Selasa, 28 April 2015
Rabu, 22 April 2015
Catatan Mariana Amiruddin: Media dan Kuasa (Dampaknya pada Kekerasan terhadap...
Catatan Mariana Amiruddin: Media dan Kuasa (Dampaknya pada Kekerasan terhadap...: Oleh: Mariana Amiruddin Kata “kuasa” atau kekuasaan seringkali hanya dipersepsikan pada pemimpin, raja, presiden, pejabat, direkt...
Selasa, 21 April 2015
Catatan Mariana Amiruddin: Mengembalikan Makna Emansipasi Hari Kartini
Catatan Mariana Amiruddin: Mengembalikan Makna Emansipasi Hari Kartini: Oleh: Mariana Amiruddin Apakah kita pernah berdebat tentang Pangeran Diponegoro dan Teuku Umar terutama siapa yang paling pantas di...
Senin, 20 April 2015
"CINTA...APA OBSESI?"
Cinta
lama bersemi kembali
suatu
saat di bulan ini
saat
kau tahu dia akan kemari
meski
sadar kau tak lagi sendiri
Akankah
kau mengejarnya lagi?
Sudikah
kau menciptakan drama yang sama,
meski
bosan dan muak terbaca di wajah mereka?
Dia,
dia, dia...dan sekali lagi dia.
Belum
kapok juga rupanya!
Cinta
itu tak hanya bersemi kembali,
namun
tak pernah benar-benar mati
Siapkah
kau kembali patah hati?
Kau
bahkan tak tahu beda cinta dengan obsesi.
R.
(Jakarta,
10 April 2015)
"SAAT KISAH-KISAH MENYEBAR DENGAN CEPAT..."
Saya
masih ingat dongeng yang menjadi latar plot / ilustrasi cerita dalam novel thriller berjudul “You Belong To Me” karya Mary Higgins Clark:
Alkisah, dahulu hiduplah seorang
tukang gosip. Hobinya menyebarkan berita – tanpa dicek dulu kebenarannya alias
kemungkinan besar bohong – membuat masyarakat gerah. Bagaimana tidak? Sudah
banyak yang jadi korban fitnah.
Saat ditangkap dan diadili, si
tukang gosip mendapatkan hukuman aneh dan merepotkan:
Sebuah bantal dirobek di lapangan
terbuka saat angin tengah bertiup kencang. Tentu saja bulu-bulu angsa yang
menjadi isi bantal langsung beterbangan kemana-mana. Si tukang gosip harus
mengumpulkan kembali semua bulu angsa yang sudah terpencar dan memasukkannya
kembali ke dalam bantal yang sudah robek. Tentu saja ini bukan perkara mudah,
sama sulitnya dengan harus mendatangi tiap orang untuk mengoreksi berita bohong
yang sudah terlanjur tersebar.
Terlepas dari benarkah si tukang
gosip banyak menyebarkan cerita bohong atau tidak, dari zaman ke zaman – berita
semakin menyebar cepat. Tergantung (ingatan atau...kepentingan?) pencerita dan
pendengar, nasib kisah pun bisa berubah: menjadi lebih panjang atau malah makin
pendek. Kalau sudah begini, mana yang benar, ya? Benar sebenar-benarnya, bukan
sekedar yang (ingin) dipercayai orang.
Lagi-lagi, seperti biasa, hanya
Tuhan yang (Maha) Tahu.
Terdengar familiar? Tentu saja.
Entah kenapa, kebanyakan manusia – baik lelaki maupun perempuan – cenderung
suka sama rumor, baik sebagai pendengar maupun penyebar. (Tidak perlu ribut
soal gender di sini, karena pada kenyataannya – semua manusia sama saja. Tidak
perlu mengaku atau membantah juga. Cukup kita berkaca pada diri masing-masing.
Sekian.) Terutama di era social media. Tinggal
sekali klik, selesai sudah. Gampang, ya? Enaknya, pilihan selalu ada di tangan
Anda.
Yang jadi masalah? Seperti biasa,
hobi kita yang terburu-buru – bahkan kadang / kerap tanpa membaca dan menelaah
terlebih dahulu, kalau bisa sedalam mungkin. Pokoknya hanya baca sebentar
(meski kadang malah hanya sekilas baca judulnya), terus main sebar begitu saja.
(Mungkin ada juga yang menyebutnya ‘sampah
internet’.)
Setelah itu? Reaksi orang beragam.
Ada yang langsung mengiyakan atau membantah. Mungkin saja mereka langsung
percaya karena alasan tertentu, misalnya: punya pengalaman serupa, ingin ikut
menjatuhkan pihak tertentu, atau asal percaya karena – seperti biasa, lagi-lagi
– malas berpikir. Ada juga yang tidak peduli, karena toh itu tidak ada
hubungannya sama sekali dengan mereka.
Berkat social media, lagi-lagi kita dapat memilih. Apa yang ingin kita
baca, resapi, hingga percayai. Semua tergantung cara kita bernalar dan
kesediaan kita meluangkan waktu sejenak untuk meresapi, sebelum memutuskan
untuk meneruskannya – entah ke semua orang, beberapa kenalan saja, atau tidak
sama sekali – alias disimpan sendiri. Tak perlu khawatir dibilang: “Ahh, berita itu sudah basi lima hari / jam
/ puluh menit yang lalu.” Memangnya Anda sedang berlomba? Tidak lelah?
Memangnya kita semua sanggup menghabiskan semua makanan bila hujan makanan
benar-benar terjadi, layaknya film “Cloudy
and A Chance of Meatballs”? Apakah kita mau?
Tidak perlu tahu semuanya kalau yang
ada Anda malah stres karena isi kepala kebanyakan informasi (apalagi yang belum
tentu Anda perlukan atau ada hubungannya dengan hidup Anda). Kadang hal itu
malah jauh lebih menyehatkan mental!
R.
(Jakarta, 14 Maret 2015)
Kamis, 16 April 2015
Rabu, 15 April 2015
“BLOGGING COMPETITION LAUNCH: INDONESIAN YOUTH INVOLVEMENT IN IMPLEMENTING THE POST-2015 DEVELOPMENT AGENDA"

(Ajakan untuk Kaum Muda untuk Lebih Peduli Masalah Bangsa Lewat Menulis Blog)
Apa itu “The Post-2015 Development Agenda”? Berawal dari delapan goal / tujuan yang dicanangkan United Nations dalam MDGs mereka, program tahunan ini kini berkembang menghasilkan 17 goal dan 169 target yang diusulkan oleh The Open Working Group on Sustainable Development Goals (OWG). Beberapa diantaranya termasuk mengentaskan kemiskinan dalam bentuk apa pun, mengakhiri kelaparan dan mengusahakan pengadaan bahan pangan dan makanan yang sehat dan terjamin, serta fasilitas kesehatan yang memadai.


Salah satunya adalah dengan
mengikuti Kompetisi Menulis Blog yang diadakan United Nations. (Info lebih lengkap dapat diakses di situs mereka: www.un.or.id .) Selain sebagai sarana
berekspresi, para blogger juga dapat mengkampanyekan usul hingga usaha untuk
membantu mencapai target tersebut – berdasarkan kapasitas mereka sebagai kaum
muda. Deadline kompetisi menulis blog
ini akan berakhir pada 13 Mei 2015. Peserta juga dapat membagikan entri blog
mereka melalui jaringan media sosial.
Rabu, 08 April 2015
"SISI LAIN 'SI MUKA DUA'..."
Siapa
sih, yang nggak sebal sama orang yang bermuka dua? Di depan kita mereka diam
saja atau tersenyum manis, bahkan kadang mengiyakan semua ucapan kita. Giliran
di belakang, mereka ‘menikam’ kita
dengan menyebar kabar keburukan kita pada orang lain. Mengerikan sekali, bukan?
Apalagi bila kita sudah sangat percaya sama mereka.
Tapi, bagaimana dari sisi ‘si muka dua’ itu sendiri? Benarkah
mereka selalu sejahat itu?
Saya tidak sedang membela atau
memaklumi orang yang hobi bermuka dua. Saya hanya sedang berusaha melihat sisi
lain dalam sebuah situasi dan / atau kondisi. Dengan kata lain, ini hanyalah
fakta yang jarang – atau mungkin nyaris tidak pernah – dibahas atau dianggap
ada.
Oke, memang ada orang yang bermuka
dua gara-gara niat mereka yang kurang baik. Entah oportunis atau sengaja ingin
menjebak atau menjatuhkan seseorang yang mereka anggap saingan atau benci.
Namun, tak perlulah lagi kita bertanya-tanya siapa saja yang berpotensi menjadi
manusia bermuka dua. Suka tidak suka, Anda pun bisa. (Seperti biasa, namanya
juga manusia.) Never say never.
Jangan sok yakin bahwa Anda tidak akan pernah begitu. (Semoga Anda juga tidak
akan pernah kepikiran untuk berbuat demikian.) Manusia tidak pernah ada yang
sempurna. Kita takkan pernah tahu kapan kita tiba-tiba ‘khilaf’.
Pernahkah Anda meragukan senyum
tulus teman yang berada di depan Anda? Mungkin Anda hanya berprasangka (dan
diam-diam - biasanya itu membuat Anda merasa bersalah.) Mungkin juga insting
Anda tengah berbicara, meski belum ada bukti nyata.
Atau, pernahkah Anda tersenyum
setengah hati pada seseorang di depan Anda? Mungkin Anda tidak sepakat dengan
mereka, namun malas berdebat. Mungkin sebenarnya mereka begitu menjengkelkan
bagi Anda, namun sayangnya Anda merasa tetap harus berbaik-baik dengan mereka.
Alasannya bisa macam-macam, mulai dari: atas nama sopan-santun, takut, hingga
malas ribut – terutama bila mereka tipe yang sulit atau enggan didebat, alias
selalu merasa paling benar sendiri. (Baca: egois!) Sayangnya, tipe macam ini di
Indonesia sangat lazim pada mereka yang lebih tua, berjabatan lebih tinggi,
hingga punya uang banyak. (Nggak usah heran!) Biasanya mereka hanya akan
menganggap ‘sepi’ pendapat Anda, terutama bila di mata mereka –
Anda dianggap tidak selevel.
Kalau sudah begitu, wajar saja bila
Anda kesal. Namun, berhubung malas buang-buang waktu dan tenaga Anda yang
sangat berharga hanya untuk berdebat dengan mereka, Anda memilih diam saja –
memendam dongkol dalam hati. Kalau sudah tidak tahan lagi, biasanya yang Anda
lakukan adalah membicarakan orang itu dengan orang lain. Yang lebih taktis
mungkin yang memilih teman bicara yang tidak kenal dengan si objek gosip,
dengan harapan bahwa mereka berdua takkan pernah bertemu – apalagi sampai
berteman. Hiiih!
Kalau enggan terlibat dalam drama
yang tidak perlu, diam itu selalu emas. (Lain cerita kalau orang itu sudah
mengancam posisi, kredibilitas, dan keselamatan nyawa Anda secara serius!) Tak
ada gunanya juga Anda cerita-cerita ke semua orang, kecuali bila Anda punya
bukti cukup sebagai peringatan agar mereka lebih waspada. Kalau sudah begitu,
Anda justru akan makin tersiksa lahir-batin dan sulit sekali untuk benar-benar
berbahagia dengan hidup Anda, apalagi bila masih perlu berpura-pura baik pada
sosok yang bersangkutan. Meski Anda korban dan tak bersalah, tetap saja ‘jatuh’-nya sama: Anda juga bermuka dua.
Dalam hidup, memang tak semua selalu
menyenangkan, begitu pula sesama manusia. Menyebalkan memang saat Anda terpaksa
harus menerima kenyataan pahit itu. Akan selalu ada orang yang selalu merasa
paling benar sendiri dan menganggap Anda sama dengan anak kecil yang tidak tahu
apa-apa. Biar saja. Toh, setidaknya mereka sudah mengajarkan satu hal pada
Anda:
Mereka adalah contoh yang tidak
perlu Anda ikuti bila tidak ingin. Gampang, ‘kan?
Lalu, bagaimana bila situasinya
dibalik? Anda sedih dan sakit hati saat tahu banyak yang diam-diam membicarakan
keburukan Anda di belakang Anda. Benarkah niat mereka selalu hanya ingin ‘menjatuhkan’ Anda, entah karena iri
atau benci? Bagaimana bila – ternyata – selama ini mereka telah berusaha jujur
dan terbuka dengan Anda, namun Anda-nya yang tidak mau dengar, bersikap
defensif, atau marah-marah? Lantas Anda menuduh mereka lancang, ikut campur
urusan Anda, menghakimi Anda, atau enggan menerima Anda apa adanya. Benarkah
selalu demikian?
Bisa jadi, selama ini Anda yang
tidak sadar dan tidak peka bahwa Anda sendiri penyebab ketimpangan relasi
antara Anda dengan mereka. Anda mungkin terbiasa ceplas-ceplos, bermulut tajam
atas nama ‘kejujuran’ dan selalu
meminta mereka agar ‘harap maklum’. (Bahkan,
bisa jadi Anda malah tengah berbangga hati harena bisa berlaku demikian dan
merasa Anda jagoan yang berani.) Bolehlah bahwa Anda menganggap tata-krama dan
sopan-santun (atau bertutur baik) hanyalah untuk mereka yang munafik, alias
baik kalau lagi ada maunya saja. Harus ya, selalu seekstrim itu?
Anda mungkin tidak peduli orang lain
akan sakit hati dengan ucapan kasar Anda yang asalkan jujur itu. Nggak masalah,
selama Anda siap bila suatu saat orang akan berbuat sama terhadap Anda. Ingat,
karma selalu berbicara.
Kalau tidak? Ya, Anda memang berhak
suka-suka – seperti mereka pun berhak suka-suka. Jangan salahkan mereka yang
pada akhirnya memilih diam, pura-pura setuju dengan Anda, atau malah menjauh
sekalian. Habis bagaimana? Tidak ada dialog seimbang sih, antara Anda dengan
mereka, apalagi bila yang Anda butuhkan hanyalah pendengar pasif dan pengikut
buta – bukan mereka yang berpotensi membantu Anda berkembang menjadi manusia
yang lebih baik. Kita memang tidak selalu harus dan bisa sepaham, tapi bisa
kan, kita sama-sama berusaha menjaga perdamaian?
Sekali lagi, hidup ini bukan melulu
soal Anda atau mereka. Tak ada yang bisa menjadi pusat semesta. Saatnya kita
semua bersikap lebih dewasa.
Jadi, benarkah si ‘muka dua’ selalu salah, licik, dan
jahat? Selamat mencari tahu bila ingin. Selamat berusaha berdamai dengan
kenyataan. Semoga setelahnya, kita semua dapat bertambah dewasa dan lebih bijak
dalam menyikapi setiap persoalan.
Selamat meraih hidup yang lebih
damai dan bebas drama!
R.
(Jakarta, 5 April 2015)
Selasa, 07 April 2015
"BIARLAH"
Biarlah
mimpi buruk cukup tersimpan dalam tidurku.
Takkan
kubiarkan mereka menghantui saat aku bangun.
Aku
tahu tanya itu di matamu.
Sebaiknya
tak kubuat benakmu bertambah keruh.
Biarlah
takut menjadi bayang samar di balik senyum ini.
Takkan
kubiarkan teror mengusikmu hingga gelisah setengah-mati.
Aku
tahu, diam-diam kau pun merasa ngeri.
Ada
Tuhan, sayang, kita tak pernah sendiri.
Biarlah
kita terus berusaha
meski
dengan sisa-sisa yang ada.
Mereka
bukan siapa-siapa,
maupun
apa-apa
meski
ingin dan merasa bisa menguasai segalanya.
Hidup
ini bahkan bukan kita yang punya.
Lalu
siapa mereka yang merasa berhak atas semua?
Serahkan
takutmu pada-Nya.
Biarkan
mereka suka-suka.
Matikan
rasamu pada mereka
agar
mereka tidak bisa berkuasa
apalagi
berbuat apa-apa.
Kamu
telah lama bebas merdeka
meski
mereka masih selalu berusaha
memasukkanmu
ke dalam penjara
mengataimu
gila
menyebutmu
tak berguna.
Mereka
tak sadar telah lama kalah
saat
hanya kepada-Nya kamu pasrah.
Jadi
biarlah...
R.
(Jakarta,
4 April 2015)
Kamis, 02 April 2015
"AKU, KAMU, DAN BAHAGIA"
Kadang
bahagia itu sederhana
seperti
menyambut mentari pagi di atas sana
atau
mendengarmu tertawa.
Kita
akan menghabiskan waktu bersama,
tanpa
peduli anggapan mereka
tentang
kita yang memang apa adanya.
Bahagia
bisa tercipta dari apa saja.
Mungkin
kita bisa saling menebar senyum di bawah langit cerah.
Tak
perlu yang susah-susah.
Aku
enggan melihatmu resah,
seperti
kau yang sedih melihatku gundah.
Bahagia
itu kadang-kadang saja?
Ah,
tidak juga.
Kalau
mau, setiap saat bisa.
Suatu
saat, kita akan mengenang ini semua:
Aku
dan kamu – dua sahabat dalam bahagia.
R.
(Jakarta,
31 Maret 2015)
"TRADISI 'LANGKAHAN': TERUS KENAPA?"
Sebenarnya
saya rada malas membahas ini. Selain mungkin termasuk rada ‘sensitif’ bagi beberapa orang (karena perkara tradisi kebudayaan),
saya juga bukan yang pertama kali menyinggung-nyinggung soal ini.
Singkat cerita, apa itu tradisi ‘langkahan’? Yah, bayangkan Anda yang
masih lajang, namun adik Anda sudah mau menikah. Biasanya ada sejenis upacara
ritual sebagai formalitas dimana si adik akan ‘meminta restu’ sang kakak untuk menikah duluan. Selain itu
(katanya, nih!), demi kelancaran pernikahan si adik, sang kakak berhak meminta
apa pun sebagai bagian dari tradisi tersebut – dan si adik harus menyanggupi,
bagaimana pun caranya.
Terdengar menyenangkan bagi sang
kakak? Terdengar ribet bagi si adik? Apalagi bila sang kakak lantas langsung
aji mumpung – meminta yang ‘macam-macam’,
kalau bisa yang paling mahal sekalian. Kapan lagi bisa dapat barang gratisan?
Hitung-hitung sekalian mem-bully si
adik yang mau menikah duluan.
Bila si adik tidak sanggup? Tergantung
kebesaran hati sang kakak, mau merestui atau tidak. (Kalau memang restu sih,
harusnya dari awal tidak sampai minta yang ‘aneh-aneh’,
hehehe!)
Kalau ternyata sang kakak tidak
rela, bahkan ngotot agar keinginannya segera dipenuhi – entah bagaimana caranya?
Yah, alamat rencana pernikahan si adik jadi tertunda...atau malah sampai
terancam batal. (Hiiih!) Seberapa lama? Yah, lagi-lagi tergantung – bisa barang
setahun atau dua. (Bahkan ada yang cukup ‘sadis’
hingga memakan waktu lebih lama dari itu, hanya gara-gara jodoh sang kakak
tak kunjung tiba. Pokoknya nggak peduli, selama sang kakak menikah duluan –
sesuai urutan kelahiran!)
Iya kalau jodoh sang kakak segera
muncul. Kalau belum juga atau tidak sama sekali? Salah-salah calon si adik
malah ‘kabur’ mencari yang lain
gara-gara enggan menunggu terlalu lama. ‘Kan kasihan adiknya! Tega-kah?
Oke, mungkin setiap orang akan
menghadapi situasi ini dengan cara masing-masing – baik sebagai adik, kakak,
calon, hingga anggota keluarga lainnya. Bila calon si adik sampai tidak bisa
menunggu, wajar saja. Apalagi perempuan. (Maklum, selain jam biologis yang
sudah ‘berbicara’ – perempuan juga
yang paling sering di-bully soal
pernikahan!) Tidak bisa disalahkan.
Mungkin niat adanya tradisi ‘langkahan’ ini awalnya baik, yaitu:
sebagai bentuk penghormatan kepada saudara yang lebih tua. Lagipula, bukankah
kita pasti meminta restu orang tua dulu sebelum menikah dengan pilihan kita?
Namun, bila dirasa tradisi ini sudah
mulai keterlaluan dan ‘menghambat’ rencana
Anda, bolehlah bersikap tegas dan meminta pengertian keluarga. Biar bagaimana
pun, Anda berhak bahagia. Jangan mentang-mentang Anda lebih muda lantas harus
selalu mengalah!
Lalu bagaimana bila Anda berada di
posisi sang kakak? Hmm, lagi-lagi saya terpaksa menambahkan: apalagi bila Anda perempuan. (Masih
dengan dua alasan yang sama.) Wajar sekali bila sempat terbersit rasa sedih,
kalah, gagal, hingga iri. Belum lagi bila diperparah dengan ragam komentar yang
bikin sakit telinga dan hati, seperti:
“Giliran
kamu kapan? Ayo, udah mau disalip adikmu, tuh!”
Disalip?
Balap
F1 kali, main salip-salipan!
Mungkin di sinilah iman Anda akan
diuji. Akankah Anda mudah ‘termakan’ komentar-komentar
nyinyir macam itu, lalu enggan merestui adik Anda karenanya? Atau Anda mungkin
malah akan (mencoba) berbesar hati, mengingat mereka yang (mungkin bisanya
hanya) berkomentar sebenarnya lupa bahwa mereka bukan Yang Maha Menentukan
Segalanya. Untuk apa? Apa untungnya bagi mereka yang (mencoba) membuat Anda
merasa bersalah / jelek / kurang berharga hanya karena belum menikah – dan mau
keduluan adik pula?
Bayangkan Anda di posisi adik Anda.
Ingin segera menikah, namun kakak calon pendamping Anda belum menikah dan
menuntut kalian berdua agar mau menunggu sebentar hingga dia segera menikah
duluan? Anda mau?
Pastinya, iman keluarga juga akan
diuji. Bersyukurlah bila sang kakak sudah ikhlas agar pernikahan si adik
berjalan lancar. Tak perlu membuatnya sedih dan sakit hati dengan
komentar-komentar yang tidak patut. Doakan saja yang terbaik. Jangan rusak
niatnya untuk ikhlas, apalagi sampai sengaja ‘mengganggu’ rencana pernikahan si adik dengan beragam alasan.
Lagipula, bukankah hanya Tuhan Yang Maha Tahu Segalanya – entah itu urutan
kelahiran anak dalam keluarga, hingga kapan seseorang menikah? Nggak selalu
harus pakai urutan yang sama, ‘kan?
R.
Rabu, 01 April 2015
Langganan:
Postingan (Atom)