Jumat, 13 November 2015

“PERIHAL ‘ANAK KESAYANGAN’ DAN ‘YANG (BIASA) TERABAIKAN"

Tulisan ini terinspirasi dari artikel berjudul “Equal Treatment” karya Sebastian Partogi yang dimuat di Sunday Jakarta Post pada 28 Desember 2014 lalu. (Lama juga.) Bukan hanya perkara gender, namun judul artikelnya berkaitan dengan perhatian orang tua yang ‘terbagi’ dengan ‘kurang adil’ akibat ‘favouritism’, sehingga menimbulkan kecemburuan antar anak.
            Tidak ada orang tua yang sudi dituduh main pilih-kasih dalam membesarkan anak-anak mereka. (Ya, iyalah!) Apalagi peran mereka sudah berat dan mereka hanya manusia yang tidak sempurna.
            Namun, sadar tidak sadar – ada saja ortu yang suka ‘lalai’ – hingga terlalu fokus pada satu anak dan cenderung melupakan anak-anak lainnya. Beberapa ciri-cirinya antara lain:
-       Lebih memperhatikan anak yang satu daripada yang lainnya, hingga ada yang – ekstrim - sampai lupa menjemput mereka di sekolah hingga lupa nama dan tanggal ulang tahun.
-       Hobi membanding-bandingkan, baik dengan saudara maupun anak-anak lain di sekolah. (“Kenapa kamu nggak bisa seperti kakak/adik/teman kamu yang lebih pintar/rajin/dll.?”)
-       Ekstrim dengan ‘terlalu’, seperti: terlalu membebaskan/mengekang, terlalu memaklumi/mengkritik, terlalu memanjakan/mengabaikan, terlalu lembut/kasar, hingga ‘terlalu-terlalu’ lainnya.

Apa sebabnya?
Penyebabnya bisa macam-macam, tidak hanya idealisme ortu mengenai ‘anak sempurna’. Beberapanya adalah:
-       Perbedaan gender, terutama pada keluarga yang menganut sistem patriarki yang sangat kental. Anak laki-laki seakan mendapat keistimewaan lebih, seperti: lebih didengar, pendapatnya lebih dihargai, tidak kena jam malam saat keluar rumah, dan sebagainya.
-       Salah satu anak memiliki ‘kebutuhan khusus’  atau menderita sakit parah, hingga mau tidak mau butuh perhatian khusus. (Kalau begini ya, sudahlah.)
-       Gender minoritas, misalnya anak laki-laki/perempuan satu-satunya dalam keluarga. Kurang-lebih seperti poin pertama, dimana si anak seakan mendapatkan keistimewaan lebih – seperti lebih dimanja dan dituruti semua permintaannya.
-       Mengira bahwa membanding-bandingkan si A (yang dianggap serba ‘plus’/ baik) dengan si B (yang dianggap serba ‘kurang’) dapat membuat si B mencontoh si A, bukannya malah jadi antipati hingga benci setengah-mati.
-       Anak yang (terlalu) diperhatikan sebenarnya biang masalah, sehingga lebih menyusahkan dan menyita perhatian ortu daripada anak-anak yang (tidak sengaja?) terabaikan. Dengan kata lain, sebenarnya dia bukan ‘anak kesayangan’, melainkan beban hidup ortu.
Pengakuan mereka:
Maaf, berhubung bukan psikolog, barangkali ada sebab-sebab lain yang terlewat mata awam saya. Beberapa poin di atas ada yang dikumpulkan juga dari ‘riset lapangan’ – alias mendengarkan curhat orang:
“Kadang gue berharap gue anak laki-laki. Abang gue enak banget – bebas keluyuran, sementara gue kalo malem udah harus di rumah dan kemana-mana harus pake izin. Kalo perlu ditemenin. Pas dapet beasiswa ke luar negeri, cuma Abang gue yang dibolehin pergi – padahal nilai-nilai gue juga bagus. Lebih bagus dari Abang gue malah! Gue juga gak pernah didengerin, mentang-mentang gue anak perempuan. Mungkin gue baru dihargain kalo udah operasi ganti kelamin.” (Adel*)
            “Adek gue yang cewek selalu bisa bikin orang jatuh kasihan sama dia dengan air mata buaya. Giliran gue yang nangis beneran malah dikatain banci ama bokap.” (Badu*)
            “Abang gue disayang banget ampe jadi nakal dan sering nyusahin semua orang. Dulu gue ampe harus pinjem ortu temen buat ngambil rapor gue di sekolah, sementara ortu kandung gue sibuk ngebujuk kepala sekolah agar gak men-D.O Abang gue. Sekarang lihat, dia malah gak jadi apa-apa dan masih aja nyusahin orang.” (Cendika*)
            “Ortu gue gak pernah adil ama gue. Gue kayak gak pernah punya hak bersuara di rumah ini. Semua selalu harus ngikutin maunya mereka, kayak mereka udah yang paling bener sedunia. Beda banget ama adek gue yang harus selalu diturutin dan dibelain, makanya jadi kurang ajar – terutama ama gue. Bayangin, masa dia pernah bilang kalo ortu tuh, sayang ama gue kalo lagi ada maunya doang? Sakit hati banget gak, sih? Kalo emang bener gitu, coba mereka semua hidup tanpa gue sehari aja. Bakal kehilangan, gak?” (Dami*)
            “Yang nggak ngerti mungkin akan hanya menghakimi gue sebagai anak durhaka yang mengabaikan keluarga. Ya, gue memutuskan untuk tinggal sendiri karena lelah melihat nyokap begitu mengistimewakan kakak. Kakak selalu menyita perhatian semua orang. Kalo ada dia, gue jadi gak pernah keliatan atau kayak gak dianggap. Semua hanya fokus pada maunya dia doang, kalo nggak dia bakalan marah-marah. Gak apa-apa deh, gue ngalah dan menyingkir aja. Gak masalah gue sendirian, asal dia gak merecoki hidup gue dengan harus nurutin semua agendanya. Dia boleh ambil orang serumah untuk dia semua!” (Emma*)
            Para ortu mungkin akan sakit hati dan menjadi defensif saat membaca ini. (Bahkan, meski bisa jadi ini suara hati terpendam salah satu anak Anda.) Sebelum menuduh saya (yang kebetulan belum pernah jadi ortu) sok tahu dan menggurui, coba perhatikan lagi pola pengasuhan Anda selama ini dan interaksi Anda dengan tiap anak. Apakah Anda hanya benar-benar mengenal satu anak sementara saudara-saudaranya tampak dan terasa asing bagi Anda? Apakah ada anak yang terang-terangan menuduh Anda pilih-kasih/tidak adil atau malah jadi pendiam dan cenderung menarik serta menutup diri?
            Apakah sering timbul pertengkaran antar-saudara, namun Anda malah cenderung selalu membela yang satu dan menyalahkan yang lain? Apakah anak Anda sering terlihat berusaha menjatuhkan, menyakiti, dan bahkan mencelakakan saudaranya sendiri – bahkan meski mereka sudah masuk usia remaja dan dewasa? Apakah ada rasa benci di mata mereka?
            Apakah salah satu anak Anda suka menyakiti diri sendiri atau bahkan mencoba bunuh diri?
            Masih menganggap sepele masalah ini? Masih menganggap semua protes anak Anda sebagai tanda mereka terlalu manja, cengeng, sensitif, dan berlebihan?
            Bagi yang menjadi ‘anak kesayangan’, belum tentu mereka beruntung. Belum tentu juga mereka senang. Bisa jadi mereka malah jadi jatuh kasihan dengan saudara mereka, seperti pengakuan seorang teman di bawah ini:
            “Bukannya jahat, tapi jujur...gue lega banget pas adek gue beda SMA sama gue. Bukan apa-apa, gue kasihan kalo dia ampe harus selalu hidup dalam ‘bayang-bayang’ gue. “Eh, lo adeknya Fajar? Kok beda?” Pasti ditanya gitu dan gue gak mau. Gue bahkan backing-in dia dengan ngomong ke ortu: ‘Jangan suka banding-bandingin dia dengan saya atau anak-anak lain. Biarkan dia punya dunia sendiri, biarkan dia berkembang dengan caranya sendiri.” (Fajar*)
            Perihal ‘Anak Kesayangan’:
            Sayangnya, anak yang terlalu ‘diistimewakan’ kemungkinan besar malah akan jadi seperti ini:
-       Mereka akan tumbuh dengan kepercayaan bahwa mereka berhak mendapatkan semua keinginan mereka dan melakukan apa pun yang mereka suka. Mereka akan cenderung memandang rendah orang lain karena hanya menganggap diri mereka yang penting.
-       Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak ‘tangguh’, karena terlambat menyadari bahwa dunia nyata tidak selalu ‘seramah’ kasih-sayang ortu. Bagus kalau mereka buru-buru sadar untuk segera berubah. Kalau tidak? Alamat cepat patah arang dan akhirnya malah hobi merepotkan orang lain...tak hanya ortu. Kalau sudah begini, bagaimana ortu bisa menikmati masa pensiun dengan tenang?
-       Mereka jadi tidak kenal tanggung-jawab dan berperilaku narsisistik. (Bukan yang hobi foto selfie di social media, ya!) Mereka egois dan selalu merasa paling benar sendiri. Di mata mereka, semuanya selalu salah orang lain.
-       Mereka hanya mau berteman dengan orang-orang yang mengagumi mereka alias fanatik buta.
-       Tidak terima bahwa dunia tidak selalu sesuai kemauan mereka, yang ada mereka berpotensi jadi pelaku kekerasan. Kalau tidak, mereka juga bisa jadi culas, memanipulasi orang lain dengan segala cara agar tujuan mereka tercapai – tanpa peduli bahwa akan ada orang lain yang terluka atau dirugikan.
-       Kriteria pasangan sempurna menurut mereka: yang mau menerima mereka apa adanya, menuruti semua keinginan mereka, dan tidak pernah membantah/menuntut apa-apa.
-       Berpotensi menjadi sasaran kemarahan saudara-saudara yang merasa kekurangan kasih-sayang ortu mereka. Ekstrimnya, bahkan sampai ada yang berusaha membunuh mereka, lho!
-       Kemungkinan besar akan melanjutkan pola pengasuhan serupa pada anak-anak mereka sendiri kelak. Bisa dibayangkan jumlah monster yang mengaku manusia semakin bertambah!
Perihal anak yang (merasa) ‘terabaikan:
Bagaimana dengan anak-anak yang (merasa) ‘terabaikan’? Bersyukurlah bila mereka cukup sabar dan tangguh meski sering atau selalu dinomorsekiankan oleh ortu sendiri. Mengapa? Ciri-ciri mereka seperti ini:
-       Lebih mandiri dan lebih percaya diri. Mereka sebisa mungkin malah tidak akan menyusahkan orang lain.
-       Lebih menghargai orang lain. Mau berteman sama siapa saja, karena sadar rasanya saat tidak menjadi pusat perhatian siapa pun.
-       Lebih cepat dewasa dan tahu tanggung-jawab. Tidak suka mencari-cari kesalahan orang lain. Bahkan, kalau bisa lebih fokus pada mencari solusi dari masalah yang ada. Anti drama.
Sayangnya, kadang sakit hati yang sudah kepalang dipendam anak-anak yang (merasa) ‘terabaikan’ juga berpotensi menjadikan mereka seperti ini:
-       Menjauh, memilih menyendiri. Lebih memilih tinggal sendiri atau kerabat atau teman yang lebih mengerti. Bahkan, ada juga yang sengaja ‘memutuskan’ kontak emosional dengan ortu dan saudara yang mereka anggap ‘anak kesayangan’.
-       Jarang/enggan berbagi cerita, karena merasa selama ini mereka merasa kurang berharga untuk didengar. Bila mereka jatuh sakit/kecelakaan, belum tentu nomor HP ortu atau saudara ada di daftar speed dial mereka.
-       Mencari perhatian dari orang lain di luar rumah. Syukur-syukur ketemu teman-teman baik. Kalau tidak? Alamat terancam pergaulan bebas, seperti: memakai narkoba hingga melakukan hubungan seks bebas.
-       Tidak semangat menjalani hidup. Untuk apa berprestasi bila ortu tidak juga peduli?
-       Rentan depresi, seperti sering murung, mengeluh sakit, suka mendadak menangis tanpa sebab jelas, hingga mudah mengalami gangguan pola makan/eating disorder. (Misalnya: menjadi penderita anoreksia atau bulimia agar bisa kurus seperti kakak yang dianggap lebih cantik oleh ortu dan orang-orang sekitar.) Yang paling parah? Menyakiti diri sendiri hingga usaha bunuh diri!
-       Kalau gagal punya teman banyak (apalagi hanya dengan tujuan agar bisa sepopuler saudara mereka), mereka memilih jadi anti-sosial. Semua karena rasa minder, seperti: sulit percaya kalau dirinya menarik, berharga, dan patut disayangi. Sulit percaya kalau sebenarnya masih banyak yang sayang sama mereka. Dari segi agama, mereka bisa jadi meragukan Tuhan atau menganggap Tuhan tidak adil.
-       Kriteria pasangan sempurna menurut mereka: “Kira-kira seberapa tahan ya, dia sama aku yang kayak gini?” atau “Emang ada yang mau sama aku?”
-       Jadi over-achiever: gila pengakuan lewat usaha keras agar lebih kaya, lebih sukses, lebih terkenal, dan ‘lebih-lebih’ lainnya – namun dengan alasan yang salah: agar ortu berhenti mengidolakan si ‘anak emas’ dan mulai fokus pada mereka. Pada akhirnya mereka juga tidak benar-benar bahagia.
-       Selalu mencari cara agar dapat menyakiti si ‘anak kesayangan’. Ada juga yang sampai berusaha membunuh sosok yang mereka anggap rival dalam merebut perhatian ortu.
-       Punya ketakutan bahwa suatu saat mereka – sadar tidak sadar – akan berlaku sama pada anak-anak mereka sendiri kelak. Ada yang sampai memutuskan untuk tidak punya anak sama sekali.
Solusi:
Selain cara yang tertulis dalam artikel “Equal Treatment”, ada beberapa cara lain yang dapat dicoba para ortu:
-       Sediakan waktu berdua saja dengan tiap anak agar Anda dapat lebih mengenal mereka semua, bukan hanya salah satunya.
-       Mulailah lebih tegas – kalau perlu tega – sama anak yang selama ini terlalu menuntut perhatian Anda dan enggan berbagi dengan saudara-saudara mereka. Ingat, Anda tak bisa selamanya ada untuk mereka. Kalau Anda memanjakan mereka terus, kapan mereka dewasa?
-       Ayolah, Anda bukan manusia super atau sosok sempurna. Minta maaflah bila salah, terutama bila anak Anda terluka karena selama ini Anda abaikan perasaan dan keinginan mereka, apalagi tanpa alasan jelas. Diam bukan berarti mereka tidak apa-apa. Ada kalanya mereka hanya ingin ditanya dan diajak bicara, bukan dihakimi sesuka Anda.
-       Dukunglah mereka mencapai impian mereka (selama masih positif) dengan antusiasme yang sama. Misalnya: mungkin Anda dan si sulung sama-sama suka olah raga dan Anda sering memberinya semangat sebelum bertanding. Tak ada salahnya bila Anda juga mendukung si bungsu ikut Olimpiade Fisika, meski Anda tidak selalu mengerti semuanya.
Untuk ‘anak kesayangan’:
-       Jangan senang dulu. Bisa saja sebenarnya kalian yang paling menyusahkan orang tua.
-       Tahu dirilah. Banyak-banyak berterima kasih pada ortu yang sudah kalian repotkan...dan saudara-saudara yang ‘terpaksa’ mengalah karena ortu lebih memperhatikan kalian.
-       Jangan keenakan. Takutnya kalian nggak siap mandiri dan memegang tanggung-jawab bila tiba-tiba ditinggal sendirian. Jangan lantas malah merepotkan orang lain. Ingat, hidup ini bukan hanya tentang kalian.
-       Tidak perlu sombong dan jangan berhenti belajar. Bisa jadi selama di rumah kalian (merasa) berkuasa – terutama karena dukungan penuh ortu. Bisa jadi, di luar sana kalian malah bukan siapa-siapa maupun apa-apa.
Untuk anak-anak yang selama ini (merasa) ‘terabaikan’:
-       Saatnya memutuskan kebahagiaan hidup sendiri. Keuntungannya, kalian secara tidak langsung telah diberi kesempatan untuk mandiri dan dewasa lebih cepat.
-       Gagal didengar ortu setelah berusaha? Libatkan pihak ketiga yang bisa netral – sama-sama dikenal ortu dan kalian dan bisa objektif dalam menangani masalah. Entah itu kerabat atau teman.
-       Tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan hidup. Belajar, bekerja, dan berprestasilah untuk kemajuan dan kebahagiaan diri sendiri.
-       Merasa benci diri sendiri? Jangan. Justru kalian-lah yang akan rugi. Carilah peran kalian di dunia ini yang positif. Jadikan itu alasan kalian untuk hidup, entah menjadi relawan di lembaga sosial atau minimal menolong binatang peliharaan terlantar, misalnya.
-       Ingin bahagia? Cobalah ‘berdamai’ dengan masa lalu. Bila merasa masih sulit memaafkan (apalagi bila kasusnya sudah termasuk penyiksaan anak/’child abuse’), tidak perlu memaksakan diri untuk berinteraksi dengan keluarga dulu. Fokuslah pada hal-hal terbaik dalam hidup kalian sekarang, seperti: Tuhan, pekerjaan, dan mungkin sosok-sosok manusia lain yang menyayangi kalian apa adanya.
-       Jangan pernah berpikir kalau kalian selalu sendirian di dunia ini. Banyak yang senasib – mungkin malah lebih buruk. (Tenang, ini bukan kompetisi.) Sering-seringlah memandang ke bawah daripada ke atas agar senantiasa bersyukur.
Seperti biasa, mohon maaf bila tulisan ini menyinggung.
R.
(Jakarta, 27 Oktober 2015 – 16:00)
(*Semua nama sengaja disamarkan.)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar