Aku berangkat ke kantor dengan perasaan tak menentu. Pagi itu, aku baru saja bertengkar dengannya. Sebenarnya soal remeh. Namun, hal itu cukup merusak mood kami berdua saat sarapan. Aku langsung menghabiskan nasi goreng dan telur mata sapi secepat kilat. Kutenggak pula jus apel, sebelum kusambar tas kantorku dan keluar rumah tanpa berpamitan, tidak seperti biasanya. Biar saja. Biar ini jadi pelajaran pahit baginya!
Masih bisa kuingat jelas ekspresinya pagi itu sebelum kutinggal. Dia menatapku seakan baru saja kena tampar. Wajah cantiknya memucat, tiba-tiba tampak semuda gadis kecil yang ketakutan...atau mungkin marah dan terluka. Matanya berkaca-kaca.
Aduh, kenapa perempuan itu harus begitu perasa?
Kulihat dia tidak menghabiskan sarapannya. Dia beranjak ke dapur, membawa semua piring dan gelas dari meja makan. Kukira dia akan membuang sisanya. Tapi, ternyata dia hanya memindahkan sisa sarapan ke dalam Tupperware birunya.
Hanya itu yang kuingat, sebelum meninggalkan rumah dalam keadaan marah. Hanya itu yang kuingat, dalam perjalanan menemui klien pagi itu di sebuah kedai kopi di tengah kota ketika ledakan itu membuatku terlempar cukup jauh.
Hanya dia, sebelum gelap menelan seluruh kesadaranku...
--- // ---
Dia berangkat ke kantor tanpa berpamitan padaku seperti biasa. Pagi itu, kami baru saja bertengkar. Dia tidak pernah mau mendengar. Aku benci kebiasaannya menggampangkan persoalan. Aku tersinggung dituduh sebagai 'ratu drama'. Sialan! Rusak sudah selera makanku. Dasar egois!
Apa iya semua laki-laki begitu egois dan tidak punya perasaan?
Ah, biar saja dia pergi. Pergilah, lari dari masalah seperti biasa. Aku tidak peduli. Selalu harus dia yang menang! Aku tidak pernah benar di matanya.
Kunyalakan TV sebelum mulai mencuci piring. Terdengar suara reporter membacakan berita pagi itu:
"Baru saja terjadi ledakan di-"
Prang! Gelas terlepas dari tanganku dan pecah berhamburan di lantai. Tempat itu!
Aku tidak begitu mendengarkan ucapan si reporter. Mataku terpaku pada layar TV. Tampak asap putih membubung di parkiran. Orang-orang sekitar menjerit dan berlarian. Bodohnya, ada juga yang mendekat untuk menonton. Pakai foto-foto segala lagi, meski bukan fotografer media.
Saat melihat kedai kopi yang hancur itu, mendadak aku teringat dia...
--- // ---
Tuut...tuuut...tuuuut...klik!
"Halo?"
"Kamu dimana?"
"Baru saja dievakuasi." Terdengar isak-tangis itu di telepon. "Aku nggak apa-apa. Bos minta semua karyawan dipulangkan hari ini."
"Oooh, syukurlah."
"Maaf soal tadi."
"Ya, sama-sama. Yang penting sekarang kamu segera pulang."
"Oh, oke."
Klik! Tuut...tuuut...tuuuut...
R.
(Jakarta, 2 Februari 2016 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar