(Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku
Pahlawanku")
Dari
dulu hingga kini, saya selalu punya kesulitan dalam hal memilih guru favorit.
Bukannya tidak peduli, tetapi saya khawatir terkesan pilih-kasih. Lagipula,
bukankah setiap guru punya keistimewaan masing-masing?
Baiklah. Jika harus memilih, ada
beberapa nama yang bisa jadi perwakilan, guru-guru terbaik dari yang juga
terbaik. Beberapa di antara mereka adalah:
Ibu Emma. Beliau guru Bahasa
Indonesia saya waktu SMP. Mengapa beliau? Mungkin karena sejak kecil saya
memang sudah sangat tertarik dengan dunia bercerita dan tulis-menulis. Berkat
beliau, saya jadi semakin cinta dengan puisi dan fiksi. Namun, pernah juga saya
membuat beliau cemas dengan cerpen saya yang sudah bergenre thriller, meski waktu itu saya masih
berusia 13 tahun. Kisah yang saya tulis tentang seorang remaja perempuan
berusia 14 tahun yang mendekam di penjara karena telah membunuh kakak
perempuannya dan beberapa teman sekelasnya akibat rasa benci dan dendam.
Kenapa cemas? Waktu itu, Ibu Emma
khawatir yang saya tulis bukan sekedar fiksi, melainkan niat terpendam. Maklum,
dulu saya anaknya sangat pemarah.
Ada juga Bapak Eri Sulistyo, guru
Geografi yang dulu terkenal tegas namun disegani – masih di SMP yang sama.
Beliau galak? Pasti, namun dengan tujuan yang jelas – alias bukan asal galak
hanya agar ditakuti murid-muridnya. Hobi beliau adalah memberi kuis dadakan berupa
hapalan peta di depan kelas dengan memanggil tiap anak untuk segera menunjuk
lokasi yang beliau sebut. Tidak hapal? Siap-siap saja kena marah. Alasan
beliau?
“Kalian
tidak pernah tahu kapan kalian butuh menghapal lokasi. Bisa jadi suatu saat
nanti kalian sendiri akan pergi ke sana.”
Bersyukurlah
bagi teman-teman sekelas dulu yang kini berprofesi sebagai travel writer – atau mungkin pekerjaan mereka banyak melibatkan
wisata. Selain itu, Pak Eri juga menyadarkan saya akan fakta bahwa negara kita
hobi sekali mengekspor minyak bumi – hingga sekarang akhirnya malah kewalahan
sendiri begitu sadar cadangan energi semakin menipis. Begitu pula tentang 2015
sebagai tahunnya AFTA (Asian Free Trade
Association), sementara kita masih saja megap-megap karena belum sepenuhnya
siap.
Intinya, Pak Eri ingin agar kami
semua berpikir ke depan dan tidak cepat puas dengan yang sudah ada.
Masih banyak lagi para guru yang
telah berjasa mengantarkan saya hingga menjadi seperti sekarang. Ada juga Ibu
Dhani, guru Sejarah di SMA yang membuat saya seperti mendengar
cerita-cerita dongeng setiap jam pelajaran beliau. Untung saja tidak sampai
jatuh tertidur. Lalu Bapak Juliansyah dan Ibu
Dewi – dua guru Bahasa Inggris yang selalu menyemangati saya untuk
terus mengasah kemampuan menulis dalam Bahasa Inggris. Tidak lupa para guru
ekspat di tempat kursus Bahasa Inggris saya dulu.
Mungkin yang paling berjasa
menginspirasi saya untuk menjadi seorang guru Bahasa Inggris adalah teman saya,
Paco
(Patrick Mitchell Compau). Melihatnya mengajar Bahasa Inggris lewat
metode bermain di sebuah klub Bahasa Inggris yang pernah saya ikuti dulu
membuat saya kemudian tertarik dengan profesi tersebut.
Tulisan ini saya persembahkan untuk
semua guru terbaik. Berkat kalian semua, saya menemukan dan mempertahankan dua ‘cinta sejati’ saya dalam hidup, yaitu
mengajar dan menulis.
R.
(Jakarta, 17 November 2015 – 18:10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar