Selasa, 29 Maret 2016

"TRANSPORTASI PUBLIK DI MATA PENGGUNA"

Mengapa saya sudah lama tidak naik angkot lagi? Selain tinggal di area yang tidak banyak angkot, saya juga tidak perlu memakainya. Kekurangan angkot: supirnya hobi ngetem sembarangan dan suka lama pula. Kasihan yang lagi terburu-buru dan takut telat.
Bagaimana dengan bus dan Trans-Jakarta? Mungkin masih ada yang suka mengejek: "Manja banget sih, lu!", "Dasar cemen!", atau yang lebih nyinyir lagi: "Pasti lu anak orang kaya, deh. Gak bisa panas-panasan dikit. Maunya yang enak dan nyaman terus." Lha, terus kenapa kalau memang benar? Logis dong, bila konsumen ingin pakai yang lebih nyaman dan menguntungkan buat mereka?
Jujur, saya lebih sering menggunakan Trans-Jakarta ketimbang bus biasa. Selain tidak perlu melihat pengamen bertato yang cenderung meminta uang dengan cara memaksa (apalagi sama penumpang perempuan), tidak begitu ada risiko telat ke tempat tujuan hanya gara-gara bus biasa supirnya kelamaan ngetem di sembarang tempat atau mendadak diturunkan di pinggir jalan, padahal belum sampai tujuan. (Alasannya ada saja.) Yang paling menyebalkan? Penumpang suka mendadak dioper ke bus lain, seringnya yang jauh lebih penuh daripada bus sebelumnya.
Sebelumnya, saya sudah pernah menulis tentang ojek pangkalan dengan ojek berbasis aplikasi, jadi bisa juga dibaca di sini: http://ruangbenakruby.blogspot.co.id/2015/06/pengalaman-buruk-menggunakan-jasa-ojek.html
Oke, banyak cerita, spekulasi, komentar, hingga cacian (terutama di social media) mengenai demo supir taksi konvensional kemarin sebagai protes terhadap kehadiran taksis berbasis aplikasi online yang dianggap mematikan bisnis usaha mereka. Seperti biasa, saya tidak bermaksud memihak. Kalau pun ya, saya hanya berpihak kepada pelanggan - karena saya salah satunya.
Saya juga tidak akan membahas perkara bisnis ilegal atau regulasi tidak jelas dalam persaingan usaha, karena memang bukan itu bagian saya.
Biar adil, saya akan berusaha seimbang saat bercerita. Supir taksi konvensional pernah ada yang berbaik hati mengembalikan dompet teman saya yang tertinggal di taksinya. (Tentunya setelah saya keukeuh melacak melalui customer service mereka.) Pernah juga mereka membantu saya mengangkut barang-barang, membangunkan saya yang tertidur di taksi saat tiba di tujuan, dan masih banyak lagi. Baik, ya?
Tapi, pernah juga ada supir yang menyebalkan. Bayangkan: beberapa kali waktu malam, saat mau pulang, saya sering ditolak supir taksi. (Waktu itu belum ada taksi berbasis aplikasi online.) Setiap kali menyebut Cipulir, respon mereka sama: "Macet, bu." Ada yang mukanya jutek, ada yang kelihatan ogah-ogahan, hingga...main kabur begitu saja.
Lalu, baru sekarang mereka protes dengan penumpang yang sudah terlanjur 'pindah ke lain taksi'. Tahu sendiri bagaimana rata-rata konsumen Indonesia. Jarang mengajukan protes, lebih banyak memendam, terus tahu-tahu cari yang lain saja. Giliran ada yang mengeluh, bagus bila ditanggapi dengan serius dan ada perbaikan dengan segera. Bila tidak? Salah-salah dicuekin, dianggap konsumen bawel, hingga...disomasi. (Masih ingat Prita Mulyasari, 'kan?)
Pernah juga saya diusili supir taksi soal berat badan dan status menikah. Yang begini tentu saja langsung saya laporkan segera ke bagian customer service. Bikin penumpang perempuan tidak nyaman! Ada juga teman saya (perempuan juga) yang pernah ketakutan setengah mati gara-gara dirayu supir taksi. Sudah ditanya-tanya terus soal pribadi, diminta nomor HP, sampai sempat tidak boleh keluar dari taksi gara-gara menolak dijemput setelah urusan teman di tempat tujuan selesai. (Asli, pintunya sampai dikunci!) Seram, 'kan? Meski mungkin niat si supir hanya bercanda, tetap tidak lucu dan sangat tidak profesional. Teman saya sempat trauma tidak mau naik taksi lagi untuk waktu yang cukup lama, apalagi sendirian.
Saya memang bukan pelanggan taksi berbasis aplikasi online. Namun, sebagai sesama pengguna transpor publik, saya bisa mengerti alasan mereka memilih taksi berbasis aplikasi online. Mungkin yang punya bisnis kurang atau lalai dalam mengurus perizinan yang ada. Memang penurunan tarif terkesan kejam dan tidak adil. Namun, faktanya adalah mereka telah menjawab kebutuhan pelanggan. Yang telah dilihat pelanggan di depan mata adalah yang mereka ingat. Mau memaksa, apalagi sampai mengancam, meneror, dan membuat keributan juga percuma. Yang ada malah makin menambah antipati mereka saja. Apalagi, reputasi bagus tidak hanya dibangun dalam semalam...
R.
(Jakarta, 22 Maret, 2016 - 7:30)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar