Jumat, 29 Mei 2015
"CATATAN SEDERHANA JUMAT PAGI"
Saya
hanya ingin menulis sesuatu yang sederhana, sesuatu yang biasa namun kerap
terlewat hingga terabaikan atau bahkan terlupakan. Kebiasaan buruk manusia
biasa yang cenderung menyepelekan segala sesuatu, karena menganggap semua milik
kita dan akan selalu ada.
Sayang sekali, kita selalu lupa. ‘Selamanya’ bukan, tak pernah, dan
takkan menjadi milik kita. Semua hanya sementara, pinjaman pula. Kita tidak
pernah benar-benar punya apa-apa. Besok-besok kita bisa kehilangan segalanya.
Karena itulah, saya memutuskan bahwa
saya hanya ingin menulis sesuatu yang sederhana, seperti... rasa syukur.
Tolong, mohon ingatkan saya bila lagi-lagi saya lupa melakukannya. Semoga saya
juga ingat untuk melakukan yang sama untuk Anda. Semoga ini tak hanya berlaku
untuk hari ini saja, namun selama sisa hidup kita yang batasnya masih dan akan
selalu menjadi tanda tanya alam raya. Hanya Sang Pemilik Semesta dan seisinya
yang punya semua jawabannya. Bukan kita. Kita tak pernah benar-benar tahu
apa-apa. Kita hanya bisa percaya, berdoa, dan berusaha.
Hari ini, saya bersyukur masih
mendengar orang berdoa. Matahari masih terbit dari timur. Al-Qur’an masih
dibaca. Ka’bah masih ada.
Saya masih dapat makan dan minum.
Bepergian dan bekerja. Bertemu teman-teman dan berbagi cerita. Mendengar suara
sahabat saya lewat telepon. Pulang mengunjungi keluarga di akhir pekan.
Bermain, memeluk erat, dan mencium pipi para keponakan. Mengungkapkan rasa
sayang. Meminta maaf dan memaafkan. Mendoakan yang terbaik bagi semua orang,
siapa pun Anda. Saya enggan berdebat macam-macam lagi di social media. Saya lelah, enggan membuang tenaga dan pikiran untuk
sesuatu yang percuma. Waktu jadi semakin terbuang sia-sia. Hanya amarah yang
akan merajalela.
Bersujud memohon ampunan-Nya.
Kesempatan itu belum tentu selalu ada. Semoga kita semua masih memilikinya.
Siapa dan dimana pun Anda, semoga
hari ini dan seterusnya berjalan baik bagi kita semua. Semoga kita semua
baik-baik saja. Selamat berakhir pekan. Salam damai.
Aamiin...
R.
(Jakarta, 29 Mei 2015, 9:00)
Rabu, 27 Mei 2015
"UNTUK SAHABAT YANG TERPESONA AKAN SOSOKNYA"
Ada
yang tersipu-sipu
dihampiri
masa lalu
sampai
malu-malu
Ah,
ada apa denganmu?
Wajahmu
merona
Matamu
bercahaya
Ada
senyum dan tawa
Apakah
kau sedang jatuh cinta?
Ingin
aku menggoda
Tapi...ah,
untuk apa?
Kita
bukan lagi remaja
meski
kau tampak berbunga-bunga
Semoga
dia tepat,
wahai
sahabat
Jangan
sampai dia buatmu sesat,
atau
dia bisa kubabat!
R.
(Jakarta,
27 Mei 2015, 16:30)
Minggu, 24 Mei 2015
"BERJUANG!"
Apa
yang kau risaukan?
Lagi-lagi
ada cobaan.
Bukankah
kau sudah tahu?
Ah,
gundahmu jadi gelisahku.
Jangan
berhenti berjuang
bila
kita semakin dekat ke tujuan.
Aku
masih di sini untukmu
hingga
ke tempat yang akan kau tuju.
Memang,
cobaan ibarat godaan
untuk
menyerah meraih kemenangan.
Namun,
ingatlah semua pengorbanan yang dulu.
Jangan
sampai ini hanya berbuah semu.
Bersama
kita berjuang;
dua
sahabat bertualang.
Kita
bahkan sudah bagai saudara, sayang.
R.
(Jakarta,
22 Mei 2015 – 23:45)
“BAHAGIA SAAT CARI KENALAN BARU...”
Saya
ingin memulai tulisan ini dengan berterima kasih pada seorang kawan lama.
Berawal dari percakapan singkat kami di salah satu social media, dia berkomentar: “Sepertinya
akhir-akhir ini lo amat menikmati hidup lo. Lo kedengeran bahagia banget.”
Benarkah?
Darimana kawan saya tahu? Mungkin dari foto-foto saya yang di-tag teman-teman dan selalu ada
wajah-wajah baru di sana, yang mengesankan saya sedang senang-senangnya cari
kenalan baru. Mungkin juga dari suara saya di telepon.
Atau mungkin juga dari betapa makin
jarangnya saya curhat di social media berupa
status soal pribadi, apalagi yang negatif. Bagi saya, lama-lama rasanya seperti
buang-buang waktu dan tenaga. Untuk apa? Rasanya tidak perlu seluruh dunia tahu
tentang saya.
Merasa kesepian, namun sepertinya
para sahabat sedang sibuk semua dan tidak bisa diajak ketemuan? Berarti saatnya
cari kenalan baru. Kalau bingung, kita bisa mulai dari mendatangi dan nimbrung
di komunitas hobi atau berisi orang-orang yang seminat dengan Anda. Ingat,
banyak jalan menuju Roma (atau ke Negeri Cina, terserah pilihan Anda.)
Itulah yang sering saya lakukan
akhir-akhir ini: cari kenalan baru lewat
komunitas menulis di sela-sela jadwal kerja. Apakah lantas ada persahabatan
instan? Tidak juga. Semua perlu proses. Tidak bisa dipaksakan.
Saya juga tidak sedang berusaha
mengganti teman lama dengan yang baru. Jangan samakan mereka dengan baju. Setiap
orang berbeda.
Yang pasti, dulu saya tidak seperti
ini. Dulu saya tidak begitu percaya diri. Baru-baru ini saja saya sudah mulai
sedikit lebih terbuka, meski tidak lantas langsung cerita semuanya. Seperti
biasa, saya belajar dari pengalaman. Tak seharusnya masa lalu dijadikan alasan
untuk takut maju.
Kita tak pernah tahu kemana hidup
akan membawa kita. Maka itu, tidak ada cara menjalani hidup selain melangkah
maju, kalau perlu tanpa terlalu sering menengok ke belakang. Ya, salah satunya
dengan cari kenalan baru.
R.
(Jakarta, 22 Mei 2015 – 19:05)
Rabu, 20 Mei 2015
"KISAH DAGING DAN ANJING"
Aku
bak sebongkah daging
segar
menggiurkan di matamu
Matamu
melebar bak mata lapar si kucing
atau
mungkin juga anjing
Yang
mana persisnya, aku tak tahu
Lidahmu
terjulur
menetes-neteskan
air liur
Matamu
liar dan terlalu jujur
Moralmu
kehilangan tolak ukur
sementara
aku hanya ingin kabur
Bisa
jadi rapat aku terbungkus
namun
kau tetap ingin mengendus
Ah,
kau selalu salahkan naluri
yang
alami, minta dimaklumi dan dikasihani
meski
kerap menggelapkan nurani
Bila
bagimu aku tak lebih dari sebongkah daging,
jangan-jangan
kau memang seekor anjing!
R.
(Jakarta,
20 Mei 2015 – 16:50)
Selasa, 19 Mei 2015
"INDONESIA, BERHENTILAH MENODONG!"
Maaf,
bukan bermaksud menuduh bahwa bangsa ini semuanya sama. Saya sendiri juga orang
Indonesia dan sebisa mungkin berusaha untuk tidak melakukannya, meski dengan
resiko dikatai “sok alim”, “nggak asik”,
“terlalu baik”, hingga “merugi”.
Mungkin
banyak yang akan menjadikan budaya sebagai alasan, tapi apa gunanya
dipertahankan bila berpotensi merusak hubungan pertemanan dan keluarga? Belum
lagi dengan kemungkinan besar bahwa kita akan kembali mewariskan kebiasaan
merugikan ini ke generasi berikutnya, yaitu meminta-minta. Ah, bosan. Kapan
majunya kita?
Saatnya berhenti menodong saudara /
teman untuk saat-saat seperti ini:
1.Saat mereka berulang tahun.
Sampai pernah ada yang berkomentar: “Kalau di luar negeri, yang ultah malah
ditraktir, dibanjiri hadiah, pokoknya dimanjain banget dalam sehari. Di sini?
Yang ada malah dirampok ampe gak kira-kira! Boro-boro mereka kasih hadiah.
Nodong traktiran pake maksa dan ngancem musuhan segala!” Nah, lho. Lain
cerita kalau yang berulang tahun ikhlas mentraktir Anda, bahkan menawarkan
duluan. Namun, tetap jangan jadikan itu kebiasaan. Bukan apa-apa, belum tentu
teman selalu punya uang cukup untuk mentraktir Anda. Jangan sampai lama-lama
teman akan menghindari Anda saat hari ulang tahun mereka, apalagi bila Anda
terkenal memaksa dan menuduh mereka pelit dan nggak setia kawan karena
permintaan Anda tidak dituruti. Lebih parah lagi bila Anda makin tak tahu diri
dengan mendesak mereka agar mentraktir Anda di tempat yang mahal punya,
sementara ultah mereka sialnya jatuh pas tanggal tua, dimana keuangan belum
tentu memadai. Kasihan, ‘kan? Teman apa teman, sih? Hiiih...
2.Saat mereka punya pacar baru.
“Heeii,
yang baru jadian! PJ-nya mana?” (PJ =
Pajak Jadian!) Sering diminta begini saat ketahuan punya pacar baru?
(Apalagi yang pakai pengumuman segala lewat FB dengan status ‘in a relationship’.) Bagaimana perasaan
Anda?
Seperti biasa, bila teman baru punya
pacar, cukuplah ikut berbahagia dengan memberi mereka ucapan selamat. Sama
seperti kasus di atas, kalau mereka mau merayakannya dengan memberi PJ alias
traktiran – itu terserah mereka. Kalau tidak? Ya, lagi-lagi jangan memaksa –
meskipun Anda sahabat terdekat sekali pun atau Anda ikut berjasa dalam
menjodohkan teman dengan pacar barunya. Kalau sampai mengungkit-ungkit, bisa
dipastikan teman akan berpikir dua kali meminta bantuan Anda – karena Anda
ternyata memegang teguh prinsip ‘utang
budi’ alias pamrih!
3.Saat mereka mendapatkan gaji pertama.
Baik sebagai first jobber atau karena pindah kerja, ada baiknya Anda berpikir
ratusan kali untuk menodong teman dalam kasus ini. Tolong hargai teman yang
sedang berusaha mendapatkan penghasilan untuk meningkatkan taraf hidup mereka,
apalagi bila sebelumnya mereka sudah pernah berada dalam kesulitan finansial
(misalnya: terlalu lama menganggur hingga harus bergantung sama orang lain,
kehilangan pekerjaan karena di-PHK atau perusahaan sebelumnya gulung tikar, harus
mengurus anggota keluarga yang sakit keras hingga membutuhkan banyak biaya, dan
lain-lain.) Lagipula, bisa saja teman punya prioritas hidup lain yang jauh
lebih penting dan mendesak, daripada sekedar mentraktir Anda hanya agar Anda
tidak mempertanyakan kualitas pertemanan kalian. Jangan sampai nantinya mereka
akan berhenti berbagi cerita dengan Anda, karena khawatir Anda hanya akan ‘menempeli’ mereka gara-gara sifat Anda
yang ternyata aji mumpung dan mata duitan!
4.Saat mereka ke luar kota atau negeri.
Ini mungkin sudah banyak dibahas,
dimana saat seseorang ketahuan mau ke luar kota atau negeri, semua orang – baik
yang dekat maupun yang tidak – mendadak jadi ekstra ramah karena mau menitip: “Oleh-oleh!” Okelah, mungkin Anda memang
sedang tidak sempat atau tidak selalu bisa bepergian. Tapi lihat-lihat juga
situasi dan kondisi teman. Apakah mereka sibuk dan belum tentu sempat mencari
oleh-oleh / titipan untuk Anda? Apakah Anda menyediakan uangnya, sepakat
mengganti uangnya saat barang sudah diterima, atau hanya sekedar menodong dan
menuntut agar dibelikan? Memangnya Anda mau tanggung-jawab saat teman terkena excess baggage (kelebihan muatan) di
bandara dan harus membayar denda karenanya? Belum lagi kalau ternyata barang
yang sudah didapat tidak sesuai bayangan Anda / tidak Anda sukai. Nah, lho!
Pernah berpikir sampai ke situ, nggak?
Untuk keempat contoh kasus di atas
(atau mungkin ada beberapa contoh lainnya), kuncinya terletak pada keikhlasan,
kemauan, dan kemampuan mereka untuk melakukan permintaan Anda – bahkan sebelum
Anda todong. Jangan sampai mereka akan bertanya-tanya apakah Anda akan selalu
ada bahkan saat mereka tak selalu punya uang!
R.
(Jakarta, 17 Mei 2015 – 16:00)
"KEPO"
Apa
yang kau cari dari lamanku,
sampai
kau ibarat pemburu?
Oh,
aku enggan memuaskan obsesimu
akan
banyak hal yang ingin kau tahu
Bisakah
kita sama-sama sibuk
agar
tak perlu mengorek yang buruk?
Masa
lalu tak perlu kau keruk
Tak
perlu membuat sesama saling terpuruk
Semoga
kau segera temukan bahagia,
sementara
aku tetap apa adanya
Kita
mungkin masih dapat bertatap muka,
tanpa
harus ada saling cela.
R.
(Jakarta,
18 Mei 2015 – 14:45)
Sabtu, 16 Mei 2015
"BEBAS?"
Aku
ingin bebas. Kamu juga? Ya, semua orang sama.
Ya, setidaknya itu yang kita rasakan
dari kecil. Bebas dari semua aturan yang membelenggu. Suka-suka. Kalau perlu,
kita bebas bermain sepuasnya. Sampai lelah dan enggan bermain lagi kalau perlu.
Kita ingin bebas. Kita berhak untuk
bebas. Ya, kita seperti itu saat remaja. Bebas berkarya, berpendapat yang mulai
tak sejalan dengan keinginan orang tua. Sayangnya, isi dompet kita juga masih
dari mereka. Tinggallah ‘bebas’
sebagai keinginan tertunda. Tak ayal kita tak sabar ingin segera dewasa. Bebas
berbuat sesukanya.
Apakah kita telah bebas? Orang tua
telah lama melepas kita. Isi dompet tak lagi dari mereka. Ya, kerja, kerja, dan
kerja. Lagi-lagi bertemu aturan berbeda. Kamu suka? Ah, ya. Jawaban bisa apa
saja. Suka tak suka, isi dompet masih dan sepertinya akan selalu berbicara.
Jika cukup banyak, mungkin kebebasan dapat terbeli atau sekedar tersewa...
meski belum tentu lama. Setelah itu? Saatnya kembali bekerja. Siapa tahu kita beruntung,
berikutnya kita dapat kembali bebas... yang lagi-lagi terbeli dari hasil
jerih-payah kita. Begitu dan begitu seterusnya. Belum lagi mereka yang sedang
butuh bantuan kita untuk bebas. Bebas dari apa? Ya, dari apa saja – termasuk
utang hingga sekedar perasaan tak berdaya.
Social
media telah diakui sebagai ‘surga’ – nya
pencinta kebebasan. Bebas pamer kebanggaan, foto-foto dan video kesukaan,
hingga berpendapat tentang apa saja. Suka-suka yang punya akun dan laman. Ada
yang keberatan? Sah-sah saja. Toh, tidak semua bisa disenangkan. Siapa mereka
yang berhak mengatur-atur kita? ‘Kan tinggal tidak usah membaca. Tidak semua
perlu dilihat, dikomentari, apalagi hingga jadi beban pikiran.
Bagaimana dengan dunia nyata?
Sanggupkah kita sejujur di social media?
Apakah semua pencitraan belaka? Belum lagi tuntutan hukum yang siap memancung
kebebasan Anda yang – pada kenyataannya – kerap kebablasan.
Bebas? Yakin kita benar-benar ‘bebas’? Ketahuan membunuh, kita bisa
masuk penjara. (Ya, kecuali isi dompet yang lebih dari cukup untuk membeli
kembali kebebasan kita.) Binatang membunuh sesama, spesies berbeda, atau
manusia? Hanya insting belaka. Siapa yang mau memenjarakan mereka? Oh, ya.
Manusia. Mereka berada di kebun binatang untuk dipamerkan ke seluruh dunia.
Masih tidak percaya, kalau kebebasan
itu ilusi belaka?
R.
(Jakarta, 14 Mei 2015 – 20:00 untuk The
Couchsurfing Writers’ Club Gathering di Kopi Oey, Jalan Sabang. Topik: bebas /
kebebasan.)
"BALASAN SI PATAH HATI"
(Terinspirasi
dari puisi karya Tommy Surya Pradana – alegorisenja.tumblr.com )
-Ruby Astari-
Gelas
ini sudah lama kosong
Tak
perlu mengisinya lagi
Aku
sudah lama patah hati
Hingga
rasa itu mati malam ini
Tiada
lagi janji; yang ada hanya tai
Benarkah
gugurku terhormat?
Haruskah
aku bangkit kembali?
Tiada
guna rasa kasihan
Biarlah
mereka tunggu saatnya mati
Aku
tak pernah kalah, bahkan hingga hari ini
Aku
hanya menanti kejatuhan mereka di lain hari...
R.
(Jakarta,
15 Mei 2015, 13:24)
"SAAT 'LINGKARAN SOSIAL' TERLALU MENUNTUT... "
“I hate social life. I hate having
it.” (Saya membenci kehidupan sosial. Saya benci
memilikinya.)
Kaget? Percayalah, itu juga reaksi
awal saya saat mendengar pengakuan seorang rekan. Apa pasal? Apakah dia tidak
suka punya teman dan lebih memilih sendirian? Apakah dia dikelilingi
orang-orang yang kurang menyenangkan, hingga lingkaran sosial jadi tampak
menakutkan di matanya?
Apakah dia hanya sosok yang egois?
Sepertinya memang lebih mudah menilainya demikian. Seperti biasa, manusia
memang palig gesit kalau perkara menghakimi – bahkan tanpa sudi mendengarkan
pihak yang mereka hakimi.
Berapa banyak dari kita yang bisa
memahami hal ini? Jangan-jangan kita cenderung lalai dan bahkan abai.
Akhirnya rekan saya bercerita:
Dulu dia punya cukup banyak
lingkaran pertemanan. Sesekali dia juga berkumpul dengan mereka, meski sisanya
lebih banyak chatting lewat BB, Whatsapp, FB, Twitter, dan lain sebagainya.
Yang lalu jadi masalah? Saat mereka
(yang mengaku teman sejati dan pengertian) mulai banyak menuntut. Sebisa
mungkin harus selalu ketemu (sesibuk apa pun.)
Oke, ada satu masa dimana rekan saya
sibuk sekali. Setiap kali diajak ketemuan, dia lebih sering tidak bisa. Rupanya
ada yang tidak terima dan reaksi mereka pun beragam. Ada yang mengeluh
terang-terangan: “Gak asik lo, sibuk
melulu!” Ada yang jadi ngambek dan malas mengajak-ajak lagi. Mungkin masih
ada yang bisa memaklumi, namun sepertinya kalah jumlah.
Lalu? Saat rekan saya akhirnya
berhasil mengusahakan waktu untuk berkumpul dengan teman-temannya, bukan
sambutan menyenangkan yang dia dapat. Meski mungkin ada yang menyambutnya
dengan suka cita, tak ayal cukup banyak juga yang malah mencelanya:
“Nah,
akhirnya dateng juga lo. Diajak ketemuan susah amat, sih? Sombong amat. Sibuk
terus, ya?”
Ada
juga yang bikin kesal rekan saya: saat dia sudah berusaha meluangkan waktunya
yang kebetulan tidak banyak untuk ketemuan, yang memaksa datang ketemuan malah
dengan seenaknya datang telat... atau mendadak membatalkan acar secara sepihak!
Ada juga yang begitu datang, bukannya minta maaf karena telat, langsung ke
topik pembicaraan yang – menurut rekan saya – enggak banget: nggak jauh-jauh dari gosipin orang lain!
“Bayangin,” kata rekan saya waktu
itu, “lo udah sengaja meluangkan waktu lo yang gak sedikit, pas dateng malah
dikritik. Dikatain sombong, seolah-olah lo sengaja menghindar atau nggak mau
ketemuan sama sekali. Seakan lo yang salah karena punya kesibukan, sementara
mereka yang nggak mau ngertiin. Tapi sepertinya gue yang selalu harus ngertiin
mereka yang emang kebetulan selalu punya waktu buat kumpul bareng.”
Aduh.
Belum kelar rasa kaget saya, rekan saya melanjutkan – dengan nada sedikit
berapi-api:
“Terus, belum lagi yang suka dateng
telat. Kita semua tahu Jakarta macetnya kayak apa. Setidaknya minta maaf, kek.
Ini enggak. Udah gitu, pas mereka masih mau berlama-lama sementara waktu gue
nggak banyak dan mau pamit duluan, mereka marah dan nggak mau ngertiin. Kata
mereka: ‘Sini dulu, ngapain buru-buru?
‘Kan kita udah lama gak ketemu. Lo sibuk terus, sih. Sombong amat.’ “
Sombong.
Aih, lagi-lagi kata itu begitu mudah terucap – sama seperti suka, cinta, hingga benci.
“Trus, pas ketemuan, kirain mau
saling tukar kabar atau apa gitu.” Rekan saya masih keki luar biasa. “Eh,
taunya malah pada ngomongin orang lain. Si A begini-lah, si B begitu-lah. Si C
udah cerai dan baru kawin lagi-lah... pokoknya males banget, deh. Daripada
nanti ikutan nambah dosa, mending gue nggak usah ketemuan lagi aja sekalian.
Bukannya gue mau sok paling bener dan mutusin tali silaturahmi sih, tapi apa
gunanya gue ketemuan lagi kalo yang ada gue selalu dituduh sombong karena sibuk
dan dikatain nggak asyik? Mending mereka mau ganti bayar gaji gue kalo gue
emang lagi kena lemburan. Mending mereka sendiri seneng kalo diomongin orang
lain!”
Oke, sebelum pada keburu menuduh
rekan saya kaku, lebay, dan kelewat
sensi – mari sama-sama menilik:
Kita semua sudah tahu, persahabatan
pasti akan berubah seiring waktu. Tak ada yang abadi. Ada beda pertemanan waktu
kecil, remaja, usia 20-an, hingga 30-an ke atas. Bisa saja waktu sekelas atau
satu sekolah dulu, kita masih bisa kemana-mana bersama. Lalu mulai pisah saat
beda jadwal, beda kegiatan, dan sebagainya. Belum lagi saat pindah sekolah,
pindah kota, atau pindah ke luar negeri. Memang untung ada internet – apalagi
lewat smartphones. Cuma, rasanya
tetap beda, sih. Kita tidak selalu bisa menerjemahkan emosi lawan bicara hanya
dari SMS atau pesan di Whatsapp. Karena
itulah sering terjadi miskomunikasi yang dapat berujung konflik, meski
sebenarnya tidak perlu.
Mungkin pas masih sekampus /
sekantor, makan siang selalu bareng. Begitu salah satu pindah, frekuensi
ketemuan jadi bisa seminggu / sebulan / beberapa bulan sekali. Belum lagi
dengan pacar, teman-teman baru lainnya, dan beragam kesibukan. Apalagi bila
sudah ada yang menikah dan punya anak, sementara yang lain mungkin masih
lajang. Beda kesibukan, visi, misi, dan prioritas itu pasti. Tidak bisa
dihindari.
Masa Anda mau ngambek seperti anak
kecil, saat sahabat mendadak membatalkan acara ketemuan karena harus mengantar
anaknya yang sakit ke dokter? Anda pasti juga kesal dong, saat teman
terus-terusan memaksa Anda ketemuan, padahal saat itu Anda juga lagi
sibuk-sibuknya?
Lalu, kalau teman Anda yang semula ‘super sibuk’ itu akhirnya bisa
meluangkan waktu untuk ketemuan, berbahagialah. Tak perlu mengungkit-ungkit
yang lalu, apalagi sampai menuduhnya macam-macam. Seperti biasa, bercanda bukan
lagi bercanda bila ada hati yang sampai terluka. Sudah pada dewasa, ‘kan?
Jadilah teman yang selalu dirindukan
dan dinantikan. Caranya? Cukup belajar berlapang hati menerima realita yang
ada. Jangan terlalu risau saat teman tidak bisa selalu bertemu dengan Anda.
Tidak semua hal melulu tentang Anda.
R.
(Jakarta, 27 April 2015 – 11:00 am)
Kamis, 14 Mei 2015
"AH, BIASA!"
Seorang
datang memandang
sosokmu
yang sederhana
lalu
berlalu tanpa pertimbangan.
Batinmu
berkata: “Ah, biasa.”
Seorang
lagi datang memandang
menganggapmu
tidak istimewa
lalu
tersenyum meremehkan.
Batinmu
memaklumi: “Tidak apa-apa.”
Mungkin
mereka akan heran
memandangmu
penuh tanya
akan
senyummu yang penuh kemenangan.
Tanya
mereka: “Kenapa?”
Jawabmu:
“Mudah saja.
Untuk apa berduka karena cerca
manusia
bila Tuhan selalu ada dengan
kasih-Nya?”
R.
(Jakarta,
13 Mei 2015)
Minggu, 10 Mei 2015
Catatan Mariana Amiruddin: Keadilan Pada Memori
Catatan Mariana Amiruddin: Keadilan Pada Memori: Oleh Mariana Amiruddin Memorabilia, kata yang menjelaskan tentang mengingat suatu peristiwa di waktu tertentu, dan kita pernah berada...
Catatan Mariana Amiruddin: Selamat Tinggal Ingatan
Catatan Mariana Amiruddin: Selamat Tinggal Ingatan: Oleh: Mariana Amiruddin Bulan Mei seharusnya menjadi bulan yang kelam yang membuat kita berdiri sejenak dan mengheningkan cipta atas ...
Jumat, 08 Mei 2015
"SATU HARI BISU"
Ini
hanyalah satu dari hari-hari itu,
saat
aku lebih memilih membisu
membiarkan
semua berlalu
tanpa
andil apa pun dariku.
Entahlah...
Mungkin
aku hanya lelah.
Lagi-lagi
muak dengan drama.
Masalah
yang itu-itu saja.
Kapan
majunya?
Jangan
tanya mengapa.
Ada
kalanya, lebih baik tidak berbicara.
Tak
perlu mengatakan apa-apa.
Mereka
tak perlu tahu semua cerita.
Silakan
berspekulasi sesuka mereka.
Ini
hanyalah satu dari hari-hari semacam itu,
saat
aku memang lebih baik membisu.
Biarkan
semua berlalu.
Tak
semua harus melibatkanku...
R.
(Jakarta,
27 April 2015)
Langganan:
Postingan (Atom)