Selasa, 29 Maret 2016

"MAU (DIAJAK) HIDUP SUSAH?"

Mungkin tulisan ini berpotensi menyinggung Anda yang masih percaya dengan "pakem" (yang menjadi judul) di atas. Saya hanya mencoba menawarkan sudut pandang lain dari penawaran di atas.
Mau hidup susah? Mau diajak hidup susah? Siapa sih, manusia normal yang mau? Jujur saja, deh.
Ini bukan perkara moral, kebaikan, keikhlasan, gengsi, atau apalah namanya. Ini juga tidak selalu berkaitan dengan kondisi ekonomi, kelas sosial, atau situasi finansial seseorang.
Ini masalah pola pikir. Sebelum menuduh semua cewek yang pernah menolak tawaran Anda ini sebagai "manja", "pasti matre", "sombong", "terlalu banyak menuntut", atau "tidak bisa menerima cowok apa adanya" (tapi bisa nggak, Anda menerima cewek apa adanya?), coba bayangkan Anda jadi orang tua seorang anak perempuan. Putri Anda yang sudah dewasa dilamar. Saat cowok yang sudah berani melamarnya lantas Anda ajak bicara, mungkin Anda akan menanyakan hal ini:
"Apa harapan kamu dengan menikahi putri kami?"
Lalu cowok itu dengan pedenya menjawab begini: "Kebetulan, saya mencari seorang pendamping yang bersedia hidup bersama saya, meski susah / mau diajak hidup susah..."
*mendadak hening*
Krik...krik....krik.....krik......
Jujur, bila saya orang tua si cewek, saya bakal ragu menerima si cowok. Bukan apa-apa, saya tidak rela. Wong, anak perempuan sudah diasuh sedemikian rupa, dengan bekal gizi, pakaian, pendidikan, dan hal-hal terbaik lainnya yang bisa diberikan semua orang tua yang sayang, dengan harapan si anak akan menyongsong masa depan yang lebih baik. Mana ada orang tua yang sudi melihat anak mereka jauh lebih susah? (Lain cerita kalau si anak tidak keberatan atau memiliki pandangan hidup yang sama.)
Percaya atau tidak, pilihan kata sangat berpengaruh secara psikologis dengan yang mengucapkannya. Bukannya tidak mau melihat kenyataan atau ibarat "memberi gula pada kopi yang pahit", ya. Secara tidak sadar, kata "susah" yang diucapkan tersebut menggambarkan cara seseorang memandang hidupnya.
Memang, ada yang menyarankan agar selagi muda menikahlah, meski (secara finansial) belum mapan-mapan amat. Alasannya beragam, mulai dari: romantis (makan sepiring berdua atas nama penghematan sebenarnya, bukan ROkok-MAkaN-tidur-graTIS!), biar dapat menguji kekuatan dan kesetiaan cinta bersama (jiahh!), hingga bisa merasakan perjuangan bersama dalam membangun dan mempertahankan keluarga (biar nanti jadi kisah indah sejarah mereka bersama yang bisa diceritakan kepada anak-cucu kelak), dan belajar tetap saling mencintai dan menyayangi - bahkan dalam kondisi paling sederhana sekali pun.
Tidak ada yang salah dari keinginan mulia itu. Intinya, menikah itu berjuang untuk membentuk keluarga bersama, bukan? Bolehlah merasa senang dan bangga, karena kuat bertahan hidup di tengah segala kesusahan yang Anda alami. Namun, janganlah lantas cepat puas dan merasa tidak perlu meningkatkan taraf hidup lagi dengan alasan "sudah terbiasa hidup susah". Ingat, hati manusia bisa berubah. Hidup tidak hanya cukup dengan (mengandalkan ucapan) cinta. Kalau memang beneran cinta, pasti mau dong, terus berusaha mensejahterakan keluarga, alias tidak di situ-situ saja? Tidak ada yang salah dengan keinginan untuk lebih mapan. Wajib malah! Dengan lebih mapan, Anda malah lebih berdaya dan berguna. Bisa membantu lebih banyak orang. Ya, 'kan?
Lelaki1: "Sama aku aja. Hidupmu pasti enak. Akan kuberikan segalanya..."
Lelaki2: "Sepertinya kamu orang yang tepat untuk berjuang membangun hidup bersama..."
Lelaki3: "Mau nggak kamu diajak hidup susah denganku?"
...daaan, saya memilih Lelaki2. Mengapa? Lelaki3 sih, sudah pasti tidak lolos. Maaf, ya. Agak mengkhawatirkan.
Lelaki1 kesan awalnya menyenangkan, namun penuh rayuan gombal. Selain tidak mungkin dia memiliki 'segalanya' (wong manusia juga!), cara menawarnya mirip barteran berat. Entah kenapa, bikin tidak nyaman. Salah-salah imbalannya lebih berat. "Kuberikan segalanya, asal kamu menuruti semua mauku tanpa banyak tanya atau pun protes." Hiii, memangnya perempuan tidak boleh punya kemauan sendiri?
Menakutkan. Kalau memang mau ikhlas memberi mah, tidak perlu obral janji.
Lelaki2 terdengar cukup menenangkan dan paling realistis. Mengapa? Menenangkan, karena kata "berjuang bersama" menyatakan bahwa dia tidak hanya memandang saya sebagai pengikut belaka atau bahkan sebelah mata, melainkan rekan setara dan teman diskusi (sekaligus mungkin bisa gantian menjadi pelipur lara, hehe.) Dia memandang saya sebagai sosok manusia utuh, bukan pelengkap semata - apalagi sekedar pemuas napsu belaka. Hiiih!
Realistis? Roda kehidupan selalu berputar. Kadang kita di atas, kadang di bawah. Ada senang dan susah. Kalau ada sandungan atau rintangan (mungkin yang segede pohon raksasa yang tumbang di jalan), hadapi sama-sama dengan "semangat juang", bukan sekedar "rela hidup susah". Terasa sekali kok, bedanya.
Masih mau (mengajak/diajak) hidup susah?
R.
(Jakarta, 28 Maret 2016 - 16:45 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar