Banyak kisah, pendapat, hingga spekulasi di balik kata 'terbuka'. Tidak hanya tanda 'OPEN' yang tergantung di pintu kaca toko yang biasanya mengundang pengunjung untuk datang dan masuk untuk melihat-lihat isinya. Setelah itu, siapa tahu ada yang berkenan membeli.
Bagaimana dengan 'buka-bukaan' yang lain?
Tuh, 'kan? Belum apa-apa mikirnya sudah pada kemana-mana. Macam-macam saja.
Hehehe...
Banyak opini tentang pakaian yang (dianggap) terlalu 'terbuka', begitu pula sebaliknya. Ini juga berlaku bagi kepribadian manusia hingga kebijakan suatu negara. Ada yang bilang, orang dengan kepribadian terbuka lebih menyenangkan hingga banyak teman. Berbeda dengan mereka yang berkepribadian tertutup: cenderung lebih misterius, agak sulit percaya dengan orang lain - apalagi saat pertama, namun jadi bisa lebih menilai yang mana yang benar-benar teman sejati.
Bagaimana dengan kebijakan suatu negara? Ada yang takut bila negaranya terlalu 'terbuka' dengan pihak asing. Selain khawatir kehilangan jati diri budaya sendiri akibat terpengaruh budaya luar, alasan lainnya adalah takut dijajah lagi.
Benarkah semua yang serba terbuka itu selalu baik/buruk? Apakah kita siap dinilai, dipuji, maupun dihakimi setelah terbuka/memutuskan untuk tetap tertutup? Selain itu, bila kita ingin membuka segala sesuatu, apakah kita benar-benar siap dengan yang akan kita temukan nanti?
Setelah siap menerima sesuatu yang telah kita buka, apa langkah berikutnya? Apakah kita akan menunjukkannya pada orang lain - atau cukup kita saja yang tahu?
R.
(Jakarta, 20/11/2015 – 11:05. Ditulis berdasarkan diskusi apik dalam pertemuan The Couchsurfing Writers’ Club pada tanggal 19 November 2015, pukul 20:00 di Anomali Coffee - Setiabudi One. Tema: “Terbuka”.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar