Senin, 27 Januari 2014

"CARA MUDAH MENGHADAPI ONLINE BULLY (INSYA ALLAH BEBAS DRAMA!) "

Oke, ini masih seputar media sosial dan etika berselancar di dunia maya. Saya yakin saya bukan penulis pertama dan satu-satunya yang menyinggung soal 'wabah' sosial yang mengkhawatirkan ini.

Dan maaf, saya tidak hanya menyinggung pengguna media sosial dan lainnya di internet yang dari Indonesia. Pada dasarnya, manusia punya dua kecenderungan serupa: memuji atau mencela. Tentu saja, rentan jadi masalah saat manusia kebablasan melakukan satu atau keduanya. Memuji secara berlebihan, hingga lama-lama tidak terdengar obyektif atau - lebih parah - terasa palsu, alias tidak tulus atau munafik. Mencela dengan semena-mena alias suka-suka, hingga keluar dari konteks masalah sebenarnya atau merepet kemana-mana juga masuk kategori 'enggak banget'. Selain itu, mau Anda benar atau salah, pastinya melakukan itu juga bikin hati orang lain terluka.

Akhir-akhir ini makin banyak keluhan seputar 'online bullying'. Seorang musisi lokal baru-baru ini diwawancarai sebuah stasiun radio ibukota. Mengenai penggunaan media sosial, beliau berpendapat bahwa - masyarakat Indonesia sebenarnya banyak yang belum siap secara mental. Apa pasal? Luapan emosi membuat pemilik akun cenderung melupakan tata bahasa dan tata-krama saat menulis. Niatnya beropini malah terkesan memaki. Ada juga yang pada dasarnya memang penyuka drama, hingga tak peduli lagi mana (beneran) opini atau (sekedar asal) memaki.

Terlepas dari yang tengah dan telah terjadi, ada cara mudah menghadapi 'online bully' tanpa perlu memperkeruh 'suasana' (misalnya menempuh jalur hukum yang membuat Anda harus mengeluarkan banyak biaya demi membayar pengacara atau saling serang lewat media sosial macam 'twit-war') :

1.Kendalikan emosi Anda.
Tarik napas dalam-dalam dan baca doa sebelum memutuskan untuk mengetik sesuatu saat emosi Anda sedang tidak stabil, apa pun penyebabnya. Kalau perlu, jangan mengetik apa-apa alias jalan-jalan dulu menghirup udara di tempat terbuka. (Semoga daerah sekitar Anda tidak berpolusi, ya!) Setelah tenang, insya Allah Anda tidak mudah tersakiti oleh ucapan/tulisan siapa-siapa - atau perlu menyakiti siapa-siapa. Sayangi jiwa dan tubuh Anda dengan tidak menghirup 'racun kebencian' atau pun menebarnya. Kata orang umur bisa lebih panjang dan hidup lebih bahagia.

2.Tanyakan pada diri sendiri: "APAKAH ANDA SEORANG BULLY?"
Langkah tersulit selalu berupa introspeksi diri. Mungkin niat Anda baik, hanya menegur (seperti aktris Olivia Wilde saat menegur penyanyi Justin Bieber yang selalu terlihat bertelanjang dada di foto-fotonya, yang buntutnya berbalas hujan makian dari fans Bieber ke akun Wilde.) Apakah bahasa yang dipilih tidak berpotensi bikin mata dan hati pembaca 'panas'? (Ingat, berkata jujur tidak sama dengan lupa tata-krama dan tidak perlu menjaga perasaan orang lain!)

Sebelumnya, apakah Anda merasa perlu berkomentar? Apakah yang akan dikomentari berkaitan dengan Anda - atau memberi pengaruh buruk pada hidup Anda? Apakah komentar Anda akan membawa manfaat? Siapkah Anda dengan resikonya, seperti dicap negatif atau reaksi mereka yang tidak berkenan atas komentar Anda - apalagi bila komentar itu datang tanpa diminta?

Apakah Anda merasa jumlah teman Anda - baik di dunia maya dan bahkan di dunia nyata - lama-lama berkurang? Di-unfollow, unshare, mute, unfriend, hingga diblokir?? Benarkah selalu hanya karena mereka bukan teman sejati, yang enggan menerima Anda apa adanya?

Jika Anda tahu persis (sambil membandingkan dengan opini orang-orang terdekat dan terpercaya) jawaban-jawaban semua pertanyaan di atas, insya Allah Anda tahu langkah selanjutnya.

Apakah Anda pernah menyakiti orang lain dan tidak merasa menyesal - atau bahkan senang - telah melakukannya? Jika ya, ada kemungkinan besar Anda (berbakat jadi) seorang bully.

Untuk hal ini, pilihan ada di tangan Anda. Mau mulai belajar menahan diri atau terus berbuat sesuka hati? Mau belajar (lebih) bijak dalam memilih mana yang perlu diperhatikan dan tidak (terlalu) peduli sama yang patut diabaikan? Mau merasa selalu (paling) benar sendiri?

Seperti biasa, terserah Anda.

3.Tanyakan lagi pada diri sendiri: "APAKAH ANDA KORBAN BULLY (ATAU SETIDAKNYA MERASA)?"
Ada sosok yang jadi terkenal akibat menjadi 'bully' di dunia maya. (Tahu kan, siapa? Sudahlah, lagi-lagi tidak perlu menyebut namanya. Macam Voldermort saja!) Dia semakin terkenal bukan karena bakat atau prestasi yang dia jual.

Dia terkenal karena mayoritas korbannya bereaksi terhadap semua 'kicauan' sumbangnya di media sosial. Semakin ditanggapi, semakin dia menjadi. (Harap maklum, mungkin dia pikir hanya itu satu-satunya jalan agar makin diperhatikan orang dan menjadi selebriti, hihihi!)

Cara menghadapi sosok macam dia? Mungkin Anda bisa mencontoh salah satu jurnalis TV lokal yang pernah mewawancarainya di TV, lalu berikutnya dihina-hina lewat media sosial oleh si narasumber 'haus perhatian' itu. Tidak peduli dan tidak menanggapi. Move on. Sosok itu boleh mengatainya apa saja, namun sang jurnalis yang cerdas nan elegan lebih memilih memperhatikan yang penting-penting saja. Mudah sekali, bukan?

Kalau sudah tidak tahan lagi, Anda juga bisa memilih 'menyingkirkan' si 'bully' dari daftar pertemanan Anda di dunia maya (sekaligus dunia nyata, terutama bila sudah masuk taraf membahayakan hidup Anda!) Anda berhak, kok. Bukan tindakan jahat bila orang itu lebih banyak menyakiti hati Anda. Untuk apa Anda pertahankan mereka? Anda berhak bahagia dan hidup bebas drama (apalagi yang tidak penting.)

Bayangkan, apa jadinya bila semua korban 'online bullying' memutuskan untuk kompak bersikap cuek atau memblokir akun si 'bully' sekalian? Mungkin dia akan panik dan kehilangan penonton dan gagal jadi selebriti instan. Mungkin juga dia akan membuat akun baru dan mengulangi pola lama. Bisa dan biar saja.

Intinya, Anda bisa memilih tidak membaca yang tidak Anda suka. Lain cerita bila Anda memang penikmat drama dan memilih hidup dengan 'huru-hara' tak berguna.

R.

(Jakarta, 17 Januari 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar