Rabu, 18 November 2015

"TERBAIK DARI YANG TERBAIK"

(Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku")
Dari dulu hingga kini, saya selalu punya kesulitan dalam hal memilih guru favorit. Bukannya tidak peduli, tetapi saya khawatir terkesan pilih-kasih. Lagipula, bukankah setiap guru punya keistimewaan masing-masing?
            Baiklah. Jika harus memilih, ada beberapa nama yang bisa jadi perwakilan, guru-guru terbaik dari yang juga terbaik. Beberapa di antara mereka adalah:
            Ibu Emma. Beliau guru Bahasa Indonesia saya waktu SMP. Mengapa beliau? Mungkin karena sejak kecil saya memang sudah sangat tertarik dengan dunia bercerita dan tulis-menulis. Berkat beliau, saya jadi semakin cinta dengan puisi dan fiksi. Namun, pernah juga saya membuat beliau cemas dengan cerpen saya yang sudah bergenre thriller, meski waktu itu saya masih berusia 13 tahun. Kisah yang saya tulis tentang seorang remaja perempuan berusia 14 tahun yang mendekam di penjara karena telah membunuh kakak perempuannya dan beberapa teman sekelasnya akibat rasa benci dan dendam.
            Kenapa cemas? Waktu itu, Ibu Emma khawatir yang saya tulis bukan sekedar fiksi, melainkan niat terpendam. Maklum, dulu saya anaknya sangat pemarah.
            Ada juga Bapak Eri Sulistyo, guru Geografi yang dulu terkenal tegas namun disegani – masih di SMP yang sama. Beliau galak? Pasti, namun dengan tujuan yang jelas – alias bukan asal galak hanya agar ditakuti murid-muridnya. Hobi beliau adalah memberi kuis dadakan berupa hapalan peta di depan kelas dengan memanggil tiap anak untuk segera menunjuk lokasi yang beliau sebut. Tidak hapal? Siap-siap saja kena marah. Alasan beliau?
            “Kalian tidak pernah tahu kapan kalian butuh menghapal lokasi. Bisa jadi suatu saat nanti kalian sendiri akan pergi ke sana.”
            Bersyukurlah bagi teman-teman sekelas dulu yang kini berprofesi sebagai travel writer – atau mungkin pekerjaan mereka banyak melibatkan wisata. Selain itu, Pak Eri juga menyadarkan saya akan fakta bahwa negara kita hobi sekali mengekspor minyak bumi – hingga sekarang akhirnya malah kewalahan sendiri begitu sadar cadangan energi semakin menipis. Begitu pula tentang 2015 sebagai tahunnya AFTA (Asian Free Trade Association), sementara kita masih saja megap-megap karena belum sepenuhnya siap.
            Intinya, Pak Eri ingin agar kami semua berpikir ke depan dan tidak cepat puas dengan yang sudah ada.
            Masih banyak lagi para guru yang telah berjasa mengantarkan saya hingga menjadi seperti sekarang. Ada juga Ibu Dhani, guru Sejarah di SMA yang membuat saya seperti mendengar cerita-cerita dongeng setiap jam pelajaran beliau. Untung saja tidak sampai jatuh tertidur. Lalu Bapak Juliansyah dan Ibu Dewi – dua guru Bahasa Inggris yang selalu menyemangati saya untuk terus mengasah kemampuan menulis dalam Bahasa Inggris. Tidak lupa para guru ekspat di tempat kursus Bahasa Inggris saya dulu.
            Mungkin yang paling berjasa menginspirasi saya untuk menjadi seorang guru Bahasa Inggris adalah teman saya, Paco (Patrick Mitchell Compau). Melihatnya mengajar Bahasa Inggris lewat metode bermain di sebuah klub Bahasa Inggris yang pernah saya ikuti dulu membuat saya kemudian tertarik dengan profesi tersebut.
            Tulisan ini saya persembahkan untuk semua guru terbaik. Berkat kalian semua, saya menemukan dan mempertahankan dua ‘cinta sejati’ saya dalam hidup, yaitu mengajar dan menulis.

            R.

            (Jakarta, 17 November 2015 – 18:10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar