Baru-baru ini saya membaca status salah seorang teman yang tengah mengandung. Bukannya minta dikasihani atau apa, tetapi dia pernah menggunakan bus Trans-Jakarta dimana tak seorang penumpang muda dan sehat walafiat pun seperti sudi memberinya tempat duduk.
Ada petugas yang membantu dengan menegur salah satu penumpang lelaki agar merelakan kursinya untuk teman saya? Waktu itu tidak. Para penumpang bahkan seperti pura-pura tidak melihat teman saya.
Akhirnya, seorang bapak yang sudah cukup berumur mengalah dan memberi teman saya tempat duduk - setelah teman saya berdiri cukup lama.
Masih banyak cerita lainnya, mulai dari keengganan pengguna untuk mengantri, hingga saling serobot yang berpotensi menimbulkan korban cedera dan pingsan. (Bahkan, sering saya melihat sendiri - orang-orang yang 'katanya' dewasa itu tidak peduli saat seorang anak kecil tergencet di antara mereka hingga menangis kesakitan dan ketakutan. Mungkin mentang-mentang bukan anak mereka!)
Beberapa kali saya juga pernah didorong sampai jatuh, bahkan saat jelas-jelas saya tengah membawa tas berat. Apa pelakunya pernah berhenti untuk membantu saya berdiri - atau minimal minta maaf? Tidak pernah. Malah mereka lebih banyak pura-pura tidak tahu, seakan-akan saya yang kikuk dan tersandung sendiri.
Di tengah-tengah aksi saling serobot dan sesaknya bus Trans-Jakarta oleh jumlah penumpang melebihi kapasitas, selalu ada yang 'aji mumpung'. Entah mencopet atau melecehkan.
Yang terparah baru-baru ini, saat seorang penumpang perempuan pingsan karena sesak napas akibat tergencet penumpang lainnya. Bukannya ditolong, malah dilecehkan - sama empat petugas Trans-Jakarta. Celakanya, mereka malah bebas dengan uang jaminan. Apa kabar keadilan?
Jujur, saya tidak puas. Seharusnya selain ditangkap dan dipenjarakan minimal lima tahun, mereka juga dipecat dan tidak diberikan rekomendasi kemana-mana. (Bahkan, kalau perlu semua identitas mereka dioper ke semua HRD perusahaan dengan peringatan agar tidak mempekerjakan mereka.) Selain itu, boleh juga memakai media agar memasang foto dan identitas mereka. Biar kapok sekapok-kapoknya, sekalian PERINGATAN KERAS bagi yang lainnya agar harap berpikir ribuan kali sebelum melakukan tindakan tercela dan menjijikan tersebut.
Terlalu sadis? Bagaimana, ya? Sepertinya tidak ada perangkat hukum yang bisa membuat efek jera pelaku kejahatan menjijikan seperti ini. Entah kenapa, selalu ada yang mencari 'celah' untuk melanggar peraturan.
Wahai, warga ibukota. Ada apa dengan kita semua? Apakah apatisme telah begitu menumpulkan rasa, hingga tak lagi peduli sesama?
Entahlah. Yang saya rasakan akhir-akhir ini mungkin sama dengan Anda: Trans-Jakarta tak lagi seaman dan senyaman dulu. Tak hanya dari sesama penumpang, sekarang kita pun jadi curiga dan was-was terhadap petugasnya. Mau dibuat bus terpisah untuk perempuan juga belum tentu menyelesaikan masalah, selama belum pernah ada ganjaran setimpal yang membuat pelakunya jera.
Semoga saya tidak disomasi gara-gara tulisan ini, karena saya menulis atas dasar prihatin - sebagai perempuan, sesama pengguna transportasi publik, sekaligus penduduk...
R.
(Jakarta, 24 Januari 2014)
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2014/01/27/5/211040/Petugas-Busway-Pelaku-Pelecehan-Seksual-Lolos-Jerat-Penjara
Rabu, 29 Januari 2014
"TAHU APA KAU?"
Kau bilang aku bukan perempuan.
Perempuan 'sejati' tidak blak-blakan.
Dia (harus senantiasa) lembut hati.
Dia (harus) sopan dan tidak bikin ngeri.
Kau bilang aku bukan perempuan normal.
Perempuan 'normal' harusnya tidak mudah kesal.
Selalu mendengar dan menerima,
tanpa banyak tanya.
Kau meminta terlalu banyak
dari perempuan yang merasa muak.
Semua harus sesuai maumu.
Perasaannya pun kau tak mau tahu.
Kau ingin aku (tetap) selalu kemayu
di dunia yang tak lagi lugu.
Terkadang aku terpaksa bersikap keras
di dunia yang kian mengganas.
Ah, kau memang tidak pernah tahu rasanya.
Kau hanya banyak mulut dan menuntut tanpa kira-kira...
R.
(Jakarta, 23 Januari 2014)
Perempuan 'sejati' tidak blak-blakan.
Dia (harus senantiasa) lembut hati.
Dia (harus) sopan dan tidak bikin ngeri.
Kau bilang aku bukan perempuan normal.
Perempuan 'normal' harusnya tidak mudah kesal.
Selalu mendengar dan menerima,
tanpa banyak tanya.
Kau meminta terlalu banyak
dari perempuan yang merasa muak.
Semua harus sesuai maumu.
Perasaannya pun kau tak mau tahu.
Kau ingin aku (tetap) selalu kemayu
di dunia yang tak lagi lugu.
Terkadang aku terpaksa bersikap keras
di dunia yang kian mengganas.
Ah, kau memang tidak pernah tahu rasanya.
Kau hanya banyak mulut dan menuntut tanpa kira-kira...
R.
(Jakarta, 23 Januari 2014)
Selasa, 28 Januari 2014
"MAUT SEBAGAI PENGINGAT AKAN RAPUHNYA HIDUP"
Bagi
yang mengenal saya mungkin akan memaklumi tulisan ini, mengingat ayahanda
berpulang 19 Januari 2014 kemarin setelah lima tahun berperang dengan stroke-nya.
Alkisah, salah seorang murid kursus
saya yang masih remaja perempuan pernah curhat. Sebenarnya dia telah
mendapatkan beasiswa di sebuah universitas luar negeri yang sangat dia
inginkan. Sayang, ayahnya melarang. Saya tanya: “Kenapa?”
“Karena kata ayah saya anak
perempuan.”
Jujur, jawaban itu terdengar begitu
pedih. Saya melihat sosok muda yang patah hati di hadapan saya dengan perasaan
sesak dan geram luar biasa. Amat menyakitkan, terutama di zaman sekarang. Lain
cerita bila alasannya berupa kendala biaya atau semacamnya.
Belum selesai membaca ini, mungkin
ada yang sudah menuduh saya terlalu menghakimi. Saya tahu apa, sih? Saya belum
pernah jadi orang tua. Saya hanya tahunya jadi anak yang kadang (terlalu)
banyak meminta tanpa pernah (benar-benar) memberi. Tuduhan biasa.
Jika Anda juga menganggap tulisan
ini omong-kosong yang menyudutkan kaum lelaki, silakan berhenti membaca. Saya
takkan memaksa. Mungkin ada juga yang ekstrim menganggap saya ‘feminis’ (tentu dengan nada SINIS.)
Mungkin juga ada yang menuduh saya kelewat kritis, tapi biasanya ini datang
dari mereka yang tidak siap atau enggan berargumen secara dewasa – berharap saya
diam dan menerima semuanya tanpa banyak tanya.
Pertama-tama, saya tidak membenci
atau (sok) tidak butuh lelaki. Saya juga tidak membenarkan perempuan yang
menjadi sombong akibat level pendidikan tinggi dan karir sukses hingga
menyepelekan suami. Ya, sama seperti saya juga tidak suka tuduhan paranoid
lelaki bahwa semua perempuan yang lebih sukses dari mereka pasti akan jumawa
dan menginjak-injak (harga diri) lelaki. Ayolah, berbesar hatilah sedikit.
Tidak semua perempuan seperti itu – dan saya yakin masih banyak lelaki baik dan
besar hati di luar sana.
Justru saya malah curiga – dan was-was
– dengan lelaki paranoid yang beranggapan demikian tentang sosok perempuan
sukses dan mandiri. Jangan-jangan mereka terbiasa menindas perempuan atau orang
lain, mentang-mentang (merasa) ‘di atas
angin’.
Bukan itu masalahnya. Yang ingin
saya tekankan di sini: hidup ini rapuh.
Kita semua saling membutuhkan. Bolehlah Anda masih percaya dengan pakem lama “pada dasarnya, perempuan mahluk lemah yang
selalu ingin dilindungi lelaki.” Terserah bila Anda masih percaya bahwa
lelaki akan selalu ada dan kuat perkasa melindungi perempuan-nya. Istri dilarang
kerja di luar rumah dengan alasan semua sudah Anda cukupi. (Padahal, setiap
manusia butuh berkegiatan dan bersosialisasi dengan orang lain.) Anak perempuan
(dianggap) tak perlu punya ambisi tinggi: kuliah di luar negeri dan punya karir
bagus, karena pada akhirnya hidupnya akan dibiayai suami. Apa lagi yang mereka
cari?
Percayalah, saya tidak meragukan
niat mulia seorang lelaki yang ingin melindungi perempuan dengan cara apa pun,
seperti pangeran melindungi sang putri dalam cerita dongeng. Kabar buruknya: semua bisa terjadi di dunia nyata. Anda
tak selalu (bisa) jadi pangeran yang melindungi sang putri. Percayalah, bukan
niat saya menakut-nakuti.
Apa yang terjadi jika tiba-tiba Anda
kecelakaan atau sakit berat hingga tidak bisa bekerja lagi? Bagaimana menafkahi
anak-istri? Asuransi? Mungkin, tapi untuk berapa lama? Pada akhirnya, semua
simpanan akan habis tanpa sisa. Hidup harus terus berlanjut. Setelah itu mau
hidup dengan apa? Ego dan harga diri belaka?
Apa yang bisa Anda lakukan bila maut
tiba-tiba mengambil Anda duluan, meninggalkan istri yang nihil pengalaman kerja
(akibat Anda larang-larang dulu), simpanan tak seberapa, dan anak perempuan
yang level pendidikannya belum tentu cukup untuk mendapatkan pekerjaan mapan?
Iya kalau (masih) ada anak lelaki yang bisa diandalkan – dalam hal ini cukup
umur untuk bekerja sebagai pencari nafkah dan bertanggung-jawab.
Kalau tidak? Masa depan macam apa
yang Anda inginkan untuk perempuan-perempuan yang (katanya) Anda cintai, namun
Anda buat selalu tergantung pada Anda?
Berpikir positif saja tidak cukup.
Mengharap belas kasihan dari orang lain juga bukan jalan terbaik. Pada
akhirnya, semua manusia harus berusaha bertahan hidup dan belajar menjaga
dirinya sendiri. Ini tidak berarti sama dengan sikap egois.
Memang, kadang butuh tragedi untuk
memahami.
Almarhum ayahanda adalah salah satu
lelaki terbaik yang pernah mengajarkan saya arti kemandirian. Beliau kehilangan
kakek dan paman saya di usia begitu muda, sehingga nenek saya harus menjadi
orang tua tunggal. Karena itulah ayahanda mengidolakan sosok perempuan tangguh,
cerdas, dan tidak mau (terlalu) tergantung pada orang lain.
Saya percaya masih banyak lelaki
baik di luar sana yang menghargai perempuan sebagai individu utuh, bukan
sekedar ‘pelengkap’ hidupnya. Yang
tidak (mudah) merasa minder dan terancam saat istri ternyata lebih sukses, baik
dari segi karir maupun pergaulan sosial. (Bukankah pasangan harusnya saling
mendukung?) Yang tidak hanya menyayangi anak-anaknya dan menjaga mereka, tapi
juga mengajarkan mereka akan arti kemandirian dan agar senantiasa mampu menjaga
diri mereka – terutama saat Anda tak ada.
R.
(Jakarta, 21 Januari 2014)
"HORMAT SAMA KAMU?"
Tiada
hormat kau dapat
dengan
meneror sesama.
Takut
dari mereka
kebanggaan
kosong belaka.
Kau
mengaku hormati sesama.
Mengapa
aib mereka terus kau buka-buka?
Celotehmu
bikin panas telinga.
Tulisanmu
menyakitkan mata.
Rasa
hormat sang keparat
serusak
besi berkarat.
Bagai
moral perlahan melarat
hingga
semua terlambat.
Wahai,
sosok munafik luar biasa!
Tak
perlu aku jadi terhormat versimu.
Aku
tahu cara menghargai diriku.
Tak
perlu berlagak paling tahu dan sempurna!
R.
(Jakarta,
21 Januari 2014)
Senin, 27 Januari 2014
"CARA MUDAH MENGHADAPI ONLINE BULLY (INSYA ALLAH BEBAS DRAMA!) "
Oke, ini masih seputar media sosial dan etika berselancar di dunia maya. Saya yakin saya bukan penulis pertama dan satu-satunya yang menyinggung soal 'wabah' sosial yang mengkhawatirkan ini.
Dan maaf, saya tidak hanya menyinggung pengguna media sosial dan lainnya di internet yang dari Indonesia. Pada dasarnya, manusia punya dua kecenderungan serupa: memuji atau mencela. Tentu saja, rentan jadi masalah saat manusia kebablasan melakukan satu atau keduanya. Memuji secara berlebihan, hingga lama-lama tidak terdengar obyektif atau - lebih parah - terasa palsu, alias tidak tulus atau munafik. Mencela dengan semena-mena alias suka-suka, hingga keluar dari konteks masalah sebenarnya atau merepet kemana-mana juga masuk kategori 'enggak banget'. Selain itu, mau Anda benar atau salah, pastinya melakukan itu juga bikin hati orang lain terluka.
Akhir-akhir ini makin banyak keluhan seputar 'online bullying'. Seorang musisi lokal baru-baru ini diwawancarai sebuah stasiun radio ibukota. Mengenai penggunaan media sosial, beliau berpendapat bahwa - masyarakat Indonesia sebenarnya banyak yang belum siap secara mental. Apa pasal? Luapan emosi membuat pemilik akun cenderung melupakan tata bahasa dan tata-krama saat menulis. Niatnya beropini malah terkesan memaki. Ada juga yang pada dasarnya memang penyuka drama, hingga tak peduli lagi mana (beneran) opini atau (sekedar asal) memaki.
Terlepas dari yang tengah dan telah terjadi, ada cara mudah menghadapi 'online bully' tanpa perlu memperkeruh 'suasana' (misalnya menempuh jalur hukum yang membuat Anda harus mengeluarkan banyak biaya demi membayar pengacara atau saling serang lewat media sosial macam 'twit-war') :
1.Kendalikan emosi Anda.
Tarik napas dalam-dalam dan baca doa sebelum memutuskan untuk mengetik sesuatu saat emosi Anda sedang tidak stabil, apa pun penyebabnya. Kalau perlu, jangan mengetik apa-apa alias jalan-jalan dulu menghirup udara di tempat terbuka. (Semoga daerah sekitar Anda tidak berpolusi, ya!) Setelah tenang, insya Allah Anda tidak mudah tersakiti oleh ucapan/tulisan siapa-siapa - atau perlu menyakiti siapa-siapa. Sayangi jiwa dan tubuh Anda dengan tidak menghirup 'racun kebencian' atau pun menebarnya. Kata orang umur bisa lebih panjang dan hidup lebih bahagia.
2.Tanyakan pada diri sendiri: "APAKAH ANDA SEORANG BULLY?"
Langkah tersulit selalu berupa introspeksi diri. Mungkin niat Anda baik, hanya menegur (seperti aktris Olivia Wilde saat menegur penyanyi Justin Bieber yang selalu terlihat bertelanjang dada di foto-fotonya, yang buntutnya berbalas hujan makian dari fans Bieber ke akun Wilde.) Apakah bahasa yang dipilih tidak berpotensi bikin mata dan hati pembaca 'panas'? (Ingat, berkata jujur tidak sama dengan lupa tata-krama dan tidak perlu menjaga perasaan orang lain!)
Sebelumnya, apakah Anda merasa perlu berkomentar? Apakah yang akan dikomentari berkaitan dengan Anda - atau memberi pengaruh buruk pada hidup Anda? Apakah komentar Anda akan membawa manfaat? Siapkah Anda dengan resikonya, seperti dicap negatif atau reaksi mereka yang tidak berkenan atas komentar Anda - apalagi bila komentar itu datang tanpa diminta?
Apakah Anda merasa jumlah teman Anda - baik di dunia maya dan bahkan di dunia nyata - lama-lama berkurang? Di-unfollow, unshare, mute, unfriend, hingga diblokir?? Benarkah selalu hanya karena mereka bukan teman sejati, yang enggan menerima Anda apa adanya?
Jika Anda tahu persis (sambil membandingkan dengan opini orang-orang terdekat dan terpercaya) jawaban-jawaban semua pertanyaan di atas, insya Allah Anda tahu langkah selanjutnya.
Apakah Anda pernah menyakiti orang lain dan tidak merasa menyesal - atau bahkan senang - telah melakukannya? Jika ya, ada kemungkinan besar Anda (berbakat jadi) seorang bully.
Untuk hal ini, pilihan ada di tangan Anda. Mau mulai belajar menahan diri atau terus berbuat sesuka hati? Mau belajar (lebih) bijak dalam memilih mana yang perlu diperhatikan dan tidak (terlalu) peduli sama yang patut diabaikan? Mau merasa selalu (paling) benar sendiri?
Seperti biasa, terserah Anda.
3.Tanyakan lagi pada diri sendiri: "APAKAH ANDA KORBAN BULLY (ATAU SETIDAKNYA MERASA)?"
Ada sosok yang jadi terkenal akibat menjadi 'bully' di dunia maya. (Tahu kan, siapa? Sudahlah, lagi-lagi tidak perlu menyebut namanya. Macam Voldermort saja!) Dia semakin terkenal bukan karena bakat atau prestasi yang dia jual.
Dia terkenal karena mayoritas korbannya bereaksi terhadap semua 'kicauan' sumbangnya di media sosial. Semakin ditanggapi, semakin dia menjadi. (Harap maklum, mungkin dia pikir hanya itu satu-satunya jalan agar makin diperhatikan orang dan menjadi selebriti, hihihi!)
Cara menghadapi sosok macam dia? Mungkin Anda bisa mencontoh salah satu jurnalis TV lokal yang pernah mewawancarainya di TV, lalu berikutnya dihina-hina lewat media sosial oleh si narasumber 'haus perhatian' itu. Tidak peduli dan tidak menanggapi. Move on. Sosok itu boleh mengatainya apa saja, namun sang jurnalis yang cerdas nan elegan lebih memilih memperhatikan yang penting-penting saja. Mudah sekali, bukan?
Kalau sudah tidak tahan lagi, Anda juga bisa memilih 'menyingkirkan' si 'bully' dari daftar pertemanan Anda di dunia maya (sekaligus dunia nyata, terutama bila sudah masuk taraf membahayakan hidup Anda!) Anda berhak, kok. Bukan tindakan jahat bila orang itu lebih banyak menyakiti hati Anda. Untuk apa Anda pertahankan mereka? Anda berhak bahagia dan hidup bebas drama (apalagi yang tidak penting.)
Bayangkan, apa jadinya bila semua korban 'online bullying' memutuskan untuk kompak bersikap cuek atau memblokir akun si 'bully' sekalian? Mungkin dia akan panik dan kehilangan penonton dan gagal jadi selebriti instan. Mungkin juga dia akan membuat akun baru dan mengulangi pola lama. Bisa dan biar saja.
Intinya, Anda bisa memilih tidak membaca yang tidak Anda suka. Lain cerita bila Anda memang penikmat drama dan memilih hidup dengan 'huru-hara' tak berguna.
R.
(Jakarta, 17 Januari 2014)
Dan maaf, saya tidak hanya menyinggung pengguna media sosial dan lainnya di internet yang dari Indonesia. Pada dasarnya, manusia punya dua kecenderungan serupa: memuji atau mencela. Tentu saja, rentan jadi masalah saat manusia kebablasan melakukan satu atau keduanya. Memuji secara berlebihan, hingga lama-lama tidak terdengar obyektif atau - lebih parah - terasa palsu, alias tidak tulus atau munafik. Mencela dengan semena-mena alias suka-suka, hingga keluar dari konteks masalah sebenarnya atau merepet kemana-mana juga masuk kategori 'enggak banget'. Selain itu, mau Anda benar atau salah, pastinya melakukan itu juga bikin hati orang lain terluka.
Akhir-akhir ini makin banyak keluhan seputar 'online bullying'. Seorang musisi lokal baru-baru ini diwawancarai sebuah stasiun radio ibukota. Mengenai penggunaan media sosial, beliau berpendapat bahwa - masyarakat Indonesia sebenarnya banyak yang belum siap secara mental. Apa pasal? Luapan emosi membuat pemilik akun cenderung melupakan tata bahasa dan tata-krama saat menulis. Niatnya beropini malah terkesan memaki. Ada juga yang pada dasarnya memang penyuka drama, hingga tak peduli lagi mana (beneran) opini atau (sekedar asal) memaki.
Terlepas dari yang tengah dan telah terjadi, ada cara mudah menghadapi 'online bully' tanpa perlu memperkeruh 'suasana' (misalnya menempuh jalur hukum yang membuat Anda harus mengeluarkan banyak biaya demi membayar pengacara atau saling serang lewat media sosial macam 'twit-war') :
1.Kendalikan emosi Anda.
Tarik napas dalam-dalam dan baca doa sebelum memutuskan untuk mengetik sesuatu saat emosi Anda sedang tidak stabil, apa pun penyebabnya. Kalau perlu, jangan mengetik apa-apa alias jalan-jalan dulu menghirup udara di tempat terbuka. (Semoga daerah sekitar Anda tidak berpolusi, ya!) Setelah tenang, insya Allah Anda tidak mudah tersakiti oleh ucapan/tulisan siapa-siapa - atau perlu menyakiti siapa-siapa. Sayangi jiwa dan tubuh Anda dengan tidak menghirup 'racun kebencian' atau pun menebarnya. Kata orang umur bisa lebih panjang dan hidup lebih bahagia.
2.Tanyakan pada diri sendiri: "APAKAH ANDA SEORANG BULLY?"
Langkah tersulit selalu berupa introspeksi diri. Mungkin niat Anda baik, hanya menegur (seperti aktris Olivia Wilde saat menegur penyanyi Justin Bieber yang selalu terlihat bertelanjang dada di foto-fotonya, yang buntutnya berbalas hujan makian dari fans Bieber ke akun Wilde.) Apakah bahasa yang dipilih tidak berpotensi bikin mata dan hati pembaca 'panas'? (Ingat, berkata jujur tidak sama dengan lupa tata-krama dan tidak perlu menjaga perasaan orang lain!)
Sebelumnya, apakah Anda merasa perlu berkomentar? Apakah yang akan dikomentari berkaitan dengan Anda - atau memberi pengaruh buruk pada hidup Anda? Apakah komentar Anda akan membawa manfaat? Siapkah Anda dengan resikonya, seperti dicap negatif atau reaksi mereka yang tidak berkenan atas komentar Anda - apalagi bila komentar itu datang tanpa diminta?
Apakah Anda merasa jumlah teman Anda - baik di dunia maya dan bahkan di dunia nyata - lama-lama berkurang? Di-unfollow, unshare, mute, unfriend, hingga diblokir?? Benarkah selalu hanya karena mereka bukan teman sejati, yang enggan menerima Anda apa adanya?
Jika Anda tahu persis (sambil membandingkan dengan opini orang-orang terdekat dan terpercaya) jawaban-jawaban semua pertanyaan di atas, insya Allah Anda tahu langkah selanjutnya.
Apakah Anda pernah menyakiti orang lain dan tidak merasa menyesal - atau bahkan senang - telah melakukannya? Jika ya, ada kemungkinan besar Anda (berbakat jadi) seorang bully.
Untuk hal ini, pilihan ada di tangan Anda. Mau mulai belajar menahan diri atau terus berbuat sesuka hati? Mau belajar (lebih) bijak dalam memilih mana yang perlu diperhatikan dan tidak (terlalu) peduli sama yang patut diabaikan? Mau merasa selalu (paling) benar sendiri?
Seperti biasa, terserah Anda.
3.Tanyakan lagi pada diri sendiri: "APAKAH ANDA KORBAN BULLY (ATAU SETIDAKNYA MERASA)?"
Ada sosok yang jadi terkenal akibat menjadi 'bully' di dunia maya. (Tahu kan, siapa? Sudahlah, lagi-lagi tidak perlu menyebut namanya. Macam Voldermort saja!) Dia semakin terkenal bukan karena bakat atau prestasi yang dia jual.
Dia terkenal karena mayoritas korbannya bereaksi terhadap semua 'kicauan' sumbangnya di media sosial. Semakin ditanggapi, semakin dia menjadi. (Harap maklum, mungkin dia pikir hanya itu satu-satunya jalan agar makin diperhatikan orang dan menjadi selebriti, hihihi!)
Cara menghadapi sosok macam dia? Mungkin Anda bisa mencontoh salah satu jurnalis TV lokal yang pernah mewawancarainya di TV, lalu berikutnya dihina-hina lewat media sosial oleh si narasumber 'haus perhatian' itu. Tidak peduli dan tidak menanggapi. Move on. Sosok itu boleh mengatainya apa saja, namun sang jurnalis yang cerdas nan elegan lebih memilih memperhatikan yang penting-penting saja. Mudah sekali, bukan?
Kalau sudah tidak tahan lagi, Anda juga bisa memilih 'menyingkirkan' si 'bully' dari daftar pertemanan Anda di dunia maya (sekaligus dunia nyata, terutama bila sudah masuk taraf membahayakan hidup Anda!) Anda berhak, kok. Bukan tindakan jahat bila orang itu lebih banyak menyakiti hati Anda. Untuk apa Anda pertahankan mereka? Anda berhak bahagia dan hidup bebas drama (apalagi yang tidak penting.)
Bayangkan, apa jadinya bila semua korban 'online bullying' memutuskan untuk kompak bersikap cuek atau memblokir akun si 'bully' sekalian? Mungkin dia akan panik dan kehilangan penonton dan gagal jadi selebriti instan. Mungkin juga dia akan membuat akun baru dan mengulangi pola lama. Bisa dan biar saja.
Intinya, Anda bisa memilih tidak membaca yang tidak Anda suka. Lain cerita bila Anda memang penikmat drama dan memilih hidup dengan 'huru-hara' tak berguna.
R.
(Jakarta, 17 Januari 2014)
"SESAAT DI ALAM RAYA MIMPI"
Senja kali ini buatku terlelap.
Hujan datangkan dingin menyergap.
Kemana jiwa ini mengembara?
Dunia mimpi seluas alam raya.
Ada apa di sana?
Apa saja tersedia.
Untuk sesaat, kau bisa jadi putri raja.
Semua tinggal minta.
Sejuk, damai, tidak diganggu siapa-siapa.
Terbebas lelahnya tuntutan dunia.
Andai berlangsung selamanya,
akankah ada bahagia?
Senja berakhir, saatnya kembali.
Saatnya sadar dan kembali menjejak di bumi.
Selamat tinggal, alam raya mimpi.
Semoga kita bisa berjumpa lagi!
R.
(Jakarta, 16 Januari 2014)
Hujan datangkan dingin menyergap.
Kemana jiwa ini mengembara?
Dunia mimpi seluas alam raya.
Ada apa di sana?
Apa saja tersedia.
Untuk sesaat, kau bisa jadi putri raja.
Semua tinggal minta.
Sejuk, damai, tidak diganggu siapa-siapa.
Terbebas lelahnya tuntutan dunia.
Andai berlangsung selamanya,
akankah ada bahagia?
Senja berakhir, saatnya kembali.
Saatnya sadar dan kembali menjejak di bumi.
Selamat tinggal, alam raya mimpi.
Semoga kita bisa berjumpa lagi!
R.
(Jakarta, 16 Januari 2014)
Selasa, 14 Januari 2014
"TERIMA KASIH, LEMAK!"
Mungkin
banyak yang merasa aneh dengan judul tulisan ini. Mungkin Anda juga menganggap
saya gila, depresi, atau semacamnya.
Ya, terutama bila Anda menganggap
penampilan fisik/luar yang sempurna (entah
versi siapa) bagi perempuan adalah segalanya. Dengan kata lain, pokoknya
harus kurus dulu baru dibilang cantik. Yang lain nggak masuk hitungan.
Kira-kira seperti standar kecantikan a la media massa yang tidak henti-hentinya
dipromosikan.
Apakah Anda termasuk yang percaya
dan menganut paham demikian? Sah-sah saja. Semua terserah Anda!
“Terima
kasih, lemak!” Kenapa? Apakah saya tengah bersarkasme? Apakah saya tengah
menyangkal realita?
Apakah saya sedang menyerah dari
perjuangan menjadi lebih sehat? (Nggak perlu kurus banget lah! Selain nggak
bakat dan nggak tertarik jadi supermodel, saya juga dari keluarga dengan gen
tulang besar, hahaha!)
Apakah saya tengah melegitimasi hak
asasi manusia untuk gemuk, tetap gemuk, dan tidak perlu berjuang menurunkan
berat badan? Apakah saya sedang berseru kepada dunia: “It’s okay to be FAT”?
Jika Anda termasuk pemikir ‘sederhana’ (mohon maaf, tanpa bermaksud
menghina), silakan berpikir demikian. Saya tidak akan memaksa Anda mengubah
pendirian, apalagi sekedar memperluas ‘cakrawala’
di benak Anda.
Sebagai minoritas di keluarga
ramping (bukan kurus!), stigma sosial yang melekat pada orang gemuk sangat
menyakitkan. Rakus. Hanya memikirkan
makanan. Bukan pilihan pertama dalam ajang bernama ‘PACARAN’. (Bahkan ada
yang terang-terangan mengingatkan saya: “Wajar
saja, lelaki mahluk visual.” Anda sepakat?)
Lebih parah lagi, sosok dengan
ekstra lemak seringkali dibanding-bandingkan dengan orang lain. “Kakakmu kurus. Kok kamu gendut?”
Ibaratnya, mereka bertanya kenapa harimau besar dan kucing kecil. Entahlah.
Mungkin mereka kurang kerjaan, hingga merasa penting mengurusi hidup orang
lain.
Mau marah juga percuma. Alasan
mereka pasti macam-macam. Karena peduli (meski maaf, seringkali caranya kurang
tepat.) Ada juga yang menuduh si gemuk tidak tahu terima kasih karena telah
diingatkan dan dinasehati...berulang-kali. (Padahal, belum tentu nasehat itu
diminta, apalagi bila disampaikan berulang-ulang – hingga yang mendengar merasa
seperti dikejar-kejar hutang. Hutang sama siapa?)
Paling standar komentar: “Ah, sensitif banget sih, lo!” (Seolah-olah
si gemuk memang pantas menerima semua komentar jelek tentang berat badannya dan
tidak berhak marah sama sekali.) Ada juga yang buru-buru meralat: “Ah, kita kan hanya bercanda!” (Ha-ha,
lucu sekali! Bayangkan Anda disuguhi lelucon sama berkali-kali. Masih
sanggupkah Anda tertawa?)
Saya tahu saya juga takkan (sudi)
mempertahankan ekstra lemak di tubuh saya, apalagi menambahnya. (Hiiih, jangan sampai, deh!) Ngapain?
Sayang sekali, prosesnya juga tidak
sebentar. (Dulu saya butuh dua tahun untuk menyingkirkan dua puluh kilogram
dari badan saya. Celakanya, mereka yang terbiasa melihat saya gemuk malah
menyangka saya sakit atau menderita anoreksia. Ck, ck, ck, manusia selalu
senang berkomentar!) Mohon maaf, kita tidak sedang membahas cara membuat mie
instan di sini. Kalau Anda tidak sabar, sebaiknya jangan banyak komentar.
Kecuali...yah, Anda pernah gemuk dan tahu cara instan menurunkan berat badan
tanpa membahayakan kesehatan – apalagi sampai berpotensi menghilangkan nyawa!
Amit-amit.
Intinya, berkat ekstra lemak, saya
jadi tahu mana yang ‘kawan’ (sungguhan)
dan mana ‘frenemy’ (ngakunya teman
tapi suka mem-bully! Idih.) Saya tahu
siapa yang perlu saya dengarkan dan saya abaikan.
Saya juga tahu mana yang benar-benar
peduli (“Aku takut kamu kena diabetes
seperti tanteku!”) dan mana yang sekedar usil (“Kamu kok, jadi makin kegendutan aja, sih?” Halo, sejak kapan berat
badan saya menjadi masalah besar bagi Anda? Kecuali Anda sutradara dan saya
aktris yang – harusnya – memerankan tokoh kurus!)
Is
it okay to be fat? Yang oke adalah sehat, terlepas ukuran badan Anda.
(Untuk yang ini, silakan berkonsultasi pada dokter langganan dan banyak membaca
referensi kesehatan.) Yang memuakkan adalah saat berat badan ekstra jadi alasan
pembenaran akan ‘social bullying’.
Apalagi bila pelaku bullying sudah
masuk kategori orang dewasa. (Halo, nggak malu sama umur, ya?)
Sayangnya, menghapus praktek ‘bullying’ dari muka bumi sama sulitnya
dengan menghapus korupsi di negeri ini. Saya hanya berusaha tidak peduli dan
fokus sama tujuan hidup sendiri. Kalau pun suatu saat saya bisa langsing lagi (amin!), toh itu pun saya lakukan buat
diri sendiri – bukan Anda, orang lain, atau siapa pun. Ngapain? Memangnya saya
hidup hanya untuk memanjakan mata orang lain?
Sekali lagi, saya berterima kasih
pada lemak. Tentu saja, lemak ekstra juga tidak boleh tinggal terlalu lama
dalam badan ini. Takut saya sakit. Selain itu, doakan semoga mereka tidak
kembali-kembali lagi setelah saya sukses usir pergi...suatu hari nanti. Semoga
terjadi dalam waktu dekat ini. Aamiin
YRA...
Hehe.
R.
(Jakarta,
13 Januari 2014, 11:24 pm)
"TELEPATI PENGUSIK JIWA"
Ada
gelisah dalam jiwaku.
Apakah
kau tahu?
Kuharap
kau tidak bisa telepati.
Biarlah
pedih kurasakan sendiri.
Terlalu
lancang mata ini terbuka lebar.
Telepati
penghantar rasa.
Rindu
ini tega menghajar.
Tuhan,
bebaskan hamba dari derita.
Apa
yang (bisa) kau lihat?
Jangan
sedih akan air mataku.
Aku
(harus) kuat.
Ini
hanya rindu sesaat.
Kurasakan
cintamu yang besar untuknya.
Berbahagialah,
karena dia mencintaimu juga.
Demi
kamu, akan kusembunyikan luka.
Ini
bukan masalah rela tidak rela.
Aku
bisa merasakanmu bahagia.
Semoga
kau tak ikut merasakanku berair mata.
Telepati
cukup di situ saja.
Percayalah,
suatu saat aku akan bebas dari nelangsa.
R.
Sabtu, 11 Januari 2014
"BEDA 'FAMOUS' SAMA 'NOTORIOUS' "
Oke,
mungkin ini juga karena profesi saya sebagai pengajar bahasa Inggris. Saya jadi
mengenal konotasi dalam bahasa.
Pertama, kata ‘populer’ (atau ‘popular’ dalam
bahasa Inggris) memiliki makna denotatif, yaitu netral. Artinya sama dengan ‘terkenal’ (atau ‘well-known’ ). Bila disandingkan dengan istilah lain, yang sama
juga ‘famous’.
Bagaimana
dengan ‘infamous’ atau ‘notorious’? Yang membedakannya dengan ‘famous’ tak hanya imbuhan awal (prefix) ‘in-‘ pada ‘infamous’, tapi juga konotasinya. ‘Famous’ berarti terkenal karena hal-hal yang (biasanya) baik.
Misalnya: aktivis sosial yang mengajar di daerah-daerah tertinggal. Politisi
yang tidak sekedar janji-janji, tapi memberikan bukti. Artis yang bisa menjadi
panutan untuk berbuat baik dan bersikap positif. Sebut saja. Saya percaya masih
banyak contohnya.
‘Infamous
/ notorious’ kebalikannya, yaitu terkenal...tapi bukan dengan cara yang
baik. Misalnya: politisi tukang korupsi (yang tampaknya sekarang sudah tidak
malu-malu lagi dan bahkan tidak peduli.) Artis yang hobi menebar sensasi
daripada menunjukkan bakat yang nyata. Tukang cela lewat media sosial, tanpa
peduli banyak perasaan orang yang terluka akibat ulahnya. (Tahu kan, siapa? Sudahlah, tak perlu menyebut-nyebut namanya.)
Pokoknya, baru mendengar namanya
saja sudah membuat wajah mengernyit. Melihat sosoknya apalagi. Bawaannya bikin
bete. Perusak suasana. Apalagi kalau...ahem, Anda kebetulan jadi ‘korban’-nya.
Siapa sih, yang tidak ingin
terkenal? (Seperti biasa, ini pertanyaan
retoris. Silakan pikir sendiri.) Biasanya sukses, kaya, banyak diperhatikan
orang, dan lain sebagainya.
Saking inginnya terkenal, ada yang
sampai mencoba segala cara. Kalau belum kaya dan dipuja-puja, minimal (sukses)
diperhatikan orang banyak. Dicela-cela? Kalau sudah biasa mencela sesama lewat
media sosial, mungkin mereka malah senang dan menanggapinya dengan penuh
semangat. Istilah lainnya, tanding cela. Alasannya? Hak asasi bernama ‘kebebasan berekspresi’. Tidak apa-apa
sih, asal siap dibenci. (Ada yang sampai kena tuntutan hukum, dipecat dari
pekerjaannya, hingga ditantang berkelahi di ring tinju.) Mungkin juga mereka
sudah tidak peduli. Yang penting kan, terkenal dan diperhatikan banyak orang.
Perkara nanti dimusuhi dan disumpahi urusan belakangan.
Semoga dengan pengenalan konotasi
positif dan negatif dari kata ‘terkenal’ tadi
bisa membuat kita lebih bijak dalam mengambil langkah. Mau dikenal karena
kontribusi bermanfaat bagi orang banyak atau cari sensasi dengan mengumpulkan
musuh sebanyak-banyaknya? Terserah Anda. Toh, pada akhirnya Anda sendiri yang
akan menuai hasilnya. Kita semua tahu, siapa yang jalannya akan lebih lancar
nanti di dunia dan akhirat – yang banyak didoakan baik-baik karena masih
berusaha menjaga perasaan orang lain atau yang disumpahi karena mulutnya
menimbulkan dendam dan sakit hati.
R.
(Jakarta,
10 Januari 2014 – 8:48 am)
"LELAH?"
Ada
apa gerangan?
Kau
tersesat dalam angan
kehilangan
pegangan
di
tengah ancaman
terhadap
pijakan keyakinan.
Apakah
kau lelah?
Muak
disuruh mengalah?
Benci
harus terus-terusan kalah?
Sulit
rasanya untuk pasrah.
Tak
perlu berduka terlalu lama.
Ini
belum akhir dunia.
Masih
banyak cara
untuk
kembali bahagia
di
tengah cobaan mendera.
Percayalah,
Dia
selalu ada.
Dia
tak pernah kemana-mana.
Raihlah
tangan-Nya dengan doa...
R.
(Jakarta,
10 Januari 2014 – 1:13 am)
Senin, 06 Januari 2014
"DIA DI AWAL TAHUN"
Dia menanti keajaiban
di tengah guyuran hujan.
Malam itu tak segelap biasa
tipikal malam di ibukota.
Ada pendaran cahaya
wajah-wajah bahagia
dalam meriahnya hari raya.
Apakah wajahnya tampak sama?
Apakah dia sama seperti mereka?
Sudah lama dia tidak berkaca.
Dia juga enggan terlalu memikirkannya.
Masih di bawah hujan,
dia menanti keajaiban
jawaban atas semua pertanyaan.
"Apakah tahun ini akan berbeda?"
Entahlah.
Sepertinya malam itu bukan saatnya
menerima jawab atas semua tanya.
Saatnya pulang,
meski hatinya masih meruang hampa...
R.
(Jakarta, 1 Januari 2014)
di tengah guyuran hujan.
Malam itu tak segelap biasa
tipikal malam di ibukota.
Ada pendaran cahaya
wajah-wajah bahagia
dalam meriahnya hari raya.
Apakah wajahnya tampak sama?
Apakah dia sama seperti mereka?
Sudah lama dia tidak berkaca.
Dia juga enggan terlalu memikirkannya.
Masih di bawah hujan,
dia menanti keajaiban
jawaban atas semua pertanyaan.
"Apakah tahun ini akan berbeda?"
Entahlah.
Sepertinya malam itu bukan saatnya
menerima jawab atas semua tanya.
Saatnya pulang,
meski hatinya masih meruang hampa...
R.
(Jakarta, 1 Januari 2014)
"SAAT STOP KONTAK DAN KONEKSI WI-FI (PALING) DICARI..."
“SAAT STOP KONTAK DAN KONEKSI WI-FI (PALING) DICARI...”
(Ruby
Astari)
“Stop
kontak mana, ya?”
“Permisi,
di sini bisa wi-fi?”
Lebih
dari satu dekade lalu, saya tidak membayangkan akan seperti ini. Dalam
kehidupan urban, ada dua hal yang (paling) dicari setiap kali kita di kantor
maupun ke tempat nongkrong macam resto, kafe, hingga convenient store yang kian menjamur:
1.Stop kontak: saat baterai ponsel
dan laptop perlu di-charge. Mau online berlama-lama takkan aman tanpa
benda yang satu ini, meski koneksi wi-fi tengah
lancar jaya.
2.Koneksi wi-fi: berkat fasilitas
favorit generasi Y ke bawah ini, kita bisa berlama-lama di resto, kafe, hingga convenient store dengan gadget andalan – berselancar di dunia
maya selama berjam-jam (meski mungkin hanya memesan satu jenis minuman, hehe.)
Tiba-tiba sendirian jadi tidak
(begitu) masalah. Kita masih bisa berkonsentrasi pada pekerjaan – atau sekedar ‘melarikan diri’ sejenak ke dunia maya.
Masih ada yang bisa kita lakukan saat tidak ada orang sekitar yang bisa diajak
mengobrol. (Intinya, sendirian tapi anti garing.)
Apakah lantas kita jadi 100% cuek
sama keadaan sekitar? Haruskah selalu demikian?
Saat itulah kita harus menentukan
batas agar seimbang. Memang, inilah realita kehidupan urban kelas menengah ke
atas hari ini. Saat stop kontak dan koneksi wi-fi
menjadi yang (paling) dicari...
Tetap saja, yang tidak diinginkan
kadang bisa terjadi. Koneksi wi-fi di
kafe langganan melambat – atau tiba-tiba malah putus sama sekali. Gangguan
sinyal membuat ponsel kehilangan fungsinya.
Yang terparah? Mati listrik!
Buat yang (kepalang) kecanduan,
mungkin rasanya seperti krisis tingkat dunia. Tenang, selalu masih ada pilihan.
Mungkin itu saatnya Anda harus istirahat sejenak dari paparan radiasi. Membaca dari
media cetak. Mendengarkan suara sekitar.
Tersenyum pada seraut wajah yang
Anda kenal di depan Anda, mungkin? Siapa tahu mereka menunggu perhatian Anda,
meski mungkin tidak bisa membawa Anda melanglang buana ke dunia maya.
R.
(Jakarta, 5 Januari 2014 – 10:30 pm)


"ANTARA EGO DAN RASA"
"Ini duniaku.
Apa pun yang terjadi,
yang jadi pengikut selalu kamu."
Aku tak pernah ingat
bumi ini miliknya.
Nyawa bahkan bukan milik manusia.
"Dari kaumkulah sosok pertama ada.
Kamu akan selalu jadi yang kedua.
Sudah, jangan banyak bicara!"
Aku tak pernah tahu
mereka harus diperlakukan bagai dewa
seakan mereka tak pernah bercela.
"Ah, kamu memang terlalu perasa.
Maka itu, kau takkan pernah memimpin siapa-siapa.
Air matamu pun tiada guna."
Jika memang demikian,
mengapa mereka yang lebih sering menyebabkan perang?
R.
(Jakarta, 1 Januari 2014)
Kamis, 02 Januari 2014
"DAMAI SEJATI?"
Berikan aku damai yang mustahil
ruang benak berkeinginan nihil.
Akankah ada damai itu?
Akankah kuterjebak di ruang semu?
Tunjukkan aku damai yang ideal
sebuah kesalahan tanpa sesal.
Akankah kubernapas lega?
Akankah kulenyap selamanya?
Manakah damai sejati?
Haruskah kupinta pada Ilahi?
Meski lelah hati teruji
menelan sabar tanpa henti.
Kata mereka
hanya doa penawar damai.
Sampai kapan harus berusaha?
Lagi-lagi hanya satu jawaban pasti:
Hanya Dia pemilik semua kunci.
R.
(Jakarta, 29 Desember 2013)
ruang benak berkeinginan nihil.
Akankah ada damai itu?
Akankah kuterjebak di ruang semu?
Tunjukkan aku damai yang ideal
sebuah kesalahan tanpa sesal.
Akankah kubernapas lega?
Akankah kulenyap selamanya?
Manakah damai sejati?
Haruskah kupinta pada Ilahi?
Meski lelah hati teruji
menelan sabar tanpa henti.
Kata mereka
hanya doa penawar damai.
Sampai kapan harus berusaha?
Lagi-lagi hanya satu jawaban pasti:
Hanya Dia pemilik semua kunci.
R.
(Jakarta, 29 Desember 2013)
'WRITING MARATHON' DI MALAM TAHUN BARU 2014
Selamat
Tahun Baru 2014 Masehi! Bagaimana perayaan Tahun Baru kalian? Pasti beragam dan
seru-seru ceritanya. Mungkin ada yang berpesta dengan petasan dan kembang api,
menginap di hotel berbintang, atau menonton pagelaran seni? Terjebak kemacetan
dalam guyuran hujan lebat, ke luar kota, atau ke luar negeri sekalian? Di rumah
saja, sama teman dan keluarga, atau malah sendirian? Bertapa di tempat sepi
mungkin?
Atau malah harus bekerja?? Apa pun
itu, semoga acara Tahun Baru kalian kemarin menyenangkan.
Saya memutuskan untuk merayakan
Tahun Baru kemarin dengan cara berbeda: ikut online writing marathon! Lagi-lagi gara-gara tantangan lewat
Twitter yang saya lihat tanggal 30 Desember kemarin. Berhubung hari itu tidak
sempat dan baru bisa mengerjakannya tanggal 31, jadilah sepulang kerja saya
ngendon di salah satu convenient store berfasilitas
wi-fi dan mulai mengetik.
Deadline-nya?
Pas tengah malam, alias pergantian tahun. Minimal 3000 kata. Untung temanya
sudah ditentukan, jadi tidak perlu ngelantur kemana-mana.
Mungkin banyak yang menganggap
pilihan saya aneh. (Bayangkan, seorang perempuan sendirian di malam hari –
hanya dengan buku atau laptop. Orang Indonesia ‘normal’ mana pun pasti akan heran!)
Alasan saya? Banyak. Pertama, bosan.
Bayangkan kalau kita melakukan yang itu-itu saja tiap pergantian tahun. Lama-lama
hambar, tidak ada variasi. Kalau tiba-tiba kita terpaksa sendirian, bukannya
malah garing – karena sudah (terbiasa) bersama-sama orang lain?
Kedua, saya tertarik dengan
hadiahnya. (Haha, hari gini siapa sih, yang tidak mau duit – atau rezeki runtuh
lainnya? Buat yang mau jadi penulis serius seperti saya mungkin juga mengincar
kesempatan hasil karya mereka dimuat!)
Ketiga, sebagai penulis lepas, saya
ingin menantang diri sendiri. Mau menang-kalah, urusan belakangan. Anggap saja
ajang latihan!
Pukul
sepuluh malam, tulisan sudah selesai dan terkirim. Setelah itu? Saya memutuskan
untuk menulis yang lainnya, hingga bunyi terompet dan petasan di luar menandakan
pergantian tahun – alias tengah malam. Kalau dipikir-pikir lagi, mau begadang
mah, tidak perlu menunggu Malam Tahun Baru. Apalagi bagi pekerja kreatif macam
penulis lepas.
R.
(Jakarta,
1 Januari 2014 – 8:30 pm)
"PERCAKAPAN SUNYI DUA HATI"
Ada yang hilang di matamu
saat kau tengah menatapnya.
Benarkah kau masih di sana?
Setiap hari dia bertanya-tanya.
Sudah lama suaramu tertelan sunyi.
Akankah dia mendengarmu lagi?
Semoga kau masih mendengarkan semua ceritanya,
meski tak lagi sanggup berkata.
"Aku masih mengenalinya,
meski dia tak bereaksi apa-apa."
Itu yang dia katakan pada mereka.
Adakah yang tega?
Entah sampai kapan
percakapan sunyi ini berlanjut.
Dia hanya tahu kenyataan
bahwa cinta sejati takkan surut...
R.
(Jakarta, 25 Desember 2013)
saat kau tengah menatapnya.
Benarkah kau masih di sana?
Setiap hari dia bertanya-tanya.
Sudah lama suaramu tertelan sunyi.
Akankah dia mendengarmu lagi?
Semoga kau masih mendengarkan semua ceritanya,
meski tak lagi sanggup berkata.
"Aku masih mengenalinya,
meski dia tak bereaksi apa-apa."
Itu yang dia katakan pada mereka.
Adakah yang tega?
Entah sampai kapan
percakapan sunyi ini berlanjut.
Dia hanya tahu kenyataan
bahwa cinta sejati takkan surut...
R.
(Jakarta, 25 Desember 2013)
Langganan:
Postingan (Atom)