Minggu, 27 Maret 2016

"TENTANG PEMIKIRAN ‘STEREOTIPE’ DAN ‘KETERBUKAAN-PIKIRAN’ “

Setiap orang pasti punya contoh nyata tentang stereotipe. Gara-gara contoh atau/dan pengalaman orang lain, manusia cenderung menyamaratakan banyak hal. Contoh: pakem kuno Hollywood. Cewek pirang pasti bodoh. Atlit pasti brengsek.

Apa lagi? Oh, yang dipakai perempuan. (Nggak kaget lagi, ‘kan?) Perempuan dengan rok pendek pasti pelacur atau sundal. Perempuan berhijab pasti pemalu, sopan, konservatif...atau ekstremis. Seorang teroris. (Terima kasih kepada bentukan opini a la media mainstream!)

 Apapun jenis kelamin, penampilan fisik, pakaian, preferensi seksual, agama, latar belakang sosial, kelas sosial, tingkat pendidikan, dan bahkan pilihan pribadi lainnya – manusia selalu punya pendapat tentang segala sesuatu. Tidak masalah jika asumsi mereka (yang kadang agak bias) terbukti benar atau salah. Jujur sajalah, kita semua punya kecenderungan seperti itu, bahkan yang (merasa) ‘berpikiran terbuka’. Hanya sebagian dari kita yang masih cukup sopan (dan bijak) untuk menjaga mulut, bahkan atas nama perdamaian, toleransi, dan untuk menjaga perasaan orang lain. Kadang bukan masalah jika Anda (berpikir bahwa Anda) benar. Generalisasi secara ekstrim cenderung mengarah pada penghakiman yang tajam dan keras, bahkan terhadap hal-hal yang belum tentu Anda ketahui apalagi ingin Anda pahami. Bukannya kita harus (dapat) memahami segala sesuatu; karena hal itu mustahil.

Hasil akhirnya? Pastinya lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, yaitu berupa kekerasan. Contohnya banyak dan tidak hanya kekerasan secara fisik. Salah satunya adalah dengan memakai istilah ‘open-minded’ atau ‘berpikiran terbuka’ untuk membuat diri sendiri merasa lebih superior dengan pilihan mereka dan membuat yang lain merasa kecil, salah, dan ‘tidak keren’ dengan pilihan pribadi mereka. Tapi sebenarnya, apa sih yang disebut dengan ‘keterbukaan pikiran’ itu? Apa yang membuat seseorang dianggap ‘berpikiran terbuka’? Sampai sejauh mana seseorang harus melakukan sesuatu agar disebut demikian?

Saya mengerti bahwa kita tidak selalu sepaham. Celakanya, ada orang-orang yang menggunakan istilah ‘open-minded’ atau ‘berpikiran terbuka’ untuk budaya tertentu, sekaligus merendahkan budaya lainnya. Itukah yang disebut ‘berpikiran terbuka’?

Banyak yang cenderung masih berpegang teguh pada ‘penilaian stereotipe’ mereka akan segala sesuatu. Mengapa? Karena mereka merasa aman sekaligus lebih unggul. Memang menyenangkan bila Anda (merasa) sudah tahu segalanya, bahkan tanpa merasa perlu berinteraksi dengan mereka yang Anda anggap berbeda.

Tentu saja, mereka selalu punya argumen-argumen andalan saat didebat. “Gue cuma berpendapat” atau “Ini kenyataan!” adalah dua alasan favorit mereka. Pada kenyataannya, opini mereka tidak selalu diminta.

Dan tidak ada yang tahu semua sisi realita. Kebanyakan orang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat.

Menurut saya, 'berpikiran terbuka' adalah menerima perbedaan dalam damai. Tak perlulah saling berkomentar nyinyir atas pilihan pribadi orang lain, terutama bila mereka tidak meminta dan Anda sendiri juga tidak suka diperlakukan demikian. Sebagai contoh: agama adalah pilihan pribadi. Tidak mau beragama? Ya, tidak perlu mengusik-usik mereka yang ingin beragama, begitu pula sebaliknya.

Tidak perlu membalas jika orang mempertanyakan, menghakimi, atau mengolok-olok pilihan pribadi Anda. Jika mereka memilih untuk berhenti bergaul dengan Anda, Anda akan menemukan teman-teman baru lainnya yang menerima Anda apa adanya. Mengapa harus seperti mereka, jika Anda sudah lebih baik – dengan fokus pada urusan pribadi Anda dan bicara seperlunya? Biarkan mereka ribut; cukup tutup telinga Anda.


Ngomong-ngomong, saat ingin menggunakan istilah 'berpikiran terbuka' sementara menuduh orang lain kurang berpikiran terbuka hanya dari pakaian mereka atau cara hidup mereka, pastikan Anda benar-benar tahu artinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar