Sabtu, 26 Maret 2016

"BALADA PEREMPUAN LAJANG DI ATAS USIA 30"

Mungkin banyak yang menganggap topik ini membosankan setengah-mati. Mungkin juga karena mulai semakin banyak perempuan yang lebih percaya diri, tidak lagi bertingkah bak kambing kebakaran jenggot hanya karena masih lajang di atas usia 30. Mungkin juga ada yang memilih tetap begitu. Apa pun alasan mereka, tak perlulah nyinyir dan sok ikut campur. Mau menasihati boleh, tapi tidak perlu sampai memaksa – apalagi sampai mencela dan menghina segala. Maaf, memangnya Anda siapa?
            Ada beda tipis antara peduli dengan usil. Peduli adalah saat mereka rajin mendoakan yang terbaik bagi si lajang, tanpa ucapan yang membuat si lajang merasa kurang, tidak berharga, buruk rupa, dan hina. Ya, terlepas dari niat yang punya mulut, yang katanya “baik” itu. Padahal mendoakan yang baik-baik saja sebenarnya sudah lebih dari cukup.
            Sementara itu, yang (kelewat) “usil” tidak pernah kehabisan cara untuk membuat si perempuan lajang merasa bersalah, HANYA karena di usianya yang sudah di atas kepala tiga belum juga menikah. Mulai dari mengomentari penampilan (dengan alasan klasik yang diamini sejuta umat: “Laki-laki ‘kan, mahluk visual!”), berat badan (“Kurusin dikit dulu deh, kalo mau cepet dapet pacar!”), hingga sikap (“Gimana kalo elo gak terlalu picky dan lebih membuka hati?” sama tambahannya “Tapi jangan gampangan juga, kali!”) Ada juga yang sampai bawa-bawa keluarga segala. (“Bokap lo sakit. Lo gak kasihan sama beliau?” Seolah-olah bila si perempuan lajang yang dituding itu buru-buru menikah – dengan siapa pun yang ASAL ADA – masalah akan selesai begitu saja dan sang ayah akan sembuh dengan ajaib.)
            Ada beberapa kasus nyata mengenai hal ini:
            Adik perempuan seorang rekan pernah sempat lama melajang, hingga di usianya yang ke-35. Saat keluarganya mencoba menjodohkannya dengan seseorang pilihan mereka dan gagal (karena si adik ternyata tidak punya ‘rasa’), jadilah dia yang di-bully:
            “Mbok ya, ngaca dulu,” tegur mereka waktu itu. “Umurmu sudah berapa, cantik apa enggak...”
            Akhirnya sang adik mengadu pada rekan saya sambil menangis. Jadilah sang abang membela sang adik mati-matian, melabrak keluarga besar. Eh, respon mereka hanya: “Kita ‘kan, maksudnya baik.”
            “Niat baik harus pakai menghina adik saya?”
            Aduuh!
            Singkat cerita, adik rekan saya akhirnya menikah di usia 37 dan memiliki seorang anak. Apakah setelah itu masih juga dirongrong mereka, seperti dikatai ‘telat nikah’ hingga diajak ‘berandai-andai’ macam: “Kalo dari dulu udah nikah, pasti anakmu nggak akan hanya satu”?
            Entahlah. Moga-moga tidak. Moga-moga mereka membiarkannya bahagia dengan pilihan hidupnya.
            Ada lagi kakak perempuan teman saya (lelaki) yang sudah berusia 31. Si kakak pernah didekati laki-laki di kampung mereka. Sebulan dekat, rupanya si kakak tidak sreg. Alasannya? Pertama, baginya laki-laki itu membosankan. Bahan obrolannya itu-itu saja. Kalau diajak ngobrol yang lain, laki-laki itu tampak malas menanggapi atau terlihat bingung. (Bahkan, yang parah bisa saja malah si perempuan yang dituding ‘sok pintar’ atau ‘pamer kecerdasan’. Biasa banget, ‘kan?)
            Kedua, laki-laki itu langsung mendesaknya dengan ajakan menikah, dengan ancaman kalau si perempuan tidak menjawab ‘ya’ dalam sebulan, maka laki-laki itu akan berpaling melamar perempuan lain. Mirip-mirip cerita dongeng atau adegan sinetron alay, kalau dipikir-pikir.
            Akhirnya mereka putus. Kakak teman saya tidak suka diancam-ancam segala (cara yang kekanak-kanakan dan tidak cerdas untuk melamar perempuan), tapi juga ingin membuktikan kebenaran ucapan si mantan.
            Tidak hanya belum punya pengganti, namun si mantan malah kembali mencari-cari kakak teman saya. Diterima kembali? Pastinya tidak.
            Masih banyak kasus serupa. Ada yang didekati laki-laki yang menurut saya cukup bodoh, tidak peka, dan kejam dengan berterus-terang begini: “Aku deketin kamu sebenarnya juga karena kasihan. Habis, sudah umur 30 masih juga belum menikah.” Ada juga laki-laki berego tinggi yang kesal ditolak, lantas memaki-maki: “Ngaca dulu, dong! Udah perawan tua, masih sok laku juga.”
            Laku? Ngomongin barang dagangan apa orang?
            Yang tidak mengerti (atau memilih enggan dan tidak mau peduli) mungkin akan langsung menganggap perempuan-perempuan ini sombongnya setengah-mati dan keras kepala lagi. Terserah, selama Anda ingat bahwa bukan Anda yang menanggung seluruh hidup mereka. Lagipula, bukankah manusia selalu punya pilihan? Memangnya hanya laki-laki yang boleh memilih, sementara perempuan tinggal duduk diam dan manis, terima jadi, dan nggak boleh menolak – atau harus siap dengan resiko dibilang ‘tidak tahu terima kasih’?
            Ah, standar ganda, bukan? Sama seperti harapan bahwa ‘perempuan baik-baik’ itu yang harus duduk diam dan manis sambil menunggu laki-laki datang menawarkan cinta duluan, bukan sebaliknya. Eh, giliran si perempuan sudah berusia 30 tahun ke atas, malah dia yang dikejar-kejar agar segera menikah – entah dengan siapa atau apa pun caranya. Dituduh kurang usaha, namun giliran usaha malah dianggap agresif karena putus-asa. Aduh, maunya apa, sih?
            Yang (memilih) tidak mengerti mungkin hanya akan menganggap penulis artikel ini ‘buta realita’, ‘anti pernikahan’, atau ‘perawan tua yang nyinyir karena nggak nikah-nikah juga’. Seperti biasa, terserah. Sudah baca contoh-contoh kasus di atas? Itulah stigma sosial yang – sialnya – hingga kini masih terus menimpa perempuan-perempuan lajang usia 30 tahun ke atas di Indonesia. (Mungkin juga berlaku di negara-negara lain, saya tidak tahu segalanya.) Padahal, kalau dipikir-pikir, apa gunanya sih, bermulut jahat sama mereka? Memang mereka pernah menyakiti Anda? Memangnya status lajang mereka segitu ‘ganggu’-nya bagi Anda? Jika mereka sendiri sudah cukup sabar dan menganggapnya cobaan, kenapa Anda harus merusaknya dengan hinaan? Memangnya Anda mau – atau mungkin sudah pernah – di posisi mereka?
            Memangnya kalian bisa menjamin bahwa ucapan kalian tidak membuat mereka terserang depresi, ‘salah jalan’ dengan merebut suami orang, hingga malah jadi anti beneran dengan pernikahan itu sendiri?
            Saatnya berhenti jadi social bully. Mendoakan yang baik-baik bagi mereka saja sebenarnya sudah lebih dari cukup menjadi bukti bahwa kalian benar-benar peduli. Tak perlu komentar sana-sini, apalagi sampai bikin mereka sakit hati.
            Kerja samalah. Jangan bisanya hanya terus-terusan menuntut satu pihak saja!


            R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar