Rabu, 20 April 2016

"TIGA (3) JENIS MANUSIA SAAT PATAH HATI"

Banyak yang bisa menjadi penyebab patah hati, meski seringnya sih, karena putus cinta. Berhubung demikian, maka ada tiga (3) jenis manusia saat patah hati:
1. Yang merasa sepertinya dunia telah berakhir.
Tidak masalah berapa lama hubungan itu berjalan. Tidak peduli putusnya karena salah satu (ketahuan) selingkuh, ribut karena beda prinsip, hingga main ditinggal pergi begitu saja. (Catatan khusus: jika maut berperan dalam putusnya hubungan ini, nampaknya butuh penanganan khusus dari yang ahli dan dalam waktu yang belum tentu bisa dipastikan.) Rasanya, hidup seperti kehilangan arti. Menjalani hari-hari tanpa semangat lagi. Tak ada bahagia di hati, meski mungkin secara sosial masih berfungsi. Bila tidak, lebih banyak mengurung diri. Keluarga dan para sahabat terdekat cemas setengah mati. Ada juga yang akhirnya tidak tahan dan pergi. (Susah juga, sih.) Yang tidak (mau/bisa) mengerti atau memang jahat memanfaatkan 'kejatuhan' ini untuk mem-bully.
Saran: 
Wajar bila bersedih, marah, kecewa, dan merasa terluka. Namanya juga manusia biasa. Namun, jangan lupa dengan tetap menyayangi diri Anda. Bahaya bila terlalu lama 'larut' dalam perasaan seperti ini, mulai dari stres, depresi, hingga...ingin menyakiti/membunuh orang lain (terutama si penyebab patah hati) atau diri sendiri. Hiiih!
Sering-seringlah bergaul dengan mereka yang berpikiran positif dan optimis, namun juga dapat mengerti kondisi dan situasi Anda - sehingga tidak terdorong untuk menghakimi atau memaksa Anda untuk segera move on. Kadang sekedar niat baik dan pikiran positif tidak cukup. Salah bicara sedikit saja bisa jadi ribut.
Sibukkan diri dengan banyak kegiatan positif, seperti berkumpul dengan keluarga, jalan dengan sahabat, atau ikut komunitas hobi hingga kegiatan sosial. Banyak-banyak berdoa dan mencoba liburan ke tempat baru, sekalian merasakan suasana baru. Bila sedang ingin sendiri karena merasa kembali dicekam kesedihan, berilah ruang dan waktu bagi diri sendiri. Kalau ternyata sedang tidak ingin sendirian, tidak perlu gengsi. Dekatkan diri pada keluarga dan sahabat yang mengerti. Kalau perlu, untuk sementara jauhkan diri dari lagu-lagu, novel, dan film-film seputar patah hati yang dapat memicu kembali rasa sedih.
Pada saat-saat seperti ini, Anda mungkin akan tergoda untuk memulai 'lembaran baru' dengan orang lain, terutama dengan alasan ingin cepat 'move on' atau enggan kelamaan sendirian/melajang. Pastikan Anda memang benar-benar sudah siap, bukan sekedar mencari pelarian. Kasihan bila orang yang sungguh menyayangi Anda hanya dijadikan pelampiasan, alias 'rebound'...
2. Yang selalu ingin terlihat tegar di luar, tapi sebenarnya masih 'remuk' di dalam.
"Nggak apa-apa. Nggak ada dia aku juga nggak mati, kok."
"Biarin aja dia pergi. Nggak sudi gue nangisin doi."
"Tenang, gue nggak akan secengeng atau se-mellow itu. Emangnya gue alay?"
Yakin? Yakin saat Anda tertawa, itu bukan tawa miris? Yakin rahang Anda tidak pegal gara-gara (merasa wajib) tersenyum lebar, padahal dalam hati merasa tertampar?
Saran:
Ingin berusaha tegar itu bagus, tapi ngapain harus 'pura-pura' segala? Kata siapa Anda tidak boleh menangis, meluapkan kekecewaan, kemarahan, dan sakit hati Anda? Namanya juga manusia biasa. Terlepas dari penyebab berakhirnya kisah kasih Anda dengan si dia, perasaan gagal itu pasti ada. Jadi, lupakan acara drama berupa perbandingan kisah cinta Anda dengan mereka, termasuk akhir cerita dan bagaimana mereka menangani patah hati mereka. Ini bukan balapan. Tidak perlu berbangga hati dan memamerkan diri bila Anda (merasa) sudah lebih cepat 'move on' daripada mereka. Pastinya cara tiap manusia beda.
Ingat, mengacuhkan luka yang sebenarnya masih ada sama saja dengan membiarkan diri 'mati keracunan dengan perlahan-lahan'. Nggak mau, 'kan? Paling parah bila Anda membiarkan 'racun' itu mendikte Anda dalam berperilaku. Seorang sahabat (yang lebih bijak) pernah bilang begini:
"Semua orang pernah disakiti dan patah hati. Sebenarnya tinggal memilih: mau berusaha sembuh dan menjadi pribadi yang jauh lebih baik atau malah menjadikan luka masa lalu sebagai alasan - atau bahkan pembenaran - untuk menyakiti orang lain?"
Pendapat di atas tampaknya juga sejalan dengan pendapat pensiunan profiler FBI John Douglas dalam buku autobiografinya (semoga nggak salah kutip, ya?):
"Semua psikopat, pembunuh berantai, pemerkosa, dan penjahat sejenis yang pernah saya wawancara selalu banyak alasan di balik semua kejahatan mereka. Orang tua abusive, pernah jadi korban bullying, sering dibuat patah hati...banyak sekali. Namun saat saya tanya apakah mereka sadar perbuatan mereka salah, jawaban mereka iya. Berarti mereka memilih dong, untuk menyakiti orang lain?"
Akui saja Anda sedih, tanpa perlu menunjukkannya ke semua orang. Kalau sebal melihat orang lain mellow (terutama lewat posting mereka di social media), Anda bisa memilih untuk tidak melihat dan membaca. Mudah sekali, bukan?
Intinya, urus saja dulu luka sendiri sebelum mengurus luka orang lain. Lagipula, cara Anda belum tentu berhasil untuk mereka - begitu pula sebaliknya. Santai saja.
3. Yang realistis dan berusaha menyeimbangkan diri.
Jika Anda sudah berada pada tahap ini, selamat. Anda bukan tipe yang mudah berlarut-larut dalam kesedihan, namun juga tidak sok tegar - dan bahkan sengaja memamerkannya ke orang lain. Anda tidak akan gengsi dalam mengakui perasaan yang sebenarnya. Kalau memang lagi sedih, ya sedih saja. Tidak perlu berpura-pura tidak ada apa-apa. Tapi, Anda juga bukan tipe yang selalu haus perhatian hingga kesannya kayak minta dikasihani sejuta umat. Bahkan, sebisa mungkin Anda tidak terlalu sering update status tentang betapa sedihnya Anda di social media. Anda masih sadar, bahwa entah bagaimana pun caranya, hidup tetap berlanjut. Anda tetap berusaha berfungsi secara sosial sembari mendapatkan bantuan yang diperlukan untuk kembali meraih bahagia. Bahkan, kalau bisa Anda tetap berusaha membahagiakan orang lain, meski sebenarnya Anda sendiri sedang sedih. Percayalah, tidak banyak yang bisa sekuat ini.
Kapan Anda beneran 'move on'? Hanya Anda yang bisa memutuskan. Semoga segera, karena hidup ini terlalu singkat dan berharga untuk terlalu lama berduka.
Saran:
Lakukanlah yang sudah Anda lakukan. Anda bisa menerima dengan ikhlas bahwa tidak semua berada dalam kendali Anda. Bahkan, mungkin Anda juga bisa menjadi inspirasi bagi mereka yang senasib: jujur dengan perasaan sendiri dan berusaha tetap tegar, namun tanpa terkesan pongah dalam penyangkalan.
Jadi, bagaimana cara Anda menangani patah hati?
R.
(Jakarta, 17 April 2016 - 7:00)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar