Setiap
orang pasti punya contoh nyata tentang stereotipe. Gara-gara contoh atau/dan
pengalaman orang lain, manusia cenderung menyamaratakan banyak hal. Contoh: pakem kuno Hollywood. Cewek pirang pasti
bodoh. Atlit pasti brengsek.
Apa
lagi? Oh, yang dipakai perempuan. (Nggak kaget lagi, ‘kan?) Perempuan dengan
rok pendek pasti pelacur atau sundal. Perempuan berhijab pasti pemalu, sopan,
konservatif...atau ekstremis. Seorang teroris. (Terima kasih kepada bentukan
opini a la media mainstream!)
Apapun
jenis kelamin, penampilan fisik, pakaian, preferensi seksual, agama, latar
belakang sosial, kelas sosial, tingkat pendidikan, dan bahkan pilihan pribadi
lainnya – manusia selalu punya pendapat tentang segala sesuatu. Tidak masalah
jika asumsi mereka (yang kadang agak bias) terbukti benar atau salah. Jujur
sajalah, kita semua punya kecenderungan seperti itu, bahkan yang (merasa) ‘berpikiran terbuka’. Hanya sebagian
dari kita yang masih cukup sopan (dan bijak) untuk menjaga mulut, bahkan atas
nama perdamaian, toleransi, dan untuk menjaga perasaan orang lain. Kadang bukan
masalah jika Anda (berpikir bahwa Anda) benar. Generalisasi secara ekstrim
cenderung mengarah pada penghakiman yang tajam dan keras, bahkan terhadap hal-hal
yang belum tentu Anda ketahui apalagi ingin Anda pahami. Bukannya kita harus
(dapat) memahami segala sesuatu; karena hal itu mustahil.
Hasil
akhirnya? Pastinya lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, yaitu berupa
kekerasan. Contohnya banyak dan tidak hanya kekerasan secara fisik. Salah
satunya adalah dengan memakai istilah ‘open-minded’
atau ‘berpikiran terbuka’ untuk
membuat diri sendiri merasa lebih superior dengan pilihan mereka dan membuat
yang lain merasa kecil, salah, dan ‘tidak
keren’ dengan pilihan pribadi mereka. Tapi sebenarnya, apa sih yang disebut
dengan ‘keterbukaan pikiran’ itu? Apa
yang membuat seseorang dianggap ‘berpikiran
terbuka’? Sampai sejauh mana seseorang harus melakukan sesuatu agar disebut
demikian?
Saya
mengerti bahwa kita tidak selalu sepaham. Celakanya, ada orang-orang yang
menggunakan istilah ‘open-minded’ atau
‘berpikiran terbuka’ untuk budaya
tertentu, sekaligus merendahkan budaya lainnya. Itukah yang disebut ‘berpikiran terbuka’?
Banyak
yang cenderung masih berpegang teguh pada ‘penilaian
stereotipe’ mereka akan segala sesuatu. Mengapa? Karena mereka merasa aman
sekaligus lebih unggul. Memang menyenangkan bila Anda (merasa) sudah tahu
segalanya, bahkan tanpa merasa perlu berinteraksi dengan mereka yang Anda
anggap berbeda.
Tentu
saja, mereka selalu punya argumen-argumen andalan saat didebat. “Gue cuma berpendapat” atau “Ini kenyataan!” adalah dua alasan
favorit mereka. Pada kenyataannya, opini mereka tidak selalu diminta.
Dan
tidak ada yang tahu semua sisi realita. Kebanyakan orang hanya melihat apa yang
ingin mereka lihat.
Menurut
saya, 'berpikiran terbuka' adalah
menerima perbedaan dalam damai. Tak perlulah saling berkomentar nyinyir atas
pilihan pribadi orang lain, terutama bila mereka tidak meminta dan Anda sendiri
juga tidak suka diperlakukan demikian. Sebagai contoh: agama adalah pilihan
pribadi. Tidak mau beragama? Ya, tidak perlu mengusik-usik mereka yang ingin
beragama, begitu pula sebaliknya.
Tidak
perlu membalas jika orang mempertanyakan, menghakimi, atau mengolok-olok
pilihan pribadi Anda. Jika mereka memilih untuk berhenti bergaul dengan Anda,
Anda akan menemukan teman-teman baru lainnya yang menerima Anda apa adanya.
Mengapa harus seperti mereka, jika Anda sudah lebih baik – dengan fokus pada
urusan pribadi Anda dan bicara seperlunya? Biarkan mereka ribut; cukup tutup
telinga Anda.
Ngomong-ngomong,
saat ingin menggunakan istilah 'berpikiran
terbuka' sementara menuduh orang lain kurang berpikiran terbuka hanya dari
pakaian mereka atau cara hidup mereka, pastikan Anda benar-benar tahu artinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar