Kamis, 05 Mei 2016

"KEAMANAN DI LUAR RUMAH UNTUK SEMUA: MAUKAH KITA MEWUJUDKANNYA?"

Ada yang pernah bilang, kalau di Indonesia ada terapi khusus anger management, sebaiknya saya harus mendaftar. Mungkin mereka benar, meski saya juga punya alasan bagus untuk marah.
            Saya tidak akan berpura-pura: masih banyak hal yang membuat saya marah. Terlalu banyak, meski kadang saya berhasil menahannya. Meski kadang saya masih suka gagal menyembunyikannya.
            Waktu TK, saya pernah nekat pulang berjalan kaki sendirian ke rumah kakek dan nenek sepulang sekolah. Cukup gila memang. Alasannya juga cukup konyol: saya kira saya ditinggal kakak dan adik (yang waktu itu juga satu sekolah.) Padahal, mereka hanya keluar sebentar untuk jajan dan kami sudah sepakat menunggu jemputan orang tua. Waktu itu juga belum ada ponsel.
            Saya sudah cukup jauh dari sekolah saat mobil orang tua melintas lewat. Saat saya berteriak: “Papa!”, Ford abu-abu itu langsung mengerem mendadak. Jendela supir terbuka, menampakkan wajah shock Papa.
            “NGAPAIN KAMU DI SITU?!”
            Singkat cerita, akhirnya kami kembali ke sekolah untuk menjemput kakak dan adik – yang waktu itu kebingungan mencari saya. Meski sempat diomeli sekaligus dinasihati panjang-lebar, waktu itu Papa sempat bertanya: “Emang kamu tahu jalan ke rumah Nini?”
            “Tahu,” jawab saya polos. Saya membuktikannya dengan memberitahu rute yang biasa kami lewati bila ke rumah kakek dan nenek dari sekolah. Papa hanya mengangguk puas.
            Waktu itu, saya masih terlalu polos. Saya hanya tahu saya bosan menunggu dan ingin segera pulang. Kalau didekati orang yang berniat jahat, saya tinggal teriak atau cari pak polisi. (Ini ajaran almarhum kakek yang pensiunan polisi.) Pasti akan ada yang menolong.
            Polos sekali, ya? Begitulah. Namanya juga masih anak-anak. Saya memang termasuk yang beruntung. Tidak pernah kena ‘jam malam’ meski anak perempuan, meski jarang keluar malam juga kecuali kalau memang benar ada perlunya. Padahal, pas baru kuliah, saya sempat malu setengah-mati karena Mama sempat kekeuh ingin mengantar-jemput saya. Ada teman-teman yang bilang kalau saya ‘anak mami’. Kesannya manja dan nggak cool. Barulah setelah ‘nego’ yang cukup alot dengan beliau, saya baru boleh pulang-pergi naik bus sendiri. Lama-lama kemana-mana makin berani sendiri. Ortu senang, tentu saja. Anak perempuan mereka yang sebenarnya masih suka ringkih kalau kecapekan ini ternyata – dan akhirnya – bisa mandiri. Sekalinya minta antar-jemput kemana-mana, biasanya hanya karena dua hal: lagi sakit sama lagi bokek. Hehe. Yang paling nggak enak, udah sakit, pas lagi bokek pula.
            Kadang Mama juga masih suka deg-degan pas saya suka pulang malam dulu (sebelum akhirnya saya ngekos sendirian dan beliau harus rela melepas saya.) Kadang beliau ‘mengutus’ adik lelaki saya untuk datang menjemput bila saya kemalaman. Tidak apa-apa, sih. Saya tetap menganggapnya sebagai bentuk perhatian. Kalau memang lagi bisa dan adik tidak keberatan, kenapa harus ditolak? Lumayan, hemat ongkos. Kadang bisa sekalian makan malam bareng adik dulu sebelum sama-sama pulang.
            Tapi, saya juga sadar bahwa tidak selamanya saya bisa bergantung pada orang lain. Banyak yang salah mengartikan sikap saya ini dengan ‘sombong’ dan ‘sok tidak butuh laki-laki atau siapa pun’. Padahal, kalau sedikit-sedikit minta ditemenin, lama-lama bisa ganggu juga, lho! ‘Kan setiap orang punya kesibukan masing-masing.
            Saya ingat malam selepas perayaan ultah sahabat masa kuliah di sebuah resto yang jaraknya hanya sekitar tiga blok dari rumah kakek-nenek saya waktu itu. Pacar salah seorang teman se-geng melirik saya.
            “Pulang naik apa?”
            “Jalan kaki.”
            “Sendirian?”
            “Iya.”
            “Bahaya. Cewek nggak baik pulang malam sendirian.”
            “Udah biasa.” Jujur, saya mulai tidak suka. Cara ngomongnya begitu mendikte dan menghakimi. “Udah hapal daerah sini.”
            “Yaa, belum ‘kejadian’ ajaa.”
            “Maksud lo?” Jujur, saya mulai meradang. Makin nggak suka, bahkan sampai melototi pacar teman dengan perasaan benci. Menurut saya, kalau memang khawatir, mending langsung menawarkan tumpangan pulang, deh. Nggak usah menghakimi segala, apalagi sampai mengharapkan bahwa saya akan ‘kenapa-kenapa’ di jalan. ‘Kan saya jadi antipati. Saya paling nggak suka diancam. Kesannya kalau saya beneran ‘kenapa-kenapa’ di jalan ya, salah saya yang pulang malam sendirian.
            Seorang sahabat (yang lebih berpengalaman daripada saya dalam hal ini) pernah mengingatkan saya begini: semua yang baik butuh proses dan waktu. Masih banyak laki-laki yang masih takut menghadapi perubahan. Tak hanya takut kehilangan rasa aman karena rasa berkuasa, mereka sudah terbiasa dengan semua kenyamanan yang mereka dapatkan berkat dukungan masyarakat patriarki. (Ya, termasuk membatasi ruang gerak perempuan dalam ruang publik – atas nama ‘keamanan’.) Padahal, kalau keamanan di luar rumah ada untuk semua, ‘kan sama-sama enak. Perempuan bisa naik bus sendirian tanpa takut dilecehkan. Anak-anak perempuan bisa pulang sekolah sendirian tanpa harus khawatir bakal diganggu preman di jalan...atau malah mati dibunuh pemerkosa.
            Dan laki-laki nggak perlu selalu jadi supir dan bodyguard para perempuan di keluarga mereka. Jujur saja, deh. Kadang kalian capek juga ‘kan, sering diminta menemani kami belanja atau mengantar-jemput kami kemana-mana? Sementara kami pun juga punya keperluan dan sama pentingnya. Masa kami harus selalu menunggu kalian punya waktu luang dan tenaga?
            Mungkin belum semua laki-laki berpikir seperti almarhum Papa, adik, atau sahabat saya ini. Beruntunglah saya, selama mengantar-jemput saya bermalam-malam itu, adik tidak pernah mengeluh atau menasihati saya mengenai bahayanya perempuan keluar malam sendirian. Bahaya mah, dimana-mana dan bisa terjadi kapan saja. Rumah dengan gembok paling tebal atau sistem keamanan elektronik saja masih bisa kemalingan. Asal kita-nya saja yang waspada dan saling menjaga sesama.
            Adik juga tidak pernah mengantar-jemput saya malam-malam karena saya perempuan dan (dianggap) lemah kayak barang pecah-belah. Adik melakukannya karena sayang, karena kami keluarga, dan karena dia menghormati dan menghargai saya sebagai manusia yang utuh dan setara.
            Maukah kita mewujudkan keamanan di luar rumah untuk semua, tidak hanya laki-laki saja? Jangan sampai ada lagi yang bernasib seperti Yuyun, adik kita di Bengkulu bulan lalu...
            R.

            (Jakarta, 3 Mei 2016 – 19:15)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar