Bagi
yang mengenal saya mungkin akan memaklumi tulisan ini, mengingat ayahanda
berpulang 19 Januari 2014 kemarin setelah lima tahun berperang dengan stroke-nya.
Alkisah, salah seorang murid kursus
saya yang masih remaja perempuan pernah curhat. Sebenarnya dia telah
mendapatkan beasiswa di sebuah universitas luar negeri yang sangat dia
inginkan. Sayang, ayahnya melarang. Saya tanya: “Kenapa?”
“Karena kata ayah saya anak
perempuan.”
Jujur, jawaban itu terdengar begitu
pedih. Saya melihat sosok muda yang patah hati di hadapan saya dengan perasaan
sesak dan geram luar biasa. Amat menyakitkan, terutama di zaman sekarang. Lain
cerita bila alasannya berupa kendala biaya atau semacamnya.
Belum selesai membaca ini, mungkin
ada yang sudah menuduh saya terlalu menghakimi. Saya tahu apa, sih? Saya belum
pernah jadi orang tua. Saya hanya tahunya jadi anak yang kadang (terlalu)
banyak meminta tanpa pernah (benar-benar) memberi. Tuduhan biasa.
Jika Anda juga menganggap tulisan
ini omong-kosong yang menyudutkan kaum lelaki, silakan berhenti membaca. Saya
takkan memaksa. Mungkin ada juga yang ekstrim menganggap saya ‘feminis’ (tentu dengan nada SINIS.)
Mungkin juga ada yang menuduh saya kelewat kritis, tapi biasanya ini datang
dari mereka yang tidak siap atau enggan berargumen secara dewasa – berharap saya
diam dan menerima semuanya tanpa banyak tanya.
Pertama-tama, saya tidak membenci
atau (sok) tidak butuh lelaki. Saya juga tidak membenarkan perempuan yang
menjadi sombong akibat level pendidikan tinggi dan karir sukses hingga
menyepelekan suami. Ya, sama seperti saya juga tidak suka tuduhan paranoid
lelaki bahwa semua perempuan yang lebih sukses dari mereka pasti akan jumawa
dan menginjak-injak (harga diri) lelaki. Ayolah, berbesar hatilah sedikit.
Tidak semua perempuan seperti itu – dan saya yakin masih banyak lelaki baik dan
besar hati di luar sana.
Justru saya malah curiga – dan was-was
– dengan lelaki paranoid yang beranggapan demikian tentang sosok perempuan
sukses dan mandiri. Jangan-jangan mereka terbiasa menindas perempuan atau orang
lain, mentang-mentang (merasa) ‘di atas
angin’.
Bukan itu masalahnya. Yang ingin
saya tekankan di sini: hidup ini rapuh.
Kita semua saling membutuhkan. Bolehlah Anda masih percaya dengan pakem lama “pada dasarnya, perempuan mahluk lemah yang
selalu ingin dilindungi lelaki.” Terserah bila Anda masih percaya bahwa
lelaki akan selalu ada dan kuat perkasa melindungi perempuan-nya. Istri dilarang
kerja di luar rumah dengan alasan semua sudah Anda cukupi. (Padahal, setiap
manusia butuh berkegiatan dan bersosialisasi dengan orang lain.) Anak perempuan
(dianggap) tak perlu punya ambisi tinggi: kuliah di luar negeri dan punya karir
bagus, karena pada akhirnya hidupnya akan dibiayai suami. Apa lagi yang mereka
cari?
Percayalah, saya tidak meragukan
niat mulia seorang lelaki yang ingin melindungi perempuan dengan cara apa pun,
seperti pangeran melindungi sang putri dalam cerita dongeng. Kabar buruknya: semua bisa terjadi di dunia nyata. Anda
tak selalu (bisa) jadi pangeran yang melindungi sang putri. Percayalah, bukan
niat saya menakut-nakuti.
Apa yang terjadi jika tiba-tiba Anda
kecelakaan atau sakit berat hingga tidak bisa bekerja lagi? Bagaimana menafkahi
anak-istri? Asuransi? Mungkin, tapi untuk berapa lama? Pada akhirnya, semua
simpanan akan habis tanpa sisa. Hidup harus terus berlanjut. Setelah itu mau
hidup dengan apa? Ego dan harga diri belaka?
Apa yang bisa Anda lakukan bila maut
tiba-tiba mengambil Anda duluan, meninggalkan istri yang nihil pengalaman kerja
(akibat Anda larang-larang dulu), simpanan tak seberapa, dan anak perempuan
yang level pendidikannya belum tentu cukup untuk mendapatkan pekerjaan mapan?
Iya kalau (masih) ada anak lelaki yang bisa diandalkan – dalam hal ini cukup
umur untuk bekerja sebagai pencari nafkah dan bertanggung-jawab.
Kalau tidak? Masa depan macam apa
yang Anda inginkan untuk perempuan-perempuan yang (katanya) Anda cintai, namun
Anda buat selalu tergantung pada Anda?
Berpikir positif saja tidak cukup.
Mengharap belas kasihan dari orang lain juga bukan jalan terbaik. Pada
akhirnya, semua manusia harus berusaha bertahan hidup dan belajar menjaga
dirinya sendiri. Ini tidak berarti sama dengan sikap egois.
Memang, kadang butuh tragedi untuk
memahami.
Almarhum ayahanda adalah salah satu
lelaki terbaik yang pernah mengajarkan saya arti kemandirian. Beliau kehilangan
kakek dan paman saya di usia begitu muda, sehingga nenek saya harus menjadi
orang tua tunggal. Karena itulah ayahanda mengidolakan sosok perempuan tangguh,
cerdas, dan tidak mau (terlalu) tergantung pada orang lain.
Saya percaya masih banyak lelaki
baik di luar sana yang menghargai perempuan sebagai individu utuh, bukan
sekedar ‘pelengkap’ hidupnya. Yang
tidak (mudah) merasa minder dan terancam saat istri ternyata lebih sukses, baik
dari segi karir maupun pergaulan sosial. (Bukankah pasangan harusnya saling
mendukung?) Yang tidak hanya menyayangi anak-anaknya dan menjaga mereka, tapi
juga mengajarkan mereka akan arti kemandirian dan agar senantiasa mampu menjaga
diri mereka – terutama saat Anda tak ada.
R.
(Jakarta, 21 Januari 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar