereka ibarat supernova.
Meledak sesaat, kemudian entah kemana. Lenyap begitu saja dari ingatan dunia.
Kata siapa mendapat uang banyak itu
gampang? Kata siapa semua tinggal lewat nyanyi? Banyak kerja keras tanpa henti
di belakangnya. Tak jarang musisi harus merelakan jatah tidurnya untuk latihan,
berkarya dengan resiko ‘dicurangi’ –
entah dari manajemen sendiri hingga para pembajak di luar sana, hingga idealisme
yang – siap tak siap – kerap terjagal kemauan pasar. (Habis bagaimana? Biar
laku!)
Belum lagi publik yang tidak selalu
pengertian bahwa musisi juga manusia biasa, alias tidak sempurna. Bisa juga
capek dan bete, sementara penggemar minta perhatian istimewa – kalau bisa
selalu dan selamanya! (Idih, lebay.) Ogah
privasinya terganggu, sementara publik haus gosip makin kepo/usil. Dicela-cela
sama yang sirik dengan kepopuleran mereka. Dihujat sejuta umat saat melakukan
kesalahan, padahal jelas-jelas mereka bukan malaikat – apalagi dewa. Mereka
bahkan sering lelah karena harus mengorbankan waktu libur jauh dari keluarga
hingga orang-orang tercinta hanya untuk bekerja, bikin album dan tur.
“Ya,
itu sudah bagian dari konsekuensi pekerjaan mereka!”
Mungkin
Anda bisa berkata demikian dengan mudahnya. Pernah mencoba? Benarkah Anda
menginginkannya? Yakin siap berkorban?
Sementara itu, yang tidak lolos
audisi terbagi menjadi tiga kategori:
1) Yang
menyerah dan memutuskan untuk kembali ke dunia nyata, hidup dan bekerja seperti
orang-orang lain pada umumnya.
2) Yang
masih rajin mencoba, meski tak lagi ngotot bin ngoyo. Biasanya mereka sudah
punya pekerjaan yang cukup menjamin hidup mereka dan masih ingat untuk
bersyukur. Sekedar iseng-iseng, siapa tahu berhadiah. Begitulah motto mereka
setiap kali kembali mencoba audisi.
3) Pelanggan
setia audisi. Tipe ini begitu mengikuti kata hati, karena terdorong ambisi yang
tak mudah mati. Tak peduli kata dunia, mereka akan terus mencoba audisi. Gigih
atau keras kepala? Entahlah. Yang pasti, banyak dari mereka yang rela melakukan
segalanya. Di benak mereka biasanya sudah terbayang-bayang jumlah uang yang
akan diterima nantinya, beserta ketenaran. Ya, bahkan sebelum mereka memulai
apa-apa.
Tiap
tahun selalu sama. Sosok-sosok yang lelah dan muak akan kemiskinan mencoba
peruntungan. Sosok-sosok lain yang juga lelah (atau mungkin malas?) bekerja
keras, berharap akan keajaiban a la kisah Cinderella. Tidak semuanya siap
mental saat menghadapi beragam kemungkinan. Mulai dari ditolak halus, disindir
sampai air mata membanjir, hingga diusir satpam akibat ngotot. Mulai dari
sekedar berharap akan ‘setidaknya
dianggap’ (akibat hari-hari biasa mungkin sering disepelekan hingga dendam
dan sakit hati) hingga yang lupa harga diri karena mengiba-iba pada para juri
di depan kamera, ditonton seluruh dunia. Belum lagi yang tidak siap saat
kelakuan para juri (yang mungkin sudah bosan dan ‘mati rasa’ karena harus mengaudisi puluhan ribu peserta – nyaris
tanpa henti) yang pastinya bikin sakit hati. Bisa saja Anda baru menyanyikan
dua bait lagu, ketika musik tiba-tiba dimatikan dan suara dingin si juri
menyahut:
“Terima kasih.
Berikutnya!”
Tak
peduli Anda sungguhan berbakat atau tidak, tetap saja contoh di atas bisa
terjadi.
Tentu
saja, semua demi ketenaran dan uang banyak. Siapa sih, yang tidak ingin
diperhatikan dan kaya-raya?
Masalahnya,
siapkah Anda? Mau berkorban sejauh apa?
R.
(Jakarta,
6 Februari 2014 – 00:20 am)
(Penulis pernah tiga
kali ditolak “Indonesian Idol”,
disuruh turun panggung setelah hanya sempat menyanyi dua bait “Karma” – nya Cokelat oleh juri “The Dream
Band” yang waktu itu juga seorang penyanyi. Gagal audisi “Inul Vista’s International Karaoke
Competition” gara-gara radang tenggorokan akut dan terpaksa mundur dari “Indonesia’s
Got Talent” karena harus bedah gigi.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar