Ada yang bilang 'malam' dan 'perempuan' bukan gabungan yang terdengar enak di telinga. Mendengar sebutan 'perempuan malam', pasti yang muncul di kepala adalah 'perempuan tuna susila' / PSK (penjaja seks komersial) - meski saya lebih suka menyebutnya 'PEDILA' (perempuan yang dilacurkan). Pokoknya semua yang dianggap hina dari seorang perempuan yang suka keluar malam.
Masih ada juga sebutan-sebutan lain yang tak kalah negatif, seperti: perempuan gila pesta, pencinta hedonisme, nakal, penggoda, dan sebangsanya. Pokoknya, menurut masyarakat patriarki, 'perempuan baik-baik' itu perempuan yang tidak suka keluar malam, tidak pernah keluar malam, dan kalau bisa selalu di rumah saja. Sekian.
Alasannya? Yang paling populer: 'keamanan'. Sisanya sih, lebih banyak stigma sosial. Menurut mereka, perempuan yang suka keluar malam pasti dan selalu memancing kejahatan. Namun, apa iya selalu demikian?
Inilah yang menjadi topik diskusi pencerahan dalam acara "Hari Perempuan Internasional: Merebut Malam Kembali" di Taman Suropati pada 8 Maret kemarin, pukul tujuh malam. Acara yang berakhir pada pukul sepuluh ini juga berisi pembacaan puisi, menyanyi bersama, dan pastinya saling berbagi cerita.
"Di kampung saya masih saja ada paham bahwa perempuan yang keluar malam pasti bakal hamil," cerita Tyas, salah satu peserta diskusi. "Padahal, kita semua tahu bahwa tidak mungkin malam bikin hamil perempuan. Lagipula, ibu saya juga jualan makanan di stasiun pada malam hari. Kalo nggak gitu, kita pada nggak makan, dong."
Masih banyak lagi cerita sejenis. Meski termasuk perempuan yang hanya keluar malam bila benar-benar diperlukan, saya termasuk salah satu penentang stigma sosial yang terlanjur mengakar menyesatkan. Stigma tersebut seakan memberi alasan bagi para lelaki di luar sana untuk menyerang perempuan yang kebetulan sedang di luar rumah sendirian pada malam hari. Saking muaknya, sering kali saya berharap yang mereka kira 'perempuan manusia tulen' yang hendak dijadikan sasaran niat bejat mereka ternyata 'mahluk gaib', hehehe... (Maklumi fantasi jahat saya.)
Ada perempuan yang terpaksa bekerja malam, ada yang memang menyenanginya - dan itu tidak berarti mereka termasuk penjaja seks komersial. Coba, mau nggak kalau semua lelaki yang suka keluyuran di malam hari dicap bajingan yang mudah 'horny' saat melihat perempuan lewat - apa pun yang mereka kenakan atau saat mereka sedang sendirian? Nggak mau, 'kan? Ngakunya mahluk yang lebih memakai logika, bukan?
Bila faktor 'keamanan' yang jadi alasan, bagaimana dengan mereka yang jadi korban kejahatan - justru di siang bolong dan pas di tempat ramai pula? Bagaimana dengan mereka yang jadi korban perampokan saat mereka masih tidur di dalam rumah? Bagaimana dengan mereka yang justru malah jadi korban kekerasan di rumah mereka sendiri, setiap hari pula?
Jangan salahkan malam. Jangan bisanya selalu hanya menyalahkan perempuan. Salahkanlah sosok-sosok di luar sana yang masih mengaku manusia, namun tidak manusiawi karena merampas rasa aman dan nyaman yang harusnya menjadi hak asasi semua manusia - baik lelaki, perempuan, anak-anak, tua, dan muda - di mana pun mereka berada. Termasuk perempuan yang suka keluar malam, apa pun urusan pribadi mereka.
Lagipula, kata siapa harus menunggu malam untuk berbuat asusila atau kejahatan? Semua tergantung niat masing-masing manusianya. Bukankah harusnya bumi ini milik bersama?
R.
(Jakarta, 9 Maret 2016 - 11:00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar