Sabtu, 21 Mei 2016

"RAMBUT PENDEK JANE"

“Kenapa sih, kamu nggak mau panjangin rambutmu aja? Biar lebih kayak perempuan, gitu!”
            Jane sudah muak mendengar komentar semacam itu jutaan kali. Dari kerabat setiap acara keluarga, teman-teman SMA, teman-teman kuliah...hingga sekarang, teman-teman kantor. Alasan mereka beragam, meski intinya sama saja.
            “Rambutmu pasti lebih keren kalo panjang. Kamu juga bakalan kelihatan lebih cantik.”
            Jujur, Jane benci sekali. Kenapa banyak orang harus begitu usil? Suka-suka dia dong, mau berambut pendek atau panjang. Mau Jane mengecat rambutnya pirang atau merah, mereka mau apa?
            Bisa nggak sih, seorang perempuan bernapas lega sehari saja, tanpa harus berurusan dengan mereka yang merasa lebih berhak mengatur-atur keseluruhan hidupnya?
            Bisa nggak sih, seorang perempuan hidup tanpa harus merasa takut atau terancam karena pilihan hidupnya?
            Ah, mereka tidak akan pernah mengerti. Biarlah mereka menilainya sesuka hati. Jane sudah lelah setengah-mati. Mereka merasa sudah tahu segalanya. Jane tidak berutang penjelasan apa-apa pada mereka.
*****
            Malam itu, ruangan yang luas di sebuah rumah itu terisi oleh sekumpulan orang. Mayoritas perempuan. Seorang perempuan berkaca mata tersenyum lembut dan penuh pengertian pada mereka.
            “Untuk sesi kali ini, ada yang mau berbagi cerita?” Satu tangan terangkat. “Silakan, Jane.”
            “Hai, nama saya Jane.”
            “Hai, Jane.”
            “Waktu itu, saya masih SMP.” Perempuan berambut pendek itu tersenyum getir, membayangkan dirinya dulu: ceria, berseragam, dan berambut panjang. “Saya pulang terlambat sore itu karena les matematika. Saya tidak sempat melihat mereka. Hanya, tiba-tiba saja...ada yang menjambak rambut saya dari belakang...”
            Jane berhenti. Meski pandangannya kini mengabur, dia masih bisa mendengarnya: isak tangis beberapa hadirin. Tangis yang mirip tangisan ibunya malam itu di ICU.

            “Jane?” tanya perempuan berkaca mata itu dengan prihatin. Namun, Jane masih diam. Di benaknya, masih ada versi mudanya dulu yang naas sore itu: terkapar di pinggir jalan sepi, berlumuran darah. Seragamnya robek dan wajahnya penuh lebam. Ada nyeri yang teramat sangat di antara tungkainya...


1 komentar:

  1. masih belum kuat hubungan antara keengganan Jane berambut panjang dengan trauma perkosaan yang dialaminya. :)

    BalasHapus