Selasa, 14 Januari 2014

"TERIMA KASIH, LEMAK!"

Mungkin banyak yang merasa aneh dengan judul tulisan ini. Mungkin Anda juga menganggap saya gila, depresi, atau semacamnya.
            Ya, terutama bila Anda menganggap penampilan fisik/luar yang sempurna (entah versi siapa) bagi perempuan adalah segalanya. Dengan kata lain, pokoknya harus kurus dulu baru dibilang cantik. Yang lain nggak masuk hitungan. Kira-kira seperti standar kecantikan a la media massa yang tidak henti-hentinya dipromosikan.
            Apakah Anda termasuk yang percaya dan menganut paham demikian? Sah-sah saja. Semua terserah Anda!
            “Terima kasih, lemak!” Kenapa? Apakah saya tengah bersarkasme? Apakah saya tengah menyangkal realita?
            Apakah saya sedang menyerah dari perjuangan menjadi lebih sehat? (Nggak perlu kurus banget lah! Selain nggak bakat dan nggak tertarik jadi supermodel, saya juga dari keluarga dengan gen tulang besar, hahaha!)
            Apakah saya tengah melegitimasi hak asasi manusia untuk gemuk, tetap gemuk, dan tidak perlu berjuang menurunkan berat badan? Apakah saya sedang berseru kepada dunia: “It’s okay to be FAT”?
            Jika Anda termasuk pemikir ‘sederhana’ (mohon maaf, tanpa bermaksud menghina), silakan berpikir demikian. Saya tidak akan memaksa Anda mengubah pendirian, apalagi sekedar memperluas ‘cakrawala’ di benak Anda.
            Sebagai minoritas di keluarga ramping (bukan kurus!), stigma sosial yang melekat pada orang gemuk sangat menyakitkan. Rakus. Hanya memikirkan makanan. Bukan pilihan pertama dalam ajang bernama ‘PACARAN’. (Bahkan ada yang terang-terangan mengingatkan saya: “Wajar saja, lelaki mahluk visual.” Anda sepakat?)
            Lebih parah lagi, sosok dengan ekstra lemak seringkali dibanding-bandingkan dengan orang lain. “Kakakmu kurus. Kok kamu gendut?” Ibaratnya, mereka bertanya kenapa harimau besar dan kucing kecil. Entahlah. Mungkin mereka kurang kerjaan, hingga merasa penting mengurusi hidup orang lain.
            Mau marah juga percuma. Alasan mereka pasti macam-macam. Karena peduli (meski maaf, seringkali caranya kurang tepat.) Ada juga yang menuduh si gemuk tidak tahu terima kasih karena telah diingatkan dan dinasehati...berulang-kali. (Padahal, belum tentu nasehat itu diminta, apalagi bila disampaikan berulang-ulang – hingga yang mendengar merasa seperti dikejar-kejar hutang. Hutang sama siapa?)
            Paling standar komentar: “Ah, sensitif banget sih, lo!” (Seolah-olah si gemuk memang pantas menerima semua komentar jelek tentang berat badannya dan tidak berhak marah sama sekali.) Ada juga yang buru-buru meralat: “Ah, kita kan hanya bercanda!” (Ha-ha, lucu sekali! Bayangkan Anda disuguhi lelucon sama berkali-kali. Masih sanggupkah Anda tertawa?)
            Saya tahu saya juga takkan (sudi) mempertahankan ekstra lemak di tubuh saya, apalagi menambahnya. (Hiiih, jangan sampai, deh!) Ngapain?
            Sayang sekali, prosesnya juga tidak sebentar. (Dulu saya butuh dua tahun untuk menyingkirkan dua puluh kilogram dari badan saya. Celakanya, mereka yang terbiasa melihat saya gemuk malah menyangka saya sakit atau menderita anoreksia. Ck, ck, ck, manusia selalu senang berkomentar!) Mohon maaf, kita tidak sedang membahas cara membuat mie instan di sini. Kalau Anda tidak sabar, sebaiknya jangan banyak komentar. Kecuali...yah, Anda pernah gemuk dan tahu cara instan menurunkan berat badan tanpa membahayakan kesehatan – apalagi sampai berpotensi menghilangkan nyawa! Amit-amit.
            Intinya, berkat ekstra lemak, saya jadi tahu mana yang ‘kawan’ (sungguhan) dan mana ‘frenemy’ (ngakunya teman tapi suka mem-bully! Idih.) Saya tahu siapa yang perlu saya dengarkan dan saya abaikan.
            Saya juga tahu mana yang benar-benar peduli (“Aku takut kamu kena diabetes seperti tanteku!”) dan mana yang sekedar usil (“Kamu kok, jadi makin kegendutan aja, sih?” Halo, sejak kapan berat badan saya menjadi masalah besar bagi Anda? Kecuali Anda sutradara dan saya aktris yang – harusnya – memerankan tokoh kurus!)
            Is it okay to be fat? Yang oke adalah sehat, terlepas ukuran badan Anda. (Untuk yang ini, silakan berkonsultasi pada dokter langganan dan banyak membaca referensi kesehatan.) Yang memuakkan adalah saat berat badan ekstra jadi alasan pembenaran akan ‘social bullying’. Apalagi bila pelaku bullying sudah masuk kategori orang dewasa. (Halo, nggak malu sama umur, ya?)
            Sayangnya, menghapus praktek ‘bullying’ dari muka bumi sama sulitnya dengan menghapus korupsi di negeri ini. Saya hanya berusaha tidak peduli dan fokus sama tujuan hidup sendiri. Kalau pun suatu saat saya bisa langsing lagi (amin!), toh itu pun saya lakukan buat diri sendiri – bukan Anda, orang lain, atau siapa pun. Ngapain? Memangnya saya hidup hanya untuk memanjakan mata orang lain?
            Sekali lagi, saya berterima kasih pada lemak. Tentu saja, lemak ekstra juga tidak boleh tinggal terlalu lama dalam badan ini. Takut saya sakit. Selain itu, doakan semoga mereka tidak kembali-kembali lagi setelah saya sukses usir pergi...suatu hari nanti. Semoga terjadi dalam waktu dekat ini. Aamiin YRA...
            Hehe.

R.

(Jakarta, 13 Januari 2014, 11:24 pm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar