Aku
merindukan-Nya. Sejak hari itu, hidupku tak lagi sama.
Aku hanyalah siswi sekolah biasa.
Pagi belajar, sore pulang. Kemana-mana lebih sering berjalan kaki. Biasa
sendiri. Tidak pernah ada masalah. Selama ini, aku baik-baik saja.
Hingga hari itu...
Seperti biasa, aku pulang lewat
jalan yang sama. Entah kenapa, kali ini ada mereka. Berkumpul bersama,
mengobrol dan tertawa keras-keras. Bau arak dan tuak yang begitu kuat membuatku
pusing dan mual. Mata-mata mereka merah dan berair.
Haruskah aku berbalik arah? Ah, ini ‘kan,
rute biasaku. Masa aku yang harus mengalah hanya gara-gara ada mereka? Kata
Ayah, aku mesti berani, meski perempuan. Hanya boleh takut pada-Nya. Bunda yang
selalu was-was dan rajin mengingatkan diriku agar selalu waspada dan menjaga
diri. Gara-gara itulah mereka berdua sering bertengkar.
Tak kupedulikan bisik-bisik,
cekikikan, hingga suit-suitan nyaring mereka yang memang mencari perhatianku
dengan sengaja. Norak dan menjijikan. Kata Ayah dan Bunda, mereka pengangguran.
Tidak ada kerjaan, terlalu banyak waktu luang. Terus malah mengganggu orang.
Kukira pakaian seragamku sudah cukup
panjang. Namun, ternyata dunia bohong saat bilang bahwa aku takkan pernah
diganggu karenanya. Aman?
Tidak, orang-orang mabuk itu
tiba-tiba menyergap dan menarikku dari belakang! Tolong...
*****
Kata Ayah dan Bunda, aku akan selalu
menjadi bidadari mereka. Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah bidadari harusnya
suci? Seharusnya bidadari punya sayap, hanya agar bisa terbang tinggi dan jauh
sekali – jauh dari tangan-tangan yang ingin merusak semua keindahan yang ada.
Kadang alasan mereka hanya karena mau dan bisa melakukannya. Itu saja.
Bagaimana ini? Kini sayapku telah
patah. Aku tak lagi sama. Rusak semua.
Gara-gara
mereka!
Sekarang aku hanya ingin
bersama-Nya. Salahkah? Kasihan juga Ayah dan Bunda. Mungkin hanya Dia yang mau
menerimaku apa adanya. Apa jangan-jangan Dia menyalahkanku juga, seperti kata
mereka yang merasa sudah tahu segalanya?
Ah,
sudahlah. Entah...
*****
“Bip...bip...bip...biiiip...!”
“PUTRIII!”
Siang
itu, di salah satu kamar di sebuah rumah sakit, seorang ibu menangis histeris,
sambil menatap pilu pada wajah bidadari ciliknya yang kini beku, sebelum mereka
menutupinya dengan selembar kain putih...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar