Rabu, 16 Maret 2016

"BUAT YANG HOBI MELABELI SESAMA DENGAN SEBUTAN 'CEMEN', 'CENGENG', 'MANJA', DAN SEJENISNYA:"

"Ketahanan fisik dan mental setiap orang berbeda. Nggak mungkin dan nggak bisa sama, apalagi bila sampai dipaksakan."
Seorang kawan bijak pernah berkata demikian. Butuh waktu lama bagi saya untuk menerimanya dan mencoba bersikap lebih cuek dengan ejekan-ejekan 'nggak penting'.
"Ya, ampun. Lo cepet laper ya, orangnya? Pantes gendut."
Sering dikomentari begini saat lagi jalan sama orang lain, entah itu keluarga sendiri atau teman? (Kalau pacar? Tinggalkan saja! Eh, terserah Anda, ding. Hehe.) Saya juga. Seperti biasa, orang yang kelebihan berat badan selalu dianggap rakus dan hanya memikirkan makanan terus. Biasa banget, 'kan? Pokoknya, meski ada juga orang kurus yang rentan lapar terus, stigma tersebut terlanjur melekat (atau dilekatkan secara sosial) pada orang gendut. Dijadikan bahan lelucon (basi!) pula. Masih komedi versi kita, nih.
Lalu, apa yang biasanya terjadi bila saya telat makan/tidak makan tepat waktu? Tergantung kondisi. Kalau badan masih fit, minimal hanya mood yang sedikit terganggu. (Maka itu, amat sangat tidak disarankan untuk menjadikan berat badan saya sebagai lelucon - terutama bila Anda sudah pernah kena damprat.) Kalau kurang fit, pasti jadi lesu dan tidak bersemangat.
Kalau sedang tidak fit? Migrain, masuk angin, hingga muntah-muntah. Yang terparah? Jatuh pingsan. Silakan tanya mereka yang sudah pernah (bersusah-payah) mengangkat saya. (Untung belum ada yang cukup tega untuk menggelindingkan saya!) Kalau sudah begini, tidak hanya saya yang rugi. Orang-orang sekitar ikutan repot. Belum lagi komentar-komentar yang sama sekali tidak membantu:
"Ternyata lo ringkih banget ya, badan gede gitu? Gimana pas puasa?"
Terima kasih banyak. Kayak bisa menyelesaikan masalah saya saja dengan komentar demikian.Berbeda dengan kakak dan adik saya, yang bisa tahan menunda makan tanpa kemungkinan bakal pingsan. Pas mereka makan banyak pun (dan bahkan kadang porsinya lebih banyak daripada porsi saya), mereka tidak mudah gemuk. Kenapa saya berbeda? Kenapa saya tidak bisa seperti mereka? Hmm, mungkin sama saja dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini:
"Kenapa kucing Angora lebih jigrak daripada kucing kampung?"
"Kenapa ada yang alergi udang sampai masuk UGD, sementara temannya tidak apa-apa?"
Saya tidak pernah mencoba seperti kakak dan adik saya. Saya hanya mencoba menjaga kesehatan tubuh dengan cara yang saya bisa. Kalau memang saatnya sudah lapar, sementara yang lain belum, ya saya makan duluan. Kalau misalnya sedang dalam situasi dimana sopan-santun diperlukan dan makan (mau tidak mau) harus menunggu orang lain (atau orang yang lebih tua), minimal saya akan berusaha menahan diri. Kata siapa orang gemuk makannya pasti barbar dan nggak kira-kira, sampai lupa tata-krama?
Kalau dibilang ringkih? Bodo amat! Baguslah bila secara fisik mereka memang lebih kuat daripada saya. Memangnya mereka mau tanggung-jawab bila mendadak saya ambruk lagi (duh, jangan sampai!) hanya gara-gara mengikuti jam makan mereka atas nama gengsi atau harga diri? Belum tentu juga, 'kan?
Sama halnya dengan ketahanan mental dan emosional.
Mungkin Anda tipe yang mudah terharu, baik saat membaca cerita atau menonton film sedih. Atau saat mendengarkan curhat seseorang. Sampai menangis? Mungkin saja. Kenapa tidak? Bukankah manusia lahir dengan kelenjar air mata?
Sayangnya, tidak seluruh dunia bisa (atau bahkan sudi) bersimpati atau berempati. Siap-siap saja mendengar komentar miring macam ini, terutama bila kebetulan Anda seorang lelaki:
"Ya, ampun. Baru gitu aja udah sensi. Cengeng banget sih, lu!"
"Kayak cewek aja. Dikit-dikit mewek!" (Ini bila Anda lelaki.)
Aduh.
Oke deh, kalau Anda merasa lebih kuat, tegar, dan tidak mudah menangis. Selamat, ye? Perlu dirayakan? Perlu pengakuan dari orang lain, bahkan sampai acara mem-bully?
Apakah Anda berharap semua orang akan selalu seperti itu, berusaha keras menyembunyikan perasaan - atau kalau bisa dingin, alias kayak tidak punya sama sekali? Yakin, Anda bakalan tahan sama mereka?
"Kalau tidak bisa bicara baik-baik atau tidak tahu harus ngomong apa, mendingan diam."
Ada kalanya, komentar kita tidak diperlukan - boro-boro diminta. Kita tidak perlu selalu setuju atau bahkan mengerti semuanya, tapi apa iya harus sampai pakai acara menghina segala? Untungnya dimana coba?
Padahal, menurut pengalaman saya selama ini, yang hobi 'bermulut besar' seperti ini justru malah yang sebenarnya menyembunyikan kelemahan mereka sendiri dengan menjatuhkan orang lain, apa lagi di depan umum. Bisa saja yang hobi mengatai Anda cengeng justru lebih cengeng, namun sok tegar. Celakanya, mereka juga hobi berharap agar selalu dimaklumi. Standar ganda gila sekali.
Celakanya, berhubung terlanjur mengaminkan perbedaan dalam hidup ini, suka tidak suka saya pun terpaksa menerima kenyataan bahwa tidak semua orang bisa atau mau menjaga mulut mereka. Kalau sampai keterlaluan? Hanya ada tiga pilihan: lawan, diamkan, atau doakan. Nah, yang terakhir ini bisa seram - tergantung seberapa sabar atau dendam Anda.
Ah, sudahlah...
R.
(Jakarta, 27 Februari 2016 - 12:30)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar