Ada
yang pernah bilang, kalau di Indonesia ada terapi khusus anger management, sebaiknya saya harus mendaftar. Mungkin mereka
benar, meski saya juga punya alasan bagus untuk marah.
Saya tidak akan berpura-pura: masih banyak hal yang membuat saya marah. Terlalu
banyak, meski kadang saya berhasil menahannya. Meski kadang saya masih suka
gagal menyembunyikannya.
Waktu TK, saya pernah nekat pulang
berjalan kaki sendirian ke rumah kakek dan nenek sepulang sekolah. Cukup gila
memang. Alasannya juga cukup konyol: saya kira saya ditinggal kakak dan adik
(yang waktu itu juga satu sekolah.) Padahal, mereka hanya keluar sebentar untuk
jajan dan kami sudah sepakat menunggu jemputan orang tua. Waktu itu juga belum
ada ponsel.
Saya sudah cukup jauh dari sekolah
saat mobil orang tua melintas lewat. Saat saya berteriak: “Papa!”, Ford abu-abu itu langsung mengerem mendadak. Jendela supir
terbuka, menampakkan wajah shock Papa.
“NGAPAIN
KAMU DI SITU?!”
Singkat
cerita, akhirnya kami kembali ke sekolah untuk menjemput kakak dan adik – yang
waktu itu kebingungan mencari saya. Meski sempat diomeli sekaligus dinasihati
panjang-lebar, waktu itu Papa sempat bertanya: “Emang kamu tahu jalan ke rumah Nini?”
“Tahu,”
jawab
saya polos. Saya membuktikannya dengan memberitahu rute yang biasa kami lewati
bila ke rumah kakek dan nenek dari sekolah. Papa hanya mengangguk puas.
Waktu itu, saya masih terlalu polos.
Saya hanya tahu saya bosan menunggu dan ingin segera pulang. Kalau didekati
orang yang berniat jahat, saya tinggal teriak atau cari pak polisi. (Ini ajaran almarhum kakek yang pensiunan
polisi.) Pasti akan ada yang menolong.
Polos sekali, ya? Begitulah. Namanya
juga masih anak-anak. Saya memang termasuk yang beruntung. Tidak pernah kena ‘jam malam’ meski anak perempuan, meski
jarang keluar malam juga kecuali kalau memang benar ada perlunya. Padahal, pas
baru kuliah, saya sempat malu setengah-mati karena Mama sempat kekeuh ingin mengantar-jemput saya. Ada
teman-teman yang bilang kalau saya ‘anak
mami’. Kesannya manja dan nggak cool.
Barulah setelah ‘nego’ yang cukup
alot dengan beliau, saya baru boleh pulang-pergi naik bus sendiri. Lama-lama
kemana-mana makin berani sendiri. Ortu senang, tentu saja. Anak perempuan
mereka yang sebenarnya masih suka ringkih kalau kecapekan ini ternyata – dan
akhirnya – bisa mandiri. Sekalinya minta antar-jemput kemana-mana, biasanya
hanya karena dua hal: lagi sakit sama
lagi bokek. Hehe. Yang paling nggak
enak, udah sakit, pas lagi bokek pula.
Kadang Mama juga masih suka
deg-degan pas saya suka pulang malam dulu (sebelum akhirnya saya ngekos
sendirian dan beliau harus rela melepas saya.) Kadang beliau ‘mengutus’ adik lelaki saya untuk datang
menjemput bila saya kemalaman. Tidak apa-apa, sih. Saya tetap menganggapnya
sebagai bentuk perhatian. Kalau memang lagi bisa dan adik tidak keberatan,
kenapa harus ditolak? Lumayan, hemat ongkos. Kadang bisa sekalian makan malam
bareng adik dulu sebelum sama-sama pulang.
Tapi, saya juga sadar bahwa tidak
selamanya saya bisa bergantung pada orang lain. Banyak yang salah mengartikan
sikap saya ini dengan ‘sombong’ dan ‘sok tidak butuh laki-laki atau siapa pun’. Padahal,
kalau sedikit-sedikit minta ditemenin, lama-lama bisa ganggu juga, lho! ‘Kan
setiap orang punya kesibukan masing-masing.
Saya ingat malam selepas perayaan
ultah sahabat masa kuliah di sebuah resto yang jaraknya hanya sekitar tiga blok
dari rumah kakek-nenek saya waktu itu. Pacar salah seorang teman se-geng
melirik saya.
“Pulang
naik apa?”
“Jalan
kaki.”
“Sendirian?”
“Iya.”
“Bahaya.
Cewek nggak baik pulang malam sendirian.”
“Udah
biasa.” Jujur, saya mulai tidak suka. Cara ngomongnya begitu
mendikte dan menghakimi. “Udah hapal
daerah sini.”
“Yaa,
belum ‘kejadian’ ajaa.”
“Maksud
lo?” Jujur, saya mulai meradang. Makin nggak suka, bahkan
sampai melototi pacar teman dengan perasaan benci. Menurut saya, kalau memang
khawatir, mending langsung menawarkan tumpangan pulang, deh. Nggak usah
menghakimi segala, apalagi sampai mengharapkan bahwa saya akan ‘kenapa-kenapa’ di jalan. ‘Kan saya jadi
antipati. Saya paling nggak suka diancam. Kesannya kalau saya beneran ‘kenapa-kenapa’ di jalan ya, salah saya
yang pulang malam sendirian.
Seorang sahabat (yang lebih
berpengalaman daripada saya dalam hal ini) pernah mengingatkan saya begini: semua yang baik butuh proses dan waktu. Masih
banyak laki-laki yang masih takut menghadapi perubahan. Tak hanya takut
kehilangan rasa aman karena rasa berkuasa, mereka sudah terbiasa dengan semua
kenyamanan yang mereka dapatkan berkat dukungan masyarakat patriarki. (Ya, termasuk membatasi ruang gerak
perempuan dalam ruang publik – atas nama ‘keamanan’.) Padahal, kalau
keamanan di luar rumah ada untuk semua, ‘kan sama-sama enak. Perempuan bisa
naik bus sendirian tanpa takut dilecehkan. Anak-anak perempuan bisa pulang
sekolah sendirian tanpa harus khawatir bakal diganggu preman di jalan...atau
malah mati dibunuh pemerkosa.
Dan laki-laki nggak perlu selalu
jadi supir dan bodyguard para perempuan
di keluarga mereka. Jujur saja, deh. Kadang kalian capek juga ‘kan, sering
diminta menemani kami belanja atau mengantar-jemput kami kemana-mana? Sementara
kami pun juga punya keperluan dan sama pentingnya. Masa kami harus selalu
menunggu kalian punya waktu luang dan tenaga?
Mungkin belum semua laki-laki
berpikir seperti almarhum Papa, adik, atau sahabat saya ini. Beruntunglah saya,
selama mengantar-jemput saya bermalam-malam itu, adik tidak pernah mengeluh
atau menasihati saya mengenai bahayanya perempuan keluar malam sendirian.
Bahaya mah, dimana-mana dan bisa terjadi kapan saja. Rumah dengan gembok paling
tebal atau sistem keamanan elektronik saja masih bisa kemalingan. Asal kita-nya
saja yang waspada dan saling menjaga sesama.
Adik juga tidak pernah
mengantar-jemput saya malam-malam karena saya perempuan dan (dianggap) lemah
kayak barang pecah-belah. Adik melakukannya karena sayang, karena kami
keluarga, dan karena dia menghormati dan menghargai saya sebagai manusia yang
utuh dan setara.
Maukah kita mewujudkan keamanan di
luar rumah untuk semua, tidak hanya laki-laki saja? Jangan sampai ada lagi yang
bernasib seperti Yuyun, adik kita di Bengkulu bulan lalu...
R.
(Jakarta, 3 Mei 2016 – 19:15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar