Ini
bukan maksud mengecilkan sosok pahlawan – atau bahkan makna kepahlawanan itu
sendiri. Ini tentang realita, dimana sebenarnya banyak sekali pahlawan
sehari-hari – namun kita kerap abai dan lalai. Bahkan, celakanya banyak yang
malah tidak peduli.
Kita sudah terlalu terbiasa dengan
gambaran sosok ‘pahlawan’ yang
bombastis seperti gambaran media massa. Persis kepercayaan saya waktu kecil dan
belajar sejarah dari buku-buku di sekolah. Pahlawan pasti yang bisa menggunakan
senjata, jago berkelahi, pemberani, tidak takut mati, dan selalu membela yang
lemah.
Sayangnya, ada juga tambahan
perspektif patriarki: pahlawan itu
(pasti) laki-laki! Lalu bagaimana dengan perempuan? Kalau pun ada,
waktu itu yang dianggap memenuhi syarat-syarat mutlak di atas di antaranya
seperti: Cut Nyak Dien dan Maria Christina Tiahahu. Yang lain?
Oke, ada juga pahlawan intelektual.
Sebut saja R.A. Kartini, Dewi Sartika, Ki
Hajar Dewantara, Budi Utomo, Multatuli, dan masih banyak lagi. Kalau yang sekarang
bisa disebut salah satunya B.J.Habibie.
Mungkin
inilah yang membuat banyak pemuda kita ingin masuk kepolisian atau angkatan
bersenjata. Mereka ingin jadi pahlawan, berbakti membela negara, dan melindungi
yang lemah. Bagus, bila memang disertai niat yang tulus. (Seperti pahlawan asap
di Riau, misalnya.)
Lain cerita bila banyak yang masih
salah kaprah dengan arti ‘pahlawan’, seperti
menyamakannya secara mentah-mentah dengan ‘jagoan’.
Ya, yang seperti di film-film aksi laga, yaitu: pakai senjata, jago
berkelahi, pemberani, tidak takut mati, dan selalu dapat puja-puji. Selalu
membela yang benar? Belum tentu. Salah-salah mereka malah jadi pelaku
kekerasan, terutama saat memaksakan kehendak dan karena gila pengakuan. Sangat
merusak arti pahlawan sesungguhnya, bukan?
Bagaimana dengan para pahlawan
lainnya? Ibu-ibu yang memasak tanpa henti agar para tentara dapat makan dengan
kenyang dan kuat berperang? Atau mereka yang langsung turun-tangan saat bencana
datang, bahkan tanpa sokongan dana maupun pengakuan dari mata dunia?
Para ortu, guru, teman, atau mungkin
sosok yang kita sering temui sehari-hari? Saya percaya, meski dengan tindakan
sekecil apa pun – bahkan yang mungkin dianggap remeh orang lain – semua
berpotensi menjadi pahlawan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Resepnya
sederhana, namun seringkali sulit diterapkan:
Rela
tanpa pamrih.
Kita
mungkin memuji para guru seperti dalam lirik “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Kita juga familiar dengan istilah “Pahlawan Devisa” bagi para TKI (tenaga
kerja Indonesia) yang berjibaku ke luar negeri, meninggalkan keluarga dan tanah
air untuk mencari penghasilan – bahkan kerap dengan taruhan nyawa. Atau “Pahlawan Budaya” untuk sosok seperti
Pak Raden – nya “Si Unyil”.
Lalu,
bagaimana dengan sosok-sosok lain yang sebenarnya juga berjasa, namun kerap
luput dari perhatian media hingga malah dianggap biasa saja? Pertanyaan retoris
ini membuat jadi pahlawan tidak mudah. Bukan kita yang menggelari diri sendiri
pahlawan, namun mereka yang mungkin menganggap kita demikian. Bahkan, yang
sering terjadi adalah seseorang baru dianggap pahlawan setelah mereka tiada.
Dan banyak juga yang malah
dilupakan, padahal jasa mereka tiada duanya...
Semoga kita termasuk yang menghargai
jasa para pahlawan, bahkan saat mereka tak bernama. Bagaimana kalau kita
sendiri bercita-cita menjadi seorang pahlawan? Mampukah kita TIDAK melakukan
tiga hal sederhana di bawah ini?
1. Mencari
pengakuan dan pujian setelah berbuat baik.
2. Bertanya-tanya
(bahkan meski dalam hati): “Ada untungnya
gak ya, buat saya?”
3. Marah-marah
saat tidak ada yang memperhatikan dan menghargai hasil jerih-payah kalian.
Jika
bisa, selamat. Mungkin Anda termasuk pahlawan sejati yang semoga tidak makin
langka akhir-akhir ini...
R.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar