Sebelum ada yang keburu jutek gara-gara judul di atas dan lantas menuduh saya anti kebaya, sinis, tidak nasionalis, hingga tidak menghormati 'Ibu kita' yang satu ini, silakan baca dulu sampai habis.
Saya tidak anti kebaya, tapi juga bukan maniak. Apa lagi, sekarang kebaya sudah banyak modelnya, sehingga tidak membosankan atau terkesan kuno. Kebaya zaman sekarang juga tidak melulu pas badan atau ketat sekalian, sehingga saya yang memang berbodi 'plus-size' dan memang aslinya tidak suka dengan yang bikin sesak dapat cukup berbahagia karenanya.
Lalu, kapan saya pakai kebaya? Biasanya saat menghadiri pernikahan. Saya bahkan tidak pernah mengenakannya saat Hari Kartini. Kenapa? Ya, rasanya tidak ada perlunya. Untuk apa, coba? Kemana-mana saya lebih banyak naik motor (pakai jasa Gojek, bukan naik sendiri karena memang tidak punya) atau bus. Taksi mahal dan tidak setiap hari saya bisa naik mobil. Kalau sampai rela ribet sedemikian rupa hanya supaya ada yang bilang cantik atau cah ayu ala putri Jawa, terima kasih, deh. Masalah sudah banyak, jadi untuk apa menambah kerepotan bagi diri sendiri hanya untuk sesuatu yang rasa-rasanya kok, lebih banyak superfisial ketimbang substansial? Kalau perempuan lain masih mau berbuat demikian, terserah mereka. Tidak ada yang melarang.
Saya sinis? Tidak nasionalis? Hei, tunggu dulu. Memangnya hanya kebaya yang jadi lambang nasionalisme bangsa ini?
Bagi saya, perayaan Hari Kartini sudah terlalu lama kehilangan makna. Tiap tahun itu-itu saja, lebih pada sibuk mengurusi kebaya. Yang gila, masih ada saja lomba masak, fashion show, hingga semua yang labelnya serba 'domestik'. Belum lagi iming-iming diskon agar makin pada suka belanja, bahkan untuk sesuatu yang belum tentu beneran mereka butuhkan. Kegiatan serupa juga masih suka diadakan lagi pada Hari Ibu tanggal 22 Desember (yang maaf, lagi-lagi salah kaprah yang sepertinya sengaja dibiarkan kebablasan, karena sebenarnya ini Hari Perempuan Indonesia - bukan sekedar Ibu saja.)
Saya sinis? Biar saja. Ini memang bisanya patriarki 'mengakal-akali' - hanya agar kita semakin terlena dan terus terjebak dalam formalitas kosong belaka. Lagi-lagi yang digembar-gemborkan dari Kartini selalu sama: kebayanya, kelembutannya (padahal coba baca isi surat-surat beliau, deh!), dan statusnya sebagai istri kesekian yang mau dipoligami. Sekian. Belum lagi peran beliau yang seakan semakin 'dikerdilkan', hanya karena lebih banyak 'menulis surat' - bukannya ikut berperang dengan senjata. (Wong beliau putri bangsawan. Mana boleh waktu itu? Keluar rumah saja dilarang!) Tidak seperti pahlawan perempuan lain, seperti Cut Nyak Dien, misalnya. Anehnya, saya tidak pernah mendengar Pangeran Diponegoro dan Ki Hajar Dewantara dibanding-bandingkan dengan begitu sengitnya.
Lebih banyak 'menulis' saja? Bukankah semua tulisan adalah hasil dari buah pemikiran manusia, tempat lahirnya gagasan-gagasan - terutama yang demi kemajuan bangsa?
Kenapa tidak ada inovasi yang lebih berguna bila memang masih ingin merayakan Hari Kartini? Seperti memberikan beasiswa gratis kepada anak-anak perempuan dari keluarga yang kurang beruntung, misalnya. Daripada anak-anak malang itu nantinya malah terancam putus sekolah, terpaksa menikah dini, hingga rentan jadi korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Atau mengadakan lomba menciptakan aplikasi yang dapat membantu perempuan, misalnya: aplikasi HELP (http://magdalene.co/news-770-digital-application-to-help-women-in-danger-.html) yang dapat membantu perempuan saat berada dalam bahaya di jalanan.
Cukuplah perayaan Hari Kartini dengan cara yang itu-itu saja. Saya bosan. Memangnya semua perempuan hanya bisa jadi boneka Jawa berkebaya?
R.
(Jakarta, 21 April 2016 - 15:00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar