Selasa, 28 Januari 2014

"MAUT SEBAGAI PENGINGAT AKAN RAPUHNYA HIDUP"

Bagi yang mengenal saya mungkin akan memaklumi tulisan ini, mengingat ayahanda berpulang 19 Januari 2014 kemarin setelah lima tahun berperang dengan stroke-nya.
            Alkisah, salah seorang murid kursus saya yang masih remaja perempuan pernah curhat. Sebenarnya dia telah mendapatkan beasiswa di sebuah universitas luar negeri yang sangat dia inginkan. Sayang, ayahnya melarang. Saya tanya: “Kenapa?”
            “Karena kata ayah saya anak perempuan.”
            Jujur, jawaban itu terdengar begitu pedih. Saya melihat sosok muda yang patah hati di hadapan saya dengan perasaan sesak dan geram luar biasa. Amat menyakitkan, terutama di zaman sekarang. Lain cerita bila alasannya berupa kendala biaya atau semacamnya.
            Belum selesai membaca ini, mungkin ada yang sudah menuduh saya terlalu menghakimi. Saya tahu apa, sih? Saya belum pernah jadi orang tua. Saya hanya tahunya jadi anak yang kadang (terlalu) banyak meminta tanpa pernah (benar-benar) memberi. Tuduhan biasa.
            Jika Anda juga menganggap tulisan ini omong-kosong yang menyudutkan kaum lelaki, silakan berhenti membaca. Saya takkan memaksa. Mungkin ada juga yang ekstrim menganggap saya ‘feminis’ (tentu dengan nada SINIS.) Mungkin juga ada yang menuduh saya kelewat kritis, tapi biasanya ini datang dari mereka yang tidak siap atau enggan berargumen secara dewasa – berharap saya diam dan menerima semuanya tanpa banyak tanya.
            Pertama-tama, saya tidak membenci atau (sok) tidak butuh lelaki. Saya juga tidak membenarkan perempuan yang menjadi sombong akibat level pendidikan tinggi dan karir sukses hingga menyepelekan suami. Ya, sama seperti saya juga tidak suka tuduhan paranoid lelaki bahwa semua perempuan yang lebih sukses dari mereka pasti akan jumawa dan menginjak-injak (harga diri) lelaki. Ayolah, berbesar hatilah sedikit. Tidak semua perempuan seperti itu – dan saya yakin masih banyak lelaki baik dan besar hati di luar sana.
            Justru saya malah curiga – dan was-was – dengan lelaki paranoid yang beranggapan demikian tentang sosok perempuan sukses dan mandiri. Jangan-jangan mereka terbiasa menindas perempuan atau orang lain, mentang-mentang (merasa) ‘di atas angin’.
            Bukan itu masalahnya. Yang ingin saya tekankan di sini: hidup ini rapuh. Kita semua saling membutuhkan. Bolehlah Anda masih percaya dengan pakem lama “pada dasarnya, perempuan mahluk lemah yang selalu ingin dilindungi lelaki.” Terserah bila Anda masih percaya bahwa lelaki akan selalu ada dan kuat perkasa melindungi perempuan-nya. Istri dilarang kerja di luar rumah dengan alasan semua sudah Anda cukupi. (Padahal, setiap manusia butuh berkegiatan dan bersosialisasi dengan orang lain.) Anak perempuan (dianggap) tak perlu punya ambisi tinggi: kuliah di luar negeri dan punya karir bagus, karena pada akhirnya hidupnya akan dibiayai suami. Apa lagi yang mereka cari?
            Percayalah, saya tidak meragukan niat mulia seorang lelaki yang ingin melindungi perempuan dengan cara apa pun, seperti pangeran melindungi sang putri dalam cerita dongeng. Kabar buruknya: semua bisa terjadi di dunia nyata. Anda tak selalu (bisa) jadi pangeran yang melindungi sang putri. Percayalah, bukan niat saya menakut-nakuti.
            Apa yang terjadi jika tiba-tiba Anda kecelakaan atau sakit berat hingga tidak bisa bekerja lagi? Bagaimana menafkahi anak-istri? Asuransi? Mungkin, tapi untuk berapa lama? Pada akhirnya, semua simpanan akan habis tanpa sisa. Hidup harus terus berlanjut. Setelah itu mau hidup dengan apa? Ego dan harga diri belaka?
            Apa yang bisa Anda lakukan bila maut tiba-tiba mengambil Anda duluan, meninggalkan istri yang nihil pengalaman kerja (akibat Anda larang-larang dulu), simpanan tak seberapa, dan anak perempuan yang level pendidikannya belum tentu cukup untuk mendapatkan pekerjaan mapan? Iya kalau (masih) ada anak lelaki yang bisa diandalkan – dalam hal ini cukup umur untuk bekerja sebagai pencari nafkah dan bertanggung-jawab.
            Kalau tidak? Masa depan macam apa yang Anda inginkan untuk perempuan-perempuan yang (katanya) Anda cintai, namun Anda buat selalu tergantung pada Anda?
            Berpikir positif saja tidak cukup. Mengharap belas kasihan dari orang lain juga bukan jalan terbaik. Pada akhirnya, semua manusia harus berusaha bertahan hidup dan belajar menjaga dirinya sendiri. Ini tidak berarti sama dengan sikap egois.
            Memang, kadang butuh tragedi untuk memahami.
            Almarhum ayahanda adalah salah satu lelaki terbaik yang pernah mengajarkan saya arti kemandirian. Beliau kehilangan kakek dan paman saya di usia begitu muda, sehingga nenek saya harus menjadi orang tua tunggal. Karena itulah ayahanda mengidolakan sosok perempuan tangguh, cerdas, dan tidak mau (terlalu) tergantung pada orang lain.
            Saya percaya masih banyak lelaki baik di luar sana yang menghargai perempuan sebagai individu utuh, bukan sekedar ‘pelengkap’ hidupnya. Yang tidak (mudah) merasa minder dan terancam saat istri ternyata lebih sukses, baik dari segi karir maupun pergaulan sosial. (Bukankah pasangan harusnya saling mendukung?) Yang tidak hanya menyayangi anak-anaknya dan menjaga mereka, tapi juga mengajarkan mereka akan arti kemandirian dan agar senantiasa mampu menjaga diri mereka – terutama saat Anda tak ada.

            R.
            (Jakarta, 21 Januari 2014)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar