Tulisan
ini terinspirasi dari artikel berjudul “Equal
Treatment” karya Sebastian Partogi yang dimuat di Sunday Jakarta Post pada 28 Desember
2014 lalu. (Lama juga.) Bukan hanya perkara gender, namun judul artikelnya
berkaitan dengan perhatian orang tua yang ‘terbagi’
dengan ‘kurang adil’ akibat ‘favouritism’, sehingga menimbulkan
kecemburuan antar anak.
Tidak ada orang tua yang sudi
dituduh main pilih-kasih dalam membesarkan anak-anak mereka. (Ya, iyalah!)
Apalagi peran mereka sudah berat dan mereka hanya manusia yang tidak sempurna.
Namun, sadar tidak sadar – ada saja
ortu yang suka ‘lalai’ – hingga
terlalu fokus pada satu anak dan cenderung melupakan anak-anak lainnya.
Beberapa ciri-cirinya antara lain:
- Lebih
memperhatikan anak yang satu daripada yang lainnya, hingga ada yang – ekstrim - sampai lupa menjemput mereka
di sekolah hingga lupa nama dan tanggal ulang tahun.
- Hobi
membanding-bandingkan, baik dengan saudara maupun anak-anak lain di sekolah. (“Kenapa kamu nggak bisa seperti
kakak/adik/teman kamu yang lebih pintar/rajin/dll.?”)
- Ekstrim
dengan ‘terlalu’, seperti: terlalu
membebaskan/mengekang, terlalu memaklumi/mengkritik, terlalu
memanjakan/mengabaikan, terlalu lembut/kasar, hingga ‘terlalu-terlalu’ lainnya.
Apa sebabnya?
Penyebabnya
bisa macam-macam, tidak hanya idealisme ortu mengenai ‘anak sempurna’. Beberapanya adalah:
- Perbedaan
gender, terutama pada keluarga yang menganut sistem patriarki yang sangat
kental. Anak laki-laki seakan mendapat keistimewaan lebih, seperti: lebih
didengar, pendapatnya lebih dihargai, tidak kena jam malam saat keluar rumah, dan sebagainya.
- Salah
satu anak memiliki ‘kebutuhan khusus’ atau menderita sakit parah, hingga mau tidak
mau butuh perhatian khusus. (Kalau begini ya, sudahlah.)
- Gender
minoritas, misalnya anak laki-laki/perempuan satu-satunya dalam keluarga.
Kurang-lebih seperti poin pertama, dimana si anak seakan mendapatkan
keistimewaan lebih – seperti lebih dimanja dan dituruti semua permintaannya.
- Mengira
bahwa membanding-bandingkan si A (yang dianggap serba ‘plus’/ baik) dengan si B (yang dianggap serba ‘kurang’) dapat membuat si B mencontoh si A, bukannya malah jadi
antipati hingga benci setengah-mati.
- Anak
yang (terlalu) diperhatikan sebenarnya biang masalah, sehingga lebih
menyusahkan dan menyita perhatian ortu daripada anak-anak yang (tidak sengaja?)
terabaikan. Dengan kata lain, sebenarnya dia bukan ‘anak kesayangan’, melainkan beban hidup ortu.
Pengakuan mereka:
Maaf,
berhubung bukan psikolog, barangkali ada sebab-sebab lain yang terlewat mata
awam saya. Beberapa poin di atas ada yang dikumpulkan juga dari ‘riset lapangan’ – alias mendengarkan
curhat orang:
“Kadang gue berharap gue
anak laki-laki. Abang gue enak banget – bebas keluyuran, sementara gue kalo
malem udah harus di rumah dan kemana-mana harus pake izin. Kalo perlu
ditemenin. Pas dapet beasiswa ke luar negeri, cuma Abang gue yang dibolehin
pergi – padahal nilai-nilai gue juga bagus. Lebih bagus dari Abang gue malah!
Gue juga gak pernah didengerin, mentang-mentang gue anak perempuan. Mungkin gue
baru dihargain kalo udah operasi ganti kelamin.” (Adel*)
“Adek
gue yang cewek selalu bisa bikin orang jatuh kasihan sama dia dengan air mata
buaya. Giliran gue yang nangis beneran malah dikatain banci ama bokap.” (Badu*)
“Abang
gue disayang banget ampe jadi nakal dan sering nyusahin semua orang. Dulu gue
ampe harus pinjem ortu temen buat ngambil rapor gue di sekolah, sementara ortu
kandung gue sibuk ngebujuk kepala sekolah agar gak men-D.O Abang gue. Sekarang
lihat, dia malah gak jadi apa-apa dan masih aja nyusahin orang.” (Cendika*)
“Ortu
gue gak pernah adil ama gue. Gue kayak gak pernah punya hak bersuara di rumah
ini. Semua selalu harus ngikutin maunya mereka, kayak mereka udah yang paling
bener sedunia. Beda banget ama adek gue yang harus selalu diturutin dan
dibelain, makanya jadi kurang ajar – terutama ama gue. Bayangin, masa dia
pernah bilang kalo ortu tuh, sayang ama gue kalo lagi ada maunya doang? Sakit
hati banget gak, sih? Kalo emang bener gitu, coba mereka semua hidup tanpa gue
sehari aja. Bakal kehilangan, gak?” (Dami*)
“Yang
nggak ngerti mungkin akan hanya menghakimi gue sebagai anak durhaka yang
mengabaikan keluarga. Ya, gue memutuskan untuk tinggal sendiri karena lelah
melihat nyokap begitu mengistimewakan kakak. Kakak selalu menyita perhatian
semua orang. Kalo ada dia, gue jadi gak pernah keliatan atau kayak gak
dianggap. Semua hanya fokus pada maunya dia doang, kalo nggak dia bakalan
marah-marah. Gak apa-apa deh, gue ngalah dan menyingkir aja. Gak masalah gue
sendirian, asal dia gak merecoki hidup gue dengan harus nurutin semua
agendanya. Dia boleh ambil orang serumah untuk dia semua!” (Emma*)
Para
ortu mungkin akan sakit hati dan menjadi defensif saat membaca ini. (Bahkan, meski bisa jadi ini suara hati
terpendam salah satu anak Anda.) Sebelum menuduh saya (yang kebetulan belum
pernah jadi ortu) sok tahu dan menggurui, coba perhatikan lagi pola pengasuhan
Anda selama ini dan interaksi Anda dengan tiap anak. Apakah Anda hanya
benar-benar mengenal satu anak sementara saudara-saudaranya tampak dan terasa asing bagi Anda? Apakah ada anak yang
terang-terangan menuduh Anda pilih-kasih/tidak adil atau malah jadi pendiam dan
cenderung menarik serta menutup diri?
Apakah sering timbul pertengkaran
antar-saudara, namun Anda malah cenderung selalu membela yang satu dan
menyalahkan yang lain? Apakah anak Anda sering terlihat berusaha menjatuhkan,
menyakiti, dan bahkan mencelakakan saudaranya sendiri – bahkan meski mereka
sudah masuk usia remaja dan dewasa? Apakah ada rasa benci di mata mereka?
Apakah salah satu anak Anda suka
menyakiti diri sendiri atau bahkan mencoba bunuh diri?
Masih menganggap sepele masalah ini?
Masih menganggap semua protes anak Anda sebagai tanda mereka terlalu manja,
cengeng, sensitif, dan berlebihan?
Bagi yang menjadi ‘anak kesayangan’, belum tentu mereka
beruntung. Belum tentu juga mereka senang. Bisa jadi mereka malah jadi jatuh
kasihan dengan saudara mereka, seperti pengakuan seorang teman di bawah ini:
“Bukannya
jahat, tapi jujur...gue lega banget pas adek gue beda SMA sama gue. Bukan apa-apa,
gue kasihan kalo dia ampe harus selalu hidup dalam ‘bayang-bayang’ gue. “Eh, lo
adeknya Fajar? Kok beda?” Pasti ditanya gitu dan gue gak mau. Gue bahkan
backing-in dia dengan ngomong ke ortu: ‘Jangan suka banding-bandingin dia
dengan saya atau anak-anak lain. Biarkan dia punya dunia sendiri, biarkan dia
berkembang dengan caranya sendiri.” (Fajar*)
Perihal
‘Anak Kesayangan’:
Sayangnya,
anak yang terlalu ‘diistimewakan’
kemungkinan besar malah akan jadi seperti ini:
- Mereka
akan tumbuh dengan kepercayaan bahwa mereka berhak mendapatkan semua keinginan
mereka dan melakukan apa pun yang mereka suka. Mereka akan cenderung memandang
rendah orang lain karena hanya menganggap diri mereka yang penting.
- Mereka
akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak ‘tangguh’,
karena terlambat menyadari bahwa dunia nyata tidak selalu ‘seramah’ kasih-sayang ortu. Bagus kalau
mereka buru-buru sadar untuk segera berubah. Kalau tidak? Alamat cepat patah
arang dan akhirnya malah hobi merepotkan orang lain...tak hanya ortu. Kalau
sudah begini, bagaimana ortu bisa menikmati masa pensiun dengan tenang?
- Mereka
jadi tidak kenal tanggung-jawab dan berperilaku narsisistik. (Bukan yang hobi foto selfie di social media,
ya!) Mereka egois dan selalu merasa paling benar sendiri. Di mata mereka,
semuanya selalu salah orang lain.
- Mereka
hanya mau berteman dengan orang-orang yang mengagumi mereka alias fanatik buta.
- Tidak
terima bahwa dunia tidak selalu sesuai kemauan mereka, yang ada mereka
berpotensi jadi pelaku kekerasan. Kalau tidak, mereka juga bisa jadi culas,
memanipulasi orang lain dengan segala cara agar tujuan mereka tercapai – tanpa
peduli bahwa akan ada orang lain yang terluka atau dirugikan.
- Kriteria
pasangan sempurna menurut mereka: yang mau menerima
mereka apa adanya, menuruti semua keinginan mereka, dan tidak pernah
membantah/menuntut apa-apa.
- Berpotensi
menjadi sasaran kemarahan saudara-saudara yang merasa kekurangan kasih-sayang
ortu mereka. Ekstrimnya, bahkan sampai ada yang berusaha membunuh mereka, lho!
- Kemungkinan
besar akan melanjutkan pola pengasuhan serupa pada anak-anak mereka sendiri
kelak. Bisa dibayangkan jumlah monster yang mengaku manusia semakin bertambah!
Perihal anak yang (merasa) ‘terabaikan:
Bagaimana
dengan anak-anak yang (merasa) ‘terabaikan’?
Bersyukurlah bila mereka cukup sabar dan tangguh meski sering atau selalu
dinomorsekiankan oleh ortu sendiri. Mengapa? Ciri-ciri mereka seperti ini:
- Lebih
mandiri dan lebih percaya diri. Mereka sebisa mungkin malah tidak akan
menyusahkan orang lain.
- Lebih
menghargai orang lain. Mau berteman sama siapa saja, karena sadar rasanya saat
tidak menjadi pusat perhatian siapa pun.
- Lebih
cepat dewasa dan tahu tanggung-jawab. Tidak suka mencari-cari kesalahan orang
lain. Bahkan, kalau bisa lebih fokus pada mencari solusi dari masalah yang ada.
Anti drama.
Sayangnya,
kadang sakit hati yang sudah kepalang dipendam anak-anak yang (merasa) ‘terabaikan’ juga berpotensi menjadikan
mereka seperti ini:
- Menjauh,
memilih menyendiri. Lebih memilih tinggal sendiri atau kerabat atau teman yang
lebih mengerti. Bahkan, ada juga yang sengaja ‘memutuskan’ kontak emosional dengan ortu dan saudara yang mereka
anggap ‘anak kesayangan’.
- Jarang/enggan
berbagi cerita, karena merasa selama ini mereka merasa kurang berharga untuk
didengar. Bila mereka jatuh sakit/kecelakaan, belum tentu nomor HP ortu atau
saudara ada di daftar speed dial mereka.
- Mencari
perhatian dari orang lain di luar rumah. Syukur-syukur ketemu teman-teman baik.
Kalau tidak? Alamat terancam pergaulan bebas, seperti: memakai narkoba hingga
melakukan hubungan seks bebas.
- Tidak
semangat menjalani hidup. Untuk apa berprestasi bila ortu tidak juga peduli?
- Rentan
depresi, seperti sering murung, mengeluh sakit, suka mendadak menangis tanpa
sebab jelas, hingga mudah mengalami gangguan pola makan/eating disorder. (Misalnya: menjadi penderita anoreksia atau
bulimia agar bisa kurus seperti kakak yang dianggap lebih cantik oleh ortu dan
orang-orang sekitar.) Yang paling parah? Menyakiti diri sendiri hingga usaha
bunuh diri!
- Kalau
gagal punya teman banyak (apalagi hanya dengan
tujuan agar bisa sepopuler saudara mereka), mereka memilih jadi anti-sosial.
Semua karena rasa minder, seperti: sulit percaya kalau dirinya menarik,
berharga, dan patut disayangi. Sulit percaya kalau sebenarnya masih banyak yang
sayang sama mereka. Dari segi agama, mereka bisa jadi meragukan Tuhan atau
menganggap Tuhan tidak adil.
- Kriteria
pasangan sempurna menurut mereka: “Kira-kira
seberapa tahan ya, dia sama aku yang kayak gini?” atau
“Emang ada yang mau sama aku?”
- Jadi
over-achiever: gila pengakuan lewat
usaha keras agar lebih kaya, lebih sukses, lebih terkenal, dan ‘lebih-lebih’ lainnya – namun dengan
alasan yang salah: agar ortu berhenti
mengidolakan si ‘anak emas’ dan mulai
fokus pada mereka. Pada akhirnya mereka juga tidak benar-benar bahagia.
- Selalu
mencari cara agar dapat menyakiti si ‘anak
kesayangan’. Ada juga yang sampai berusaha membunuh sosok yang mereka
anggap rival dalam merebut perhatian ortu.
- Punya
ketakutan bahwa suatu saat mereka – sadar tidak sadar – akan berlaku sama pada
anak-anak mereka sendiri kelak. Ada yang sampai memutuskan untuk tidak punya
anak sama sekali.
Solusi:
Selain
cara yang tertulis dalam artikel “Equal
Treatment”, ada beberapa cara lain yang dapat dicoba para ortu:
- Sediakan
waktu berdua saja dengan tiap anak agar Anda dapat lebih mengenal mereka semua,
bukan hanya salah satunya.
- Mulailah
lebih tegas – kalau perlu tega – sama anak yang selama ini terlalu menuntut
perhatian Anda dan enggan berbagi dengan saudara-saudara mereka. Ingat, Anda
tak bisa selamanya ada untuk mereka. Kalau Anda memanjakan mereka terus, kapan
mereka dewasa?
- Ayolah,
Anda bukan manusia super atau sosok sempurna. Minta maaflah bila salah,
terutama bila anak Anda terluka karena selama ini Anda abaikan perasaan dan
keinginan mereka, apalagi tanpa alasan jelas. Diam bukan berarti mereka tidak
apa-apa. Ada kalanya mereka hanya ingin ditanya dan diajak bicara, bukan
dihakimi sesuka Anda.
- Dukunglah
mereka mencapai impian mereka (selama masih positif) dengan antusiasme yang
sama. Misalnya: mungkin Anda dan si sulung sama-sama suka olah raga dan Anda
sering memberinya semangat sebelum bertanding. Tak ada salahnya bila Anda juga
mendukung si bungsu ikut Olimpiade Fisika, meski Anda tidak selalu mengerti
semuanya.
Untuk ‘anak kesayangan’:
- Jangan
senang dulu. Bisa saja sebenarnya kalian yang paling menyusahkan orang tua.
- Tahu
dirilah. Banyak-banyak berterima kasih pada ortu yang sudah kalian repotkan...dan
saudara-saudara yang ‘terpaksa’ mengalah
karena ortu lebih memperhatikan kalian.
- Jangan
keenakan. Takutnya kalian nggak siap mandiri dan memegang tanggung-jawab bila
tiba-tiba ditinggal sendirian. Jangan lantas malah merepotkan orang lain. Ingat,
hidup ini bukan hanya tentang kalian.
- Tidak
perlu sombong dan jangan berhenti belajar. Bisa jadi selama di rumah kalian
(merasa) berkuasa – terutama karena dukungan penuh ortu. Bisa jadi, di luar
sana kalian malah bukan siapa-siapa maupun apa-apa.
Untuk anak-anak yang selama
ini (merasa) ‘terabaikan’:
- Saatnya
memutuskan kebahagiaan hidup sendiri. Keuntungannya, kalian secara tidak
langsung telah diberi kesempatan untuk mandiri dan dewasa lebih cepat.
- Gagal
didengar ortu setelah berusaha? Libatkan pihak ketiga yang bisa netral – sama-sama dikenal ortu dan kalian dan bisa objektif dalam menangani masalah.
Entah itu kerabat atau teman.
- Tidak
ada alasan untuk tidak melanjutkan hidup. Belajar, bekerja, dan berprestasilah
untuk kemajuan dan kebahagiaan diri sendiri.
- Merasa
benci diri sendiri? Jangan. Justru kalian-lah yang akan rugi. Carilah peran
kalian di dunia ini yang positif. Jadikan itu alasan kalian untuk hidup, entah
menjadi relawan di lembaga sosial atau minimal menolong binatang peliharaan
terlantar, misalnya.
- Ingin
bahagia? Cobalah ‘berdamai’ dengan
masa lalu. Bila merasa masih sulit memaafkan (apalagi bila kasusnya sudah
termasuk penyiksaan anak/’child abuse’),
tidak perlu memaksakan diri untuk berinteraksi dengan keluarga dulu. Fokuslah
pada hal-hal terbaik dalam hidup kalian sekarang, seperti: Tuhan, pekerjaan,
dan mungkin sosok-sosok manusia lain yang menyayangi kalian apa adanya.
- Jangan
pernah berpikir kalau kalian selalu sendirian di dunia ini. Banyak yang senasib
– mungkin malah lebih buruk. (Tenang, ini
bukan kompetisi.) Sering-seringlah memandang ke bawah daripada ke atas agar
senantiasa bersyukur.
Seperti
biasa, mohon maaf bila tulisan ini menyinggung.
R.
(Jakarta,
27 Oktober 2015 – 16:00)
(*Semua
nama sengaja disamarkan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar